Minggu, 17 April 2011

Nasehat Untuk Remaja Muslim

Kami persembahkan nasehat ini untuk saudara-saudara kami terkhusus para pemuda dan remaja muslim. Mudah-mudahan nasehat ini dapat membuka mata hati mereka sehingga mereka lebih tahu tentang siapa dirinya sebenarnya, apa kewajiban yang harus mereka tunaikan sebagai seorang muslim, agar mereka merasa bahwa masa muda ini tidak sepantasnya untuk diisi dengan perkara yang bisa melalaikan mereka dari mengingat Allah subhanahu wata’ala sebagai penciptanya, agar mereka tidak terus-menerus bergelimang ke dalam kehidupan dunia yang fana dan lupa akan negeri akhirat yang kekal abadi.

Wahai para pemuda muslim, tidakkah kalian menginginkan kehidupan yang bahagia selamanya? Tidakkah kalian menginginkan jannah (surga) Allah subhanahu wata’ala yang luasnya seluas langit dan bumi?

Ketahuilah, jannah Allah subhanahu wata’ala itu diraih dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam beramal. Jannah itu disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa yang mereka tahu bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara, mereka merasa bahwa gemerlapnya kehidupan dunia ini akan menipu umat manusia dan menyeret mereka kepada kehidupan yang sengsara di negeri akhirat selamanya. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Ali ‘Imran: 185)

Untuk Apa Kita Hidup di Dunia?

Wahai para pemuda, ketahuilah, sungguh Allah subhanahu wata’ala telah menciptakan kita bukan tanpa adanya tujuan. Bukan pula memberikan kita kesempatan untuk bersenang-senang saja, tetapi untuk meraih sebuah tujuan mulia. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56)

Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Itulah tugas utama yang harus dijalankan oleh setiap hamba Allah.

Dalam beribadah, kita dituntut untuk ikhlas dalam menjalankannya. Yaitu dengan beribadah semata-mata hanya mengharapkan ridha dan pahala dari Allah subhanahu wata’ala. Jangan beribadah karena terpaksa, atau karena gengsi terhadap orang-orang di sekitar kita. Apalagi beribadah dalam rangka agar dikatakan bahwa kita adalah orang-orang yang alim, kita adalah orang-orang shalih atau bentuk pujian dan sanjungan yang lain.

Umurmu Tidak Akan Lama Lagi

Wahai para pemuda, jangan sekali-kali terlintas di benak kalian: beribadah nanti saja kalau sudah tua, atau mumpung masih muda, gunakan untuk foya-foya. Ketahuilah, itu semua merupakan rayuan setan yang mengajak kita untuk menjadi teman mereka di An Nar (neraka).

Tahukah kalian, kapan kalian akan dipanggil oleh Allah subhanahu wata’ala, berapa lama lagi kalian akan hidup di dunia ini? Jawabannya adalah sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan dilakukannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)

Wahai para pemuda, bertaqwalah kalian kepada Allah subhanahu wata’ala. Mungkin hari ini kalian sedang berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang tertawa, berpesta, dan hura-hura menyambut tahun baru dengan berbagai bentuk maksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, tetapi keesokan harinya kalian sudah berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang menangis menyaksikan jasad-jasad kalian dimasukkan ke liang lahad (kubur) yang sempit dan menyesakkan.

Betapa celaka dan ruginya kita, apabila kita belum sempat beramal shalih. Padahal, pada saat itu amalan diri kita sajalah yang akan menjadi pendamping kita ketika menghadap Allah subhanahu wata’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ: أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ, فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ, يَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ.

“Yang mengiringi jenazah itu ada tiga: keluarganya, hartanya, dan amalannya. Dua dari tiga hal tersebut akan kembali dan tinggal satu saja (yang mengiringinya), keluarga dan hartanya akan kembali, dan tinggal amalannya (yang akan mengiringinya).” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Wahai para pemuda, takutlah kalian kepada adzab Allah subhanahu wata’ala. Sudah siapkah kalian dengan timbangan amal yang pasti akan kalian hadapi nanti. Sudah cukupkah amal yang kalian lakukan selama ini untuk menambah berat timbangan amal kebaikan.

Betapa sengsaranya kita, ketika ternyata bobot timbangan kebaikan kita lebih ringan daripada timbangan kejelekan. Ingatlah akan firman Allah subhanahu wata’ala:

فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ نَارٌ حَامِيَةٌ

“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.” (Al Qari’ah: 6-11)

Bersegeralah dalam Beramal

Wahai para pemuda, bersegeralah untuk beramal kebajikan, dirikanlah shalat dengan sungguh-sungguh, ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena shalat adalah yang pertama kali akan dihisab nanti pada hari kiamat, sebagaimana sabdanya:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلاَةُ

“Sesungguhnya amalan yang pertama kali manusia dihisab dengannya di hari kiamat adalah shalat.” (HR. At Tirmidzi, An Nasa`i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad. Lafazh hadits riwayat Abu Dawud no.733)

Bagi laki-laki, hendaknya dengan berjama’ah di masjid. Banyaklah berdzikir dan mengingat Allah subhanahu wata’ala. Bacalah Al Qur’an, karena sesungguhnya ia akan memberikan syafaat bagi pembacanya pada hari kiamat nanti.

Banyaklah bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak dosa dan kemaksiatan yang telah kalian lakukan selama ini. Mudah-mudahan dengan bertaubat, Allah subhanahu wata’ala akan mengampuni dosa-dosa kalian dan memberi pahala yang dengannya kalian akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.

Wahai para pemuda, banyak-banyaklah beramal shalih, pasti Allah subhanahu wata’ala akan memberi kalian kehidupan yang bahagia, dunia dan akhirat. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An Nahl: 97)

Engkau Habiskan untuk Apa Masa Mudamu?

Pertanyaan inilah yang akan diajukan kepada setiap hamba Allah subhanahu wata’ala pada hari kiamat nanti. Sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salah satu haditsnya:

لاَ تَزُوْلُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ : عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَا أَبْلاَهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيْمَا عَلِمَ.

“Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) pada hari kiamat nanti di hadapan Rabbnya sampai ditanya tentang lima perkara: umurnya untuk apa dihabiskan, masa mudanya untuk apa dihabiskan, hartanya dari mana dia dapatkan dan dibelanjakan untuk apa harta tersebut, dan sudahkah beramal terhadap ilmu yang telah ia ketahui.” (HR. At Tirmidzi no. 2340)

Sekarang cobalah mengoreksi diri kalian sendiri, sudahkah kalian mengisi masa muda kalian untuk hal-hal yang bermanfaat yang mendatangkan keridhaan Allah subhanahu wata’ala? Ataukah kalian isi masa muda kalian dengan perbuatan maksiat yang mendatangkan kemurkaan-Nya?

Kalau kalian masih saja mengisi waktu muda kalian untuk bersenang-senang dan lupa kepada Allah subhanahu wata’ala, maka jawaban apa yang bisa kalian ucapkan di hadapan Allah subhanahu wata’ala Sang Penguasa Hari Pembalasan? Tidakkah kalian takut akan ancaman Allah subhanahu wata’ala terhadap orang yang banyak berbuat dosa dan maksiat? Padahal Allah subhanahu wata’ala telah mengancam pelaku kejahatan dalam firman-Nya:

مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا

“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (An Nisa’: 123)

Bukanlah masa tua yang akan ditanyakan oleh Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu, pergunakanlah kesempatan di masa muda kalian ini untuk kebaikan.

Ingat-ingatlah selalu bahwa setiap amal yang kalian lakukan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah subhanahu wata’ala.

Jauhi Perbuatan Maksiat

Apa yang menyebabkan Adam dan Hawwa dikeluarkan dari Al Jannah (surga)? Tidak lain adalah kemaksiatan mereka berdua kepada Allah subhanahu wata’ala. Mereka melanggar larangan Allah subhanahu wata’ala karena mendekati sebuah pohon di Al Jannah, mereka terbujuk oleh rayuan iblis yang mengajak mereka untuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala.

Wahai para pemuda, senantiasa iblis, setan, dan bala tentaranya berupaya untuk mengajak umat manusia seluruhnya agar mereka bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, mereka mengajak umat manusia seluruhnya untuk menjadi temannya di neraka. Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala jelaskan dalam firman-Nya (yang artinya):

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)

Setiap amalan kejelekan dan maksiat yang engkau lakukan, walaupun kecil pasti akan dicatat dan diperhitungkan di sisi Allah subhanahu wata’ala. Pasti engkau akan melihat akibat buruk dari apa yang telah engkau lakukan itu. Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):

وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apapun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Az Zalzalah: 8)

Setan juga menghendaki dengan kemaksiatan ini, umat manusia menjadi terpecah belah dan saling bermusuhan. Jangan dikira bahwa ketika engkau bersama teman-temanmu melakukan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wata’ala, itu merupakan wujud solidaritas dan kekompakan di antara kalian. Sekali-kali tidak, justru cepat atau lambat, teman yang engkau cintai menjadi musuh yang paling engkau benci. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu karena (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (Al Maidah: 91)

Demikianlah setan menjadikan perbuatan maksiat yang dilakukan manusia sebagai sarana untuk memecah belah dan menimbulkan permusuhan di antara mereka.

Ibadah yang Benar Dibangun di atas Ilmu

Wahai para pemuda, setelah kalian mengetahui bahwa tugas utama kalian hidup di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala semata, maka sekarang ketahuilah bahwa Allah subhanahu wata’ala hanya menerima amalan ibadah yang dikerjakan dengan benar. Untuk itulah wajib atas kalian untuk belajar dan menuntut ilmu agama, mengenal Allah subhanahu wata’ala, mengenal Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengenal agama Islam ini, mengenal mana yang halal dan mana yang haram, mana yang haq (benar) dan mana yang bathil (salah), serta mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.

Dengan ilmu agama, kalian akan terbimbing dalam beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala, sehingga ibadah yang kalian lakukan benar-benar diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak orang yang beramal kebajikan tetapi ternyata amalannya tidak diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala, karena amalannya tidak dibangun di atas ilmu agama yang benar.

Oleh karena itu, wahai para pemuda muslim, pada kesempatan ini, kami juga menasehatkan kepada kalian untuk banyak mempelajari ilmu agama, duduk di majelis-majelis ilmu, mendengarkan Al Qur’an dan hadits serta nasehat dan penjelasan para ulama. Jangan sibukkan diri kalian dengan hal-hal yang kurang bermanfaat bagi diri kalian, terlebih lagi hal-hal yang mendatangkan murka Allah subhanahu wata’ala.

Ketahuilah, menuntut ilmu agama merupakan kewajiban bagi setiap muslim, maka barangsiapa yang meninggalkannya dia akan mendapatkan dosa, dan setiap dosa pasti akan menyebabkan kecelakaan bagi pelakunya.

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.

“Menuntut ilmu agama itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah no.224)

Akhir Kata

Semoga nasehat yang sedikit ini bisa memberikan manfaat yang banyak kepada kita semua. Sesungguhnya nasehat itu merupakan perkara yang sangat penting dalam agama ini, bahkan saling memberikan nasehat merupakan salah satu sifat orang-orang yang dijauhkan dari kerugian, sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat Al ‘Ashr:

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat- menasehati dalam kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al ‘Ashr: 1-3)

Wallahu ta‘ala a’lam bishshowab.


(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=418)

Bedakanlah Antara Nasehat dan Celaan

Semoga nukilan singkat ucapan ulama tentang masalah nasehat dan celaan bisa menjadikan kita mengerti lalu tidak sembarangan dalam melontarkan suatu ucapan yang justru menimbulkan kerusakan.

Seseorang dengan bisa membedakan antara apa itu nasehat dan apa itu celaan, maka diharapkan akan bisa hikmah menempatkan suatu ucapan dan tindakan pada tempat yang tepat.

Sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh Isma’il bin Muhammad Al-Anshary rahimahullah dalam syarhnya terhadap Al-Arba’in An-Nawawiyah:

Nasehat adalah membersihkan jiwa atau diri dari tipu daya dan pengkhianatan terhadap orang yang dinasehati.

Ibnu Rajab Al-Hanbaly rahimahullah berkata dalam “Al-Farqu Baina An-Nashihah Wa At-Ta’yiir” (Perbedaan Antara Nasehat dan Celaan):

“Kedua (kata ini) menyatu dalam hal bahwa masing-masing dari kata ini ada penyebutan seseorang dengan perkara yang dia tidak sukai. Dan perbedaan dua kata ini terkadang samar bagi kebanyakan manusia, dan Allah-lah yang memberikan taufiq pada yang benar.

Jika padanya ada kebaikan bagi keumuman kaum muslimin atau secara khusus bagi sebagian mereka, dan maksud dari apa yang disampaikan itu untuk menghasilkan kebaikan maka hal ini tidaklah haram, bahkan dianjurkan.

Para ulama hadits telah menetapkan hal ini dalam kitab-kitab mereka terkait jarh wa ta’dil, dan mereka menyebutkan perbedaan antara menjarah (mengkritik) para rawi dan antara ghibah (menggunjing). Dan mereka membantah orang yang menyamakan antara kedua hal tersebut.

Oleh karenanya kita menemukan dalam kitab-kitab karya mereka (dalam berbagai bidang) penuh dengan sanggahan dan bantahan terhadap ucapan orang yang dianggap ucapannya itu jauh dari kebenaran. Tidak ada seorangpun yang dikecualikan, dan tidak ada yang mengatakan itu sebagai celaan terhadap orang yang dibantah. Tidak pula disebut penghinaan atau peremehan. Kecuali orang yang membantah itu adalah orang yang kotor ucapannya, jelek adabnya dalam pengungkapannya. Maka orang ini dingkari kekotorannya dan keburukannya bukanlah bantahannya. Hal ini dalam rangka menegakkan hujah syar’iyah dan dalil yang diperhitungkan.

Dan asal muasal dari semua ini adalah bahwa seluruh ulama sepakat dalam maksud menampakkan kebenaran yang Allah ta’ala mengutus dengannya Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan agar seluruh agama ini hanyalah milik Allah ta’ala. Semua mereka mengakui bahwa tiada seorangpun yang mencapai derajat mengetahui semua ilmu tanpa ada cacat sedikitpun. Oleh karenanya para imam salaf -dalam kondisi demikian tinggi ilmu dan keutamaan mereka- sepakat untuk menerima al-haq dari siapapun yang mendatangkannya meskipun orang itu rendah derajatnya, dan mereka menyuruh pengikutnya untuk ikut menerima al-haq tersebut.

Adalah Asy-Syafi’i rahimahullah menasehatkan para pengikutnya untuk mengikuti al-haq, menerima sunnah, jika tempak bagi mereka bahwa sunnah itu berbeda dengan ucapan mereka, dan hendaknya melemparkan ucapannya ketika itu juga ke tembok.

Dan ini menunjukkan bahwa mereka tidak punya tujuan lain kecuali menampakkan al-haq meskipun itu munculnya dari lisan orang yang mendebat atau menyelisihinya.

Barangsiapa yang demikian keadaannya, maka tidak mengapa ucapannya dan penyelisihannya terhadap sunnah dibantah dan dijelaskan, sama saja semasa hidupnya ataupun setelah matinya.

Maka tidaklah masuk dalam hal ghibah secara keseluruan. Kalaupun ada yang tidak suka untuk menampakkan kesalahan orang yang menyelisihi al-haq maka ketidaksukaannya itu tidak bisa dijadikan patokan. Bahkan yang wajib adalah seorang muslim itu harus cinta menampakkan al-haq dan agar kaum muslimin mengetahui hal itu. Sama saja al-haq itu sejalan dengannya atau berbeda dengannya.

Maka ini merupakan nasehat untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, agama-Nya dan para pemimpin kaum muslimin dan keumuman kaum muslimin.

Adapun menjelaskan kekeliruan dari kekeliruan ulama sebelumnya, maka jika dia melakukannya dengan penuh adab maka tidak mengapa, jika dia bisa menjawab dan membantah dengan baik dan sopan maka tidak mengapa dan dia tidak tercela.

Dan tidak seorangpun dari ulama yang menganggap ini sebagai celaan pada ulama tersebut dan bukan pula menjelekkan mereka.

Adapun jika maksud dari membantah itu untuk menampakkan aib orang yang dibantah, meremehkannya, menampakkan kebodohannya dan kekurangannya dalam ilmu dan selain itu, maka hal ini haram. Entah sama saja dia membantahnya di hadapan yang bersangkutan atau di belakangnya. Sama saja semasa hidupnya atau setelah matinya. Dan ini masuk dalam perkara yang dicela Allah ta’ala dalam kitabnya dan disiapkan ancaman baginya. Dan juga dalam ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Semua ini dalam konteks teruntuk bagi ulama yang dijadikan panutan secara benar dalam agama ini. Adapun ahlul bida’ dan kesesatan, orang yang nyamar jadi ulama padahal bukan ulama, maka boleh dijelaskan kebodohannya dan ditampakkan aibnya dalam rangka mengingatkan manusia agar tidak mengikutinya.

Siapa yang diketahui bahwa dia menginginkan dengan bantahannya terhadap ulama itu sebagai nasehat kepada Allah dan rasul-Nya, maka dia wajib diperlakukan dengan penghormatan dan penghargaan sebagaimana seluruh imam kaum muslimin.

Dan siapa yang diketahui bahwa dia menginginkan dengan bantahannya itu untuk menghina, mencela dan menampakkan aib yang dibantahnya, maka dia wajib dihadapi dengan ancaman hukuman agar terlepas dari perbuatan rendah yang haram ini.

Bagaimana maksud ini bisa diketahui?

Yaitu terkadang dengan pengakuan dan keterangan orang yang membantah itu sendiri. Dan terkadang dengan tanda-tanda yang muncul dalam ucapan dan perbuatannya. Siapa yang dikenal sebagai penjunjung ilmu dan agama serta memuliakan imam kaum muslimin, maka dia tidak akan menyebutkan bantahan kecuali dalam bentuk yang ditempuh oleh imam para ulama.

Adapun orang yang menemukan ucapan ulama lalu menganggapnya keliru dan mengarahkan ucapan itu tanpa baik sangka, maka dia termasuk orang yang berburuk sangka terhadap orang yang tidak bersalah. Dan ini adalah persangkaan yang dilarang oleh Allah ta’ala. Dan telah masuk pada ancaman-Nya.
وَمَن يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْمًا ثُمَّ يَرْمِ بِهِ بَرِيئًا فَقَدِ احْتَمَلَ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا

“Dan siapa yang melakukan kesalahan atau dosa lalu dia melemparkan (tuduhan) dengan hal itu kepada orang yang tidak bersalah maka dia telah menanggung tuduhan dusta dan dosa yang nyata.” [An-Nisa’: 112]

Dan akan makin kuat dia masuk pada ancaman jika nampak dari persangkaan itu tanda-tanda yang jelek, misalnya: banyaknya kezhaliman darinya, permusuhan, tidak bersikap hati-hati, pengumbar lisan, banyak mengatain orang dan menggunjing, hasad terhadap manusia, dan sangat kuat ambisinya untuk ikut berebut kekuasaan sebelum ia pantas memegangnya.

Siapa yang dikenal darinya sifat yang tidak diridhai hal ini ada pada ahlul ilmi dan iman, maka hal ini hanya akan membawa penyakit untuk ulama.

Al-Fudhail rahimahullah berkata: “Seorang mukmin itu akan menutupi kesalahan dan menasehati, adapun orang fajir maka ia akan membongkarnya dn mencelanya.”

Apa yang disebutkan al-Fudhail ini adalah tanda apa itu nasehat dan apa itu celaan, yaitu bahwa nasehat itu akan bergandengan dengan penutupan atau penyembunyian, dan celaan akan bergandengan dengan pembongkaran.

Para ulama salaf tidak suka melakukan amar ma’ruf atau nahyu munkar di depan hadapan manusia, namun mereka suka melakukannya secara tersembunyi. Maka ini adalah tanda dari suatu nasehat. Seorang penasehat itu tidaklah bertujuan untuk menyebarkan aib orang yang dinasehati, namun tujuannya adalah menghilangkan mafsadah yang orang itu jatuh padanya[1].

Oleh karenanya penyebaran aib dan kejelekan itu akan selalu bergandengan dengan celaan, keduanya merupakan perangai orang fajir. Karena orang yang fajir tidaklah punya keinginan untuk menghilangkan mafsadat, tidak pula menjauhkan mukmin dari kekurangan dan aib. Hanyalah keinginannya itu menyebarkan aib saudaranya mukmin, merobek kehormatannya, dan dia selalu mengulangi hal itu. Dan maksud diaa menyebarkan aib saudaranya agar saudaranya mendapatkan dharar duniawi.

Adapun orang yang memberi nasehat maka tujuannya adalah menghilangkan aib saudaranya dan menjauhkannya dari aib itu.

Adapun celaan maka maknanya sebagai tingkatan celaan yang paling nampak adalah menampakkan kejelekan dan menyebarkannya dalam kemasan nasehat, sedangkan bathinnya hanya menginginkan untuk menjelekkan dan menyakiti.

Maka hal ini adalah saudaranya kaum munafiqin, yaitu dia menampakkan perbuatan dan ucapan yang baik dengan tujuan untuk sampai pada tujuan yang dia sembunyikan dalam batin. Dalam bentuk kemasan nampaknya baik, maka dia dipuji dalam kamasan yang dia berikan dan dia menginginkan tujuan yang jelek. Dia suka dengan pujian itu padahal batinnya jelek. Maka sempurnalah baginya faedah dan muluslah tipu daya dan muslihat.

Contohnya: seseorang ingin mencela seseorang, meremehkannya dan menampakkan kejelekannya agar orang-orang leri darinya. Hal ini entah karena ingin menyakitinya, atau karena memusuhinya, atau karena dia takut orang-orang akan selalu mengelilinginya, memberikan padanya harta, atau kepemimpinan dan selainnya. Maka seseorang tidak akan sampai pada hal it kecuali dengan menampakkan celaan kepada orang itu dalam kemasan agamis.

Lalu apa obat untuk penyakit ini?

Siapa yang diuji dengan tipu daya ini maka hendaknya bertakwa kepada Allah ta’ala, meminta tolong kepada-Nya dan bersabar. Karena kesudahan yang baik itu bagi orang yang bertakwa.”

Kemudian Ibnu Rajab menyebutkan ayat-ayat namun kita singkat agar tidak memanjang[2].

Diringkas dari kitab tersebut oleh:

‘Umar Al-Indunisy

Darul Hadits - Ma’bar, Yaman

Sumber: http://thalibmakbar.wordpress.com/2010/10/21/bedakanlah-antara-nasehat-dan-celaan/#more-495

Dengan sedikit perubahan dan tambahan catatan kaki oleh redaksi www.assalafy.org
[1] Adapun menyebarkan dan menampakkan aib orang lain itu termasuk perbuatan yang diharamkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat, dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” [An-Nur: 19]

[2] Beberapa ayat yang dimaksud adalah di antaranya tentang kesudahan yang baik bagi Nabi Yusuf ‘alaihissalam setelah sekian lamanya merasakan gangguan, makar, dan tipu daya:

وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ

“Dan demikian pulalah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bumi (Mesir).” [Yusuf: 21]

Demikian juga ayat yang menceritakan tentang Nabi Musa ‘alaihissalam beserta kaumnya agar mereka meminta pertolongan kepada Allah dan bersabar, sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa:

قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; diwariskan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” [Al-A’raf: 128]

Dan beberapa ayat yang lain. Wallahu a’lam.

http://www.assalafy.org/mahad/?p=566#more-566