Minggu, 17 April 2011

Nasehat Untuk Remaja Muslim

Kami persembahkan nasehat ini untuk saudara-saudara kami terkhusus para pemuda dan remaja muslim. Mudah-mudahan nasehat ini dapat membuka mata hati mereka sehingga mereka lebih tahu tentang siapa dirinya sebenarnya, apa kewajiban yang harus mereka tunaikan sebagai seorang muslim, agar mereka merasa bahwa masa muda ini tidak sepantasnya untuk diisi dengan perkara yang bisa melalaikan mereka dari mengingat Allah subhanahu wata’ala sebagai penciptanya, agar mereka tidak terus-menerus bergelimang ke dalam kehidupan dunia yang fana dan lupa akan negeri akhirat yang kekal abadi.

Wahai para pemuda muslim, tidakkah kalian menginginkan kehidupan yang bahagia selamanya? Tidakkah kalian menginginkan jannah (surga) Allah subhanahu wata’ala yang luasnya seluas langit dan bumi?

Ketahuilah, jannah Allah subhanahu wata’ala itu diraih dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam beramal. Jannah itu disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa yang mereka tahu bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara, mereka merasa bahwa gemerlapnya kehidupan dunia ini akan menipu umat manusia dan menyeret mereka kepada kehidupan yang sengsara di negeri akhirat selamanya. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Ali ‘Imran: 185)

Untuk Apa Kita Hidup di Dunia?

Wahai para pemuda, ketahuilah, sungguh Allah subhanahu wata’ala telah menciptakan kita bukan tanpa adanya tujuan. Bukan pula memberikan kita kesempatan untuk bersenang-senang saja, tetapi untuk meraih sebuah tujuan mulia. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56)

Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Itulah tugas utama yang harus dijalankan oleh setiap hamba Allah.

Dalam beribadah, kita dituntut untuk ikhlas dalam menjalankannya. Yaitu dengan beribadah semata-mata hanya mengharapkan ridha dan pahala dari Allah subhanahu wata’ala. Jangan beribadah karena terpaksa, atau karena gengsi terhadap orang-orang di sekitar kita. Apalagi beribadah dalam rangka agar dikatakan bahwa kita adalah orang-orang yang alim, kita adalah orang-orang shalih atau bentuk pujian dan sanjungan yang lain.

Umurmu Tidak Akan Lama Lagi

Wahai para pemuda, jangan sekali-kali terlintas di benak kalian: beribadah nanti saja kalau sudah tua, atau mumpung masih muda, gunakan untuk foya-foya. Ketahuilah, itu semua merupakan rayuan setan yang mengajak kita untuk menjadi teman mereka di An Nar (neraka).

Tahukah kalian, kapan kalian akan dipanggil oleh Allah subhanahu wata’ala, berapa lama lagi kalian akan hidup di dunia ini? Jawabannya adalah sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan dilakukannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)

Wahai para pemuda, bertaqwalah kalian kepada Allah subhanahu wata’ala. Mungkin hari ini kalian sedang berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang tertawa, berpesta, dan hura-hura menyambut tahun baru dengan berbagai bentuk maksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, tetapi keesokan harinya kalian sudah berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang menangis menyaksikan jasad-jasad kalian dimasukkan ke liang lahad (kubur) yang sempit dan menyesakkan.

Betapa celaka dan ruginya kita, apabila kita belum sempat beramal shalih. Padahal, pada saat itu amalan diri kita sajalah yang akan menjadi pendamping kita ketika menghadap Allah subhanahu wata’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ: أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ, فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ, يَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ.

“Yang mengiringi jenazah itu ada tiga: keluarganya, hartanya, dan amalannya. Dua dari tiga hal tersebut akan kembali dan tinggal satu saja (yang mengiringinya), keluarga dan hartanya akan kembali, dan tinggal amalannya (yang akan mengiringinya).” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Wahai para pemuda, takutlah kalian kepada adzab Allah subhanahu wata’ala. Sudah siapkah kalian dengan timbangan amal yang pasti akan kalian hadapi nanti. Sudah cukupkah amal yang kalian lakukan selama ini untuk menambah berat timbangan amal kebaikan.

Betapa sengsaranya kita, ketika ternyata bobot timbangan kebaikan kita lebih ringan daripada timbangan kejelekan. Ingatlah akan firman Allah subhanahu wata’ala:

فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ نَارٌ حَامِيَةٌ

“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.” (Al Qari’ah: 6-11)

Bersegeralah dalam Beramal

Wahai para pemuda, bersegeralah untuk beramal kebajikan, dirikanlah shalat dengan sungguh-sungguh, ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena shalat adalah yang pertama kali akan dihisab nanti pada hari kiamat, sebagaimana sabdanya:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلاَةُ

“Sesungguhnya amalan yang pertama kali manusia dihisab dengannya di hari kiamat adalah shalat.” (HR. At Tirmidzi, An Nasa`i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad. Lafazh hadits riwayat Abu Dawud no.733)

Bagi laki-laki, hendaknya dengan berjama’ah di masjid. Banyaklah berdzikir dan mengingat Allah subhanahu wata’ala. Bacalah Al Qur’an, karena sesungguhnya ia akan memberikan syafaat bagi pembacanya pada hari kiamat nanti.

Banyaklah bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak dosa dan kemaksiatan yang telah kalian lakukan selama ini. Mudah-mudahan dengan bertaubat, Allah subhanahu wata’ala akan mengampuni dosa-dosa kalian dan memberi pahala yang dengannya kalian akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.

Wahai para pemuda, banyak-banyaklah beramal shalih, pasti Allah subhanahu wata’ala akan memberi kalian kehidupan yang bahagia, dunia dan akhirat. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An Nahl: 97)

Engkau Habiskan untuk Apa Masa Mudamu?

Pertanyaan inilah yang akan diajukan kepada setiap hamba Allah subhanahu wata’ala pada hari kiamat nanti. Sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salah satu haditsnya:

لاَ تَزُوْلُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ : عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَا أَبْلاَهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيْمَا عَلِمَ.

“Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) pada hari kiamat nanti di hadapan Rabbnya sampai ditanya tentang lima perkara: umurnya untuk apa dihabiskan, masa mudanya untuk apa dihabiskan, hartanya dari mana dia dapatkan dan dibelanjakan untuk apa harta tersebut, dan sudahkah beramal terhadap ilmu yang telah ia ketahui.” (HR. At Tirmidzi no. 2340)

Sekarang cobalah mengoreksi diri kalian sendiri, sudahkah kalian mengisi masa muda kalian untuk hal-hal yang bermanfaat yang mendatangkan keridhaan Allah subhanahu wata’ala? Ataukah kalian isi masa muda kalian dengan perbuatan maksiat yang mendatangkan kemurkaan-Nya?

Kalau kalian masih saja mengisi waktu muda kalian untuk bersenang-senang dan lupa kepada Allah subhanahu wata’ala, maka jawaban apa yang bisa kalian ucapkan di hadapan Allah subhanahu wata’ala Sang Penguasa Hari Pembalasan? Tidakkah kalian takut akan ancaman Allah subhanahu wata’ala terhadap orang yang banyak berbuat dosa dan maksiat? Padahal Allah subhanahu wata’ala telah mengancam pelaku kejahatan dalam firman-Nya:

مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا

“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (An Nisa’: 123)

Bukanlah masa tua yang akan ditanyakan oleh Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu, pergunakanlah kesempatan di masa muda kalian ini untuk kebaikan.

Ingat-ingatlah selalu bahwa setiap amal yang kalian lakukan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah subhanahu wata’ala.

Jauhi Perbuatan Maksiat

Apa yang menyebabkan Adam dan Hawwa dikeluarkan dari Al Jannah (surga)? Tidak lain adalah kemaksiatan mereka berdua kepada Allah subhanahu wata’ala. Mereka melanggar larangan Allah subhanahu wata’ala karena mendekati sebuah pohon di Al Jannah, mereka terbujuk oleh rayuan iblis yang mengajak mereka untuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala.

Wahai para pemuda, senantiasa iblis, setan, dan bala tentaranya berupaya untuk mengajak umat manusia seluruhnya agar mereka bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, mereka mengajak umat manusia seluruhnya untuk menjadi temannya di neraka. Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala jelaskan dalam firman-Nya (yang artinya):

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)

Setiap amalan kejelekan dan maksiat yang engkau lakukan, walaupun kecil pasti akan dicatat dan diperhitungkan di sisi Allah subhanahu wata’ala. Pasti engkau akan melihat akibat buruk dari apa yang telah engkau lakukan itu. Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):

وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apapun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Az Zalzalah: 8)

Setan juga menghendaki dengan kemaksiatan ini, umat manusia menjadi terpecah belah dan saling bermusuhan. Jangan dikira bahwa ketika engkau bersama teman-temanmu melakukan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wata’ala, itu merupakan wujud solidaritas dan kekompakan di antara kalian. Sekali-kali tidak, justru cepat atau lambat, teman yang engkau cintai menjadi musuh yang paling engkau benci. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu karena (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (Al Maidah: 91)

Demikianlah setan menjadikan perbuatan maksiat yang dilakukan manusia sebagai sarana untuk memecah belah dan menimbulkan permusuhan di antara mereka.

Ibadah yang Benar Dibangun di atas Ilmu

Wahai para pemuda, setelah kalian mengetahui bahwa tugas utama kalian hidup di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala semata, maka sekarang ketahuilah bahwa Allah subhanahu wata’ala hanya menerima amalan ibadah yang dikerjakan dengan benar. Untuk itulah wajib atas kalian untuk belajar dan menuntut ilmu agama, mengenal Allah subhanahu wata’ala, mengenal Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengenal agama Islam ini, mengenal mana yang halal dan mana yang haram, mana yang haq (benar) dan mana yang bathil (salah), serta mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.

Dengan ilmu agama, kalian akan terbimbing dalam beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala, sehingga ibadah yang kalian lakukan benar-benar diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak orang yang beramal kebajikan tetapi ternyata amalannya tidak diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala, karena amalannya tidak dibangun di atas ilmu agama yang benar.

Oleh karena itu, wahai para pemuda muslim, pada kesempatan ini, kami juga menasehatkan kepada kalian untuk banyak mempelajari ilmu agama, duduk di majelis-majelis ilmu, mendengarkan Al Qur’an dan hadits serta nasehat dan penjelasan para ulama. Jangan sibukkan diri kalian dengan hal-hal yang kurang bermanfaat bagi diri kalian, terlebih lagi hal-hal yang mendatangkan murka Allah subhanahu wata’ala.

Ketahuilah, menuntut ilmu agama merupakan kewajiban bagi setiap muslim, maka barangsiapa yang meninggalkannya dia akan mendapatkan dosa, dan setiap dosa pasti akan menyebabkan kecelakaan bagi pelakunya.

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.

“Menuntut ilmu agama itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah no.224)

Akhir Kata

Semoga nasehat yang sedikit ini bisa memberikan manfaat yang banyak kepada kita semua. Sesungguhnya nasehat itu merupakan perkara yang sangat penting dalam agama ini, bahkan saling memberikan nasehat merupakan salah satu sifat orang-orang yang dijauhkan dari kerugian, sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat Al ‘Ashr:

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat- menasehati dalam kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al ‘Ashr: 1-3)

Wallahu ta‘ala a’lam bishshowab.


(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=418)

Bedakanlah Antara Nasehat dan Celaan

Semoga nukilan singkat ucapan ulama tentang masalah nasehat dan celaan bisa menjadikan kita mengerti lalu tidak sembarangan dalam melontarkan suatu ucapan yang justru menimbulkan kerusakan.

Seseorang dengan bisa membedakan antara apa itu nasehat dan apa itu celaan, maka diharapkan akan bisa hikmah menempatkan suatu ucapan dan tindakan pada tempat yang tepat.

Sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh Isma’il bin Muhammad Al-Anshary rahimahullah dalam syarhnya terhadap Al-Arba’in An-Nawawiyah:

Nasehat adalah membersihkan jiwa atau diri dari tipu daya dan pengkhianatan terhadap orang yang dinasehati.

Ibnu Rajab Al-Hanbaly rahimahullah berkata dalam “Al-Farqu Baina An-Nashihah Wa At-Ta’yiir” (Perbedaan Antara Nasehat dan Celaan):

“Kedua (kata ini) menyatu dalam hal bahwa masing-masing dari kata ini ada penyebutan seseorang dengan perkara yang dia tidak sukai. Dan perbedaan dua kata ini terkadang samar bagi kebanyakan manusia, dan Allah-lah yang memberikan taufiq pada yang benar.

Jika padanya ada kebaikan bagi keumuman kaum muslimin atau secara khusus bagi sebagian mereka, dan maksud dari apa yang disampaikan itu untuk menghasilkan kebaikan maka hal ini tidaklah haram, bahkan dianjurkan.

Para ulama hadits telah menetapkan hal ini dalam kitab-kitab mereka terkait jarh wa ta’dil, dan mereka menyebutkan perbedaan antara menjarah (mengkritik) para rawi dan antara ghibah (menggunjing). Dan mereka membantah orang yang menyamakan antara kedua hal tersebut.

Oleh karenanya kita menemukan dalam kitab-kitab karya mereka (dalam berbagai bidang) penuh dengan sanggahan dan bantahan terhadap ucapan orang yang dianggap ucapannya itu jauh dari kebenaran. Tidak ada seorangpun yang dikecualikan, dan tidak ada yang mengatakan itu sebagai celaan terhadap orang yang dibantah. Tidak pula disebut penghinaan atau peremehan. Kecuali orang yang membantah itu adalah orang yang kotor ucapannya, jelek adabnya dalam pengungkapannya. Maka orang ini dingkari kekotorannya dan keburukannya bukanlah bantahannya. Hal ini dalam rangka menegakkan hujah syar’iyah dan dalil yang diperhitungkan.

Dan asal muasal dari semua ini adalah bahwa seluruh ulama sepakat dalam maksud menampakkan kebenaran yang Allah ta’ala mengutus dengannya Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan agar seluruh agama ini hanyalah milik Allah ta’ala. Semua mereka mengakui bahwa tiada seorangpun yang mencapai derajat mengetahui semua ilmu tanpa ada cacat sedikitpun. Oleh karenanya para imam salaf -dalam kondisi demikian tinggi ilmu dan keutamaan mereka- sepakat untuk menerima al-haq dari siapapun yang mendatangkannya meskipun orang itu rendah derajatnya, dan mereka menyuruh pengikutnya untuk ikut menerima al-haq tersebut.

Adalah Asy-Syafi’i rahimahullah menasehatkan para pengikutnya untuk mengikuti al-haq, menerima sunnah, jika tempak bagi mereka bahwa sunnah itu berbeda dengan ucapan mereka, dan hendaknya melemparkan ucapannya ketika itu juga ke tembok.

Dan ini menunjukkan bahwa mereka tidak punya tujuan lain kecuali menampakkan al-haq meskipun itu munculnya dari lisan orang yang mendebat atau menyelisihinya.

Barangsiapa yang demikian keadaannya, maka tidak mengapa ucapannya dan penyelisihannya terhadap sunnah dibantah dan dijelaskan, sama saja semasa hidupnya ataupun setelah matinya.

Maka tidaklah masuk dalam hal ghibah secara keseluruan. Kalaupun ada yang tidak suka untuk menampakkan kesalahan orang yang menyelisihi al-haq maka ketidaksukaannya itu tidak bisa dijadikan patokan. Bahkan yang wajib adalah seorang muslim itu harus cinta menampakkan al-haq dan agar kaum muslimin mengetahui hal itu. Sama saja al-haq itu sejalan dengannya atau berbeda dengannya.

Maka ini merupakan nasehat untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, agama-Nya dan para pemimpin kaum muslimin dan keumuman kaum muslimin.

Adapun menjelaskan kekeliruan dari kekeliruan ulama sebelumnya, maka jika dia melakukannya dengan penuh adab maka tidak mengapa, jika dia bisa menjawab dan membantah dengan baik dan sopan maka tidak mengapa dan dia tidak tercela.

Dan tidak seorangpun dari ulama yang menganggap ini sebagai celaan pada ulama tersebut dan bukan pula menjelekkan mereka.

Adapun jika maksud dari membantah itu untuk menampakkan aib orang yang dibantah, meremehkannya, menampakkan kebodohannya dan kekurangannya dalam ilmu dan selain itu, maka hal ini haram. Entah sama saja dia membantahnya di hadapan yang bersangkutan atau di belakangnya. Sama saja semasa hidupnya atau setelah matinya. Dan ini masuk dalam perkara yang dicela Allah ta’ala dalam kitabnya dan disiapkan ancaman baginya. Dan juga dalam ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Semua ini dalam konteks teruntuk bagi ulama yang dijadikan panutan secara benar dalam agama ini. Adapun ahlul bida’ dan kesesatan, orang yang nyamar jadi ulama padahal bukan ulama, maka boleh dijelaskan kebodohannya dan ditampakkan aibnya dalam rangka mengingatkan manusia agar tidak mengikutinya.

Siapa yang diketahui bahwa dia menginginkan dengan bantahannya terhadap ulama itu sebagai nasehat kepada Allah dan rasul-Nya, maka dia wajib diperlakukan dengan penghormatan dan penghargaan sebagaimana seluruh imam kaum muslimin.

Dan siapa yang diketahui bahwa dia menginginkan dengan bantahannya itu untuk menghina, mencela dan menampakkan aib yang dibantahnya, maka dia wajib dihadapi dengan ancaman hukuman agar terlepas dari perbuatan rendah yang haram ini.

Bagaimana maksud ini bisa diketahui?

Yaitu terkadang dengan pengakuan dan keterangan orang yang membantah itu sendiri. Dan terkadang dengan tanda-tanda yang muncul dalam ucapan dan perbuatannya. Siapa yang dikenal sebagai penjunjung ilmu dan agama serta memuliakan imam kaum muslimin, maka dia tidak akan menyebutkan bantahan kecuali dalam bentuk yang ditempuh oleh imam para ulama.

Adapun orang yang menemukan ucapan ulama lalu menganggapnya keliru dan mengarahkan ucapan itu tanpa baik sangka, maka dia termasuk orang yang berburuk sangka terhadap orang yang tidak bersalah. Dan ini adalah persangkaan yang dilarang oleh Allah ta’ala. Dan telah masuk pada ancaman-Nya.
وَمَن يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْمًا ثُمَّ يَرْمِ بِهِ بَرِيئًا فَقَدِ احْتَمَلَ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا

“Dan siapa yang melakukan kesalahan atau dosa lalu dia melemparkan (tuduhan) dengan hal itu kepada orang yang tidak bersalah maka dia telah menanggung tuduhan dusta dan dosa yang nyata.” [An-Nisa’: 112]

Dan akan makin kuat dia masuk pada ancaman jika nampak dari persangkaan itu tanda-tanda yang jelek, misalnya: banyaknya kezhaliman darinya, permusuhan, tidak bersikap hati-hati, pengumbar lisan, banyak mengatain orang dan menggunjing, hasad terhadap manusia, dan sangat kuat ambisinya untuk ikut berebut kekuasaan sebelum ia pantas memegangnya.

Siapa yang dikenal darinya sifat yang tidak diridhai hal ini ada pada ahlul ilmi dan iman, maka hal ini hanya akan membawa penyakit untuk ulama.

Al-Fudhail rahimahullah berkata: “Seorang mukmin itu akan menutupi kesalahan dan menasehati, adapun orang fajir maka ia akan membongkarnya dn mencelanya.”

Apa yang disebutkan al-Fudhail ini adalah tanda apa itu nasehat dan apa itu celaan, yaitu bahwa nasehat itu akan bergandengan dengan penutupan atau penyembunyian, dan celaan akan bergandengan dengan pembongkaran.

Para ulama salaf tidak suka melakukan amar ma’ruf atau nahyu munkar di depan hadapan manusia, namun mereka suka melakukannya secara tersembunyi. Maka ini adalah tanda dari suatu nasehat. Seorang penasehat itu tidaklah bertujuan untuk menyebarkan aib orang yang dinasehati, namun tujuannya adalah menghilangkan mafsadah yang orang itu jatuh padanya[1].

Oleh karenanya penyebaran aib dan kejelekan itu akan selalu bergandengan dengan celaan, keduanya merupakan perangai orang fajir. Karena orang yang fajir tidaklah punya keinginan untuk menghilangkan mafsadat, tidak pula menjauhkan mukmin dari kekurangan dan aib. Hanyalah keinginannya itu menyebarkan aib saudaranya mukmin, merobek kehormatannya, dan dia selalu mengulangi hal itu. Dan maksud diaa menyebarkan aib saudaranya agar saudaranya mendapatkan dharar duniawi.

Adapun orang yang memberi nasehat maka tujuannya adalah menghilangkan aib saudaranya dan menjauhkannya dari aib itu.

Adapun celaan maka maknanya sebagai tingkatan celaan yang paling nampak adalah menampakkan kejelekan dan menyebarkannya dalam kemasan nasehat, sedangkan bathinnya hanya menginginkan untuk menjelekkan dan menyakiti.

Maka hal ini adalah saudaranya kaum munafiqin, yaitu dia menampakkan perbuatan dan ucapan yang baik dengan tujuan untuk sampai pada tujuan yang dia sembunyikan dalam batin. Dalam bentuk kemasan nampaknya baik, maka dia dipuji dalam kamasan yang dia berikan dan dia menginginkan tujuan yang jelek. Dia suka dengan pujian itu padahal batinnya jelek. Maka sempurnalah baginya faedah dan muluslah tipu daya dan muslihat.

Contohnya: seseorang ingin mencela seseorang, meremehkannya dan menampakkan kejelekannya agar orang-orang leri darinya. Hal ini entah karena ingin menyakitinya, atau karena memusuhinya, atau karena dia takut orang-orang akan selalu mengelilinginya, memberikan padanya harta, atau kepemimpinan dan selainnya. Maka seseorang tidak akan sampai pada hal it kecuali dengan menampakkan celaan kepada orang itu dalam kemasan agamis.

Lalu apa obat untuk penyakit ini?

Siapa yang diuji dengan tipu daya ini maka hendaknya bertakwa kepada Allah ta’ala, meminta tolong kepada-Nya dan bersabar. Karena kesudahan yang baik itu bagi orang yang bertakwa.”

Kemudian Ibnu Rajab menyebutkan ayat-ayat namun kita singkat agar tidak memanjang[2].

Diringkas dari kitab tersebut oleh:

‘Umar Al-Indunisy

Darul Hadits - Ma’bar, Yaman

Sumber: http://thalibmakbar.wordpress.com/2010/10/21/bedakanlah-antara-nasehat-dan-celaan/#more-495

Dengan sedikit perubahan dan tambahan catatan kaki oleh redaksi www.assalafy.org
[1] Adapun menyebarkan dan menampakkan aib orang lain itu termasuk perbuatan yang diharamkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat, dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” [An-Nur: 19]

[2] Beberapa ayat yang dimaksud adalah di antaranya tentang kesudahan yang baik bagi Nabi Yusuf ‘alaihissalam setelah sekian lamanya merasakan gangguan, makar, dan tipu daya:

وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ

“Dan demikian pulalah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bumi (Mesir).” [Yusuf: 21]

Demikian juga ayat yang menceritakan tentang Nabi Musa ‘alaihissalam beserta kaumnya agar mereka meminta pertolongan kepada Allah dan bersabar, sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa:

قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; diwariskan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” [Al-A’raf: 128]

Dan beberapa ayat yang lain. Wallahu a’lam.

http://www.assalafy.org/mahad/?p=566#more-566

Fenomena TKI di Arab Saudi

Sebuah pemerintahan Islam atau masyarakat Islam bukanlah sebuah kumpulan orang-orang yang tidak pernah berbuat dosa sama sekali, sehingga kita bisa menuduh para ulama yang membimbing masyarakat tersebut telah gagal atau tidak becus dalam membina negaranya.

Bahkan di masa kepemimpinan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang masyarakatnya adalah generasi terbaik ummat ini, ada orang yang didera karena minum khamar[1], ada yang dirajam karena berzina[2], bahkan ada yang murtad keluar dari Islam[3]. Namun tidak ada satupun yang menuduh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah gagal mendidik para sahabatnya. Karena memang, tidak ada satupun manusia yang terjaga dari kesalahan selain para Nabi dan Rasul ‘alaihimussalam, olehnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ بنِي آدَمَ خَطَّاءٌ ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

“Setiap anak adam senantiasa berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang senantiasa bertaubat.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 3139)

Pengalaman belajar di Saudi, bergaul dengan sebagian pekerja Indonesia yang kebetulan ketemu di masjid, di jalan, di toko, di majelis-majelis ilmu dan dalam suatu bimbingan ibadah haji tahun 1431 H atas permintaan sebuah travel yang pesertanya lebih dari 90 % pekerja Indonesia, sisanya India, Maroko dan Philipina. Semua itu menyisakan banyak cerita yang mungkin sebagiannya bisa dijadikan pelajaran, terutama yang berkaitan dengan hubungan antara pekerja dan majikan, yang oleh musuh-musuh Dakwah Tauhid dijadikan senjata untuk menjatuhkan ulama Ahlus Sunnah di negeri ini. Insya Allah akan kami sarikan dalam beberapa poin berikut:

1.      Para majikan tidak semuanya memahami agama dengan baik, banyak yang awam, tidak mau belajar agama dan banyak yang zalim terhadap pekerjanya[4]. Kepada mereka para ulama di negeri ini telah menasihati, baik secara pribadi maupun terang-terangan, seperti nasihat Asy-Syaikh Muhammad bin Ahmad Al-Fiyfiy hafizhahullah yang sangat menyentuh di www.sahab.net[5] yang berjudul At-Tahdzir min Zhulmil Khudam wal ‘Ummal (Peringatan Keras dari Perbuatan Zalim kepada para Pembantu dan Pekerja). Demikian pula para khatib dan imam masjid terkadang menyampaikan khutbah tentang bahaya perbuatan zalim terhadap para pekerja

2.      Oleh karena itu, seharusnya TKI diberikan informasi tentang keadaan calon majikannya sebelum dia memutuskan bekerja kepada majikan tersebut, semoga hal ini bisa menjadi catatan untuk semua pihak yang terkait dalam pemberangkatan TKI

3.      Alhamdulillah tidak semua majikan yang zalim, masih banyak yang baik insya Allah, meskipun bukan dari kalangan mutawwa’[6], atau penuntut ilmu, apalagi masyaikh. Bentuk-bentuk kebaikan mereka yang bisa saya ceritakan di sini:

    * Dari 100 orang yang ikut haji dalam bimbingan kami hampir semuanya dibiayai oleh majikannya, biayanya sekitar 3500 riyal atau senilai kurang lebih 7,5 juta rupiah
    * Perhatian majikan kepada pekerjanya selama melaksanakan ibadah haji dalam bentuk menelepon dan menanyakan kabar serta bagaimana pelayanan travel terhadap mereka. Jika pekerjanya mengadukan pelayanan travel yang kurang bagus, tidak lama kemudian majikan akan menelepon pengurus travel ini dan memarahinya habis-habisan
    * Sampai-sampai ada majikan yang berkata kepada pekerjanya, “Sampaikan kepada pengurus travel, berapa saja biaya yang dia minta akan saya berikan, asalkan kamu mendapat pelayanan yang baik”.
    * Seorang Ikhwan dibebaskan oleh majikannya dari seluruh pekerjaannya demi untuk menuntut ilmu, masih ditambah dengan uang saku per bulan dikirim secara rutin oleh majikannya. Bahkan Ikhwan yang lain, sampai pulang ke Indonesia masih dikirimi uang secara rutin oleh majikannya, demi untuk membiayai kegiatan-kegiatan dakwah
    * Seorang pekerja asal Sumbawa, apabila dia cuti pulang kampung majikannya biasa menitipkan uang untuk dibagi-bagikan kepada keluarga dan tetangganya yang miskin
    * Pekerja asal Jawa Barat, mengabarkan tentang pembangunan masjid di kampungnya yang belum selesai, langsung dikucurkan dana oleh majikannya tanpa mengecek langsung ke lokasi apakah dananya sampai atau tidak
    * Seorang pekerja asal Jawa Barat, majikannya biasa mengantarnya untuk menghadiri pengajian yang diadakan oleh Kantor Dakwah untuk Orang-orang Asing
    * Seorang Ikhwan menceritakan, saudarinya bekerja pada seorang masyaikh, bertahun-tahun bekerja kepada keluarga masyaikh tersebut tidak pernah sekalipun dia berada dalam satu ruangan bersama majikannya yang laki-laki
    * Seorang Ustadz menceritakan, bahwa seorang majikan meminta bantuannya untuk menasihati pembantu wanitanya yang sering menggodanya untuk berzina, akhirnya sang Ustadz menelepon dan menasihati pembantu ini
    * Banyak majikan yang mensyaratkan supirnya harus disertai istrinya untuk mengantar anak-anak puteri mereka ke sekolah. Demikian pula sebaliknya, pembantu wanita harus datang bersama mahramnya
    * Para masyaikh banyak sekali membebaskan pekerja mereka dari semua pekerjaan jika para pekerja ini benar-benar mau menuntut ilmu

4.      Sebenarnya aturan-aturan pemerintah Saudi sangat menjamin para pekerja asing, diantaranya kewajiban majikan untuk membuatkan asuransi kesehatan bagi para pekerjanya dan hukuman yang setimpal bagi para majikan yang zalim terhadap pekerjanya, berikut beberapa kasus yang kami dengarkan:

    * Seorang majikan memukul supirnya, sang supir ini ditemukan oleh seorang Ikhwan Saudi dan membawanya ke kantor polisi, saat itu juga majikannya langsung dijemput dan ditahan oleh polisi dan wajib diqishah atau membayar sejumlah uang kepada pekerjanya yang dizalimi
    * Cerita seorang Ustadz, ada majikan yang dituntut oleh pengadilan untuk membayar berapapun yang diminta oleh seorang pembantu wanita yang dizalimi oleh si majikan
    * Seorang majikan yang membunuh pekerjanya terancam hukuman mati, namun pihak keluarga di Indonesia lebih memilih untuk memaafkan dan menerima ganti rugi (diyah), akhirnya uang milyaran rupiah dititipkan melalui kedutaan Indonesia

5.      Ketika majikan berbuat zalim, masalah terbesar para pekerja Indonesia adalah tidak mampu melapor ke kantor polisi, diantaranya karena kendala bahasa, tidak mengerti dengan aturan-aturan yang ada dan tidak adanya pendamping mereka yang siap siaga ketika dibutuhkan. Adapun pemerintah Philipina, sangat terkenal pendampingan dan pembelaannya kepada pekerjanya, jika ada masalah yang terjadi pada pekerjanya mereka akan langsung turun ke lokasi dan menggunakan kekuatan diplomasinya untuk menekan pemerintah Saudi agar memproses menurut hukum yang berlaku. Sehingga jarang terdengar ada masalah antara majikan dan pekerja Philipina, padahal jumlah mereka (di luar kota suci Makkah dan Madinah) tidak kalah banyak dengan pekerja Indonesia

6.      Masalah terbesar dari sisi syari’at adalah datangnya para pekerja wanita (TKW) tanpa disertai mahram atau suami. Hampir semua masalah terjadi pada TKW yang tidak bersama suami atau mahramnya, sehingga dengan mudah mereka dizalimi tanpa ada yang membela mereka atau melaporkan ke kantor polisi. Padahal Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah melarang safar wanita tanpa mahram dalam sabda beliau:

لا تسافر المرأة إلا مع ذي محرم ولا يدخل عليها رجل إلا ومعها محرم

“Janganlah wanita melakukan safar (bepergian jauh) kecuali bersama mahramnya, dan janganlah seorang laki-laki asing menemuinya melainkan wanita itu disertai mahramnya.” (HR. Al-Bukhari dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma)

7.      Alhamdulillah, dengan sebab kerja di Saudi banyak sekali pekerja yang mendapatkan kebaikan yang sangat besar, diantara bentuknya:

    * Banyak pekerja yang tadinya beraqidah sufiyah quburiyah dan aqidah kesyirikan lainnya dengan berbagai macam bid’ahnya, tidak melaksanakan sholat lima waktu dan tidak memahami adab-adab Islami. Setelah tinggal di Saudi mereka tersentuh dakwah tauhid, meninggalkan semua bentuk syirik dan bid’ah, rajin melaksanakan sholat lima waktu dan mulai berhias dengan adab-adab Islami
    * Pekerja-pekerja Philipina, Nepal dan Sri Lanka yang tadinya beragama Nasrani, Hindu dan Budha juga banyak sekali (sampai puluhan ribu orang) yang masuk Islam dengan sebab da’i-da’i dan buku-buku yang dicetak dengan bahasa mereka oleh Kantor-kantor Dakwah untuk Orang-orang Asing di bawah naungan Kementrian Wakaf, Dakwah dan Bimbingan Saudi Arabia
    * Bisa menghadiri majelis-majelis ilmu para ulama
    * Bisa melaksanakan ibadah haji dan umroh

8.      Sayang sekali, banyak Kantor Dakwah untuk Orang-orang Asing disusupi oleh hizbiyyun dari sebuah partai Islam di Indonesia dengan hanya bermodalkan ijazah LC dari LIPIA[7], diantara kerusakan yang mereka lakukan:

    * Fasilitas dakwah digunakan untuk mendakwahkan kebatilan manhaj mereka
    * Mengajak kepada perpecahan dengan menjajakan partai mereka di musim Pemilu
    * Beberapa orang TKI yang ana temui, telah ikut kajian mereka bertahun-tahun namun tidak nampak adanya perubahan dalam aqidah dan ibadahnya menjadi lebih baik. Berbeda dengan TKI yang mengikuti kajian da’i-da’i Ahlus Sunnah, alhamdulillah banyak yang berubah menjadi lebih baik, seperti yang ana singgung di atas
    * Hal itu karena memang tidak ada perhatian mereka terhadap dakwah tauhid dan sunnah kecuali sedikit, malah mereka lebih banyak memanfaatkan para TKI untuk bisnis pengiriman barang dan travel haji, dengan bimbingan haji yang tidak mengikuti petunjuk Nabi shallallahu’alaihi wa sallam

9.      Kezaliman yang diderita sebagian TKI bukan hanya oleh majikan di Saudi tapi juga oleh PJTKI maupun calo-calonya di Indonesia. Ana pernah menyaksikan sendiri bagaimana para TKI ini dibentak-bentak dan diperlakukan tidak seperti manusia di tempat penampungan TKI di Jakarta. Bahkan ketika sudah bekerja di Saudi sebagian TKI masih diwajibkan mengirim sejumlah uang setiap bulan kepada calo-calo ini di Indonesia

10.  Kami menghimbau kepada semua pihak yang terkait dalam pemberangkatan TKI (termasuk keluarga para TKI) ataupun yang diberi amanah oleh pemerintah untuk mengurus TKI di Saudi maupun di negara lainnya; hendaklah bertakwa kepada Allah Ta’ala, janganlah mengirim TKW tanpa disertai suami atau mahramnya dan hendaklah melaksanakan tugas pembelaan dan pengurusan TKI sesuai amanah pemerintah. Ingatlah pertanggungjawabannya kelak di hari kiamat!

Inilah catatan ringan kami, hasil dari dialog dengan beberapa TKI, semoga bisa diambil pelajarannya baik oleh TKI, calon TKI maupun semua pihak yang terkait dalam pengurusan TKI. Semoga Allah Ta’ala memperbaiki keadaan kaum muslimin dan pemerintah mereka.

Wallahu A’la wa A’lam wa Huwal Musta’an.

Footnote:
[1] Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Shahihnya (6391):

عن أنس بن مالك رضي الله عنه : أن النبي صلى الله عليه و سلم ضرب في الخمر بالجريد والنعال وجلد أبو بكر أربعين

[2] Seperti kisah Ma’iz bin Malik radhiyallahu’anhu dalam riwayat Al-Bukhari (6438) dan Muslim (4520)

[3] Seperti kisah suami Ummu Habibah radhiyallahu’anha yang murtad di negeri Habasyah

[4] Ada juga majikan atau orang Saudi yang Sufi (murid-muridnya Alwi Al-Maliki), Syi’ah dan Hizbi Ikhwani. Salah seorang Ustadz kita, ketika diketahui oleh majikannya yang Ikhwani bahwa Ustadz kita ini pernah belajar di Darul Hadits Dammaj, majikannya mulai mempersulit ruang gerak beliau, sampai saat ini beliau dipaksa pulang ke Indonesia dengan membayar ganti rugi kepada majikannya sebesar 6000 riyal. Adakah yang mau membantu?

[5] http://www.sahab.net/home/index.php?Site=News&Show=829

[6] Mutawwa’ adalah istilah orang-orang awam di Saudi untuk menyebut orang yang nampak keshalihannya dan menjalankan sunnah seperti jenggot dan memendekkan pakaian (tidak sampai menutupi mata kaki)

[7] Lebih disayangkan lagi, ada seorang Ustadz terkenal, penerjemah buku Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah yang dicetak oleh Kantor Kerjasama Dakwah dan Bimbingan Islam di Riyadh, yang memberikan jalan kepada da’i-da’i hizbi ini untuk masuk menjadi pembina-pembina TKI di Kantor-kantor Dakwah untuk Orang-orang Asing di Saudi.


http://nasihatonline.wordpress.com

TAHLILAN DALAM TIMBANGAN ISLAM

Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Qur’an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu wata'ala mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.

Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.

Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.

Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.

Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.

Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.

Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wata'ala telah berfirman (artinya):
“Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59)

Historis Upacara Tahlilan
Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?
Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.

Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam
Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:

Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do’a-do’a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.
Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.

1. Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.
Memang benar Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)

Juga Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

“Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.
Suatu ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)
Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata'ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Allah subhanahu wata'ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)
Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata'ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu 'anha, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:

فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ

“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”
Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

“Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata'ala (artinya):
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).

2. Penyajian hidangan makanan.
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu 'anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu 'anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)

Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)

Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah –pent).

Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?

Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dalam hadistnya:

اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ

“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)
Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.

http://assalafy.org/artikel.php?kategori=aqidah6

IKHLASH DALAM SEBUAH AMALAN

Para pembaca yang mulia- semoga Allah subhanahu wata'ala merahmati kita semua-, Allah subhanahu wata'ala Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana telah menetapkan bahwa di antara hamba-hamba-Nya akan ada yang mengalami hidup bahagia dan akan ada yang mengalami hidup sengsara.

Namun Allah subhanahu wata'ala adalah Dzat Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, melalui lisan Rasul-Nya shalallahu 'alaihi wasallam, Dia subhanahu wata'ala juga telah menunjukkan kepada umat manusia ini mana jalan yang akan mengantarkan kepada hidup bahagia dan mana jalan yang akan menjerumuskan kepada jurang kesengsaraan.

Oleh karena itu, sangatlah penting bagi kita untuk mengetahui dan mempelajari serta kemudian mematuhi dan mengamalkan rambu-rambu yang telah terpasang di jalan yang menuju kepada hidup bahagia tersebut. Allah subhanahu wata'ala sebagai pemilik kehidupan ini telah menegaskan dalam Al Qur'an,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
"Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang bahagia." (An Nahl: 97)

Allah subhanahu wata'ala mensyaratkan kepada seorang mukmin yang menginginkan hidup bahagia, agar mereka beramal shalih. Allah subhanahu wata'ala berjanji, barangsiapa yang beramal shalih niscaya akan dimasukkan ke dalam Jannah-Nya. Sebagaimana firman-Nya,

وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
"Barangsiapa yang beramal shalih baik laki-laki maupun perempuan dan dia beriman, maka mereka akan masuk ke dalam Al Jannah dan mereka tidak akan dianiaya sedikit pun." (An Nisa': 124)

Apakah Amal Shalih itu?
Tidaklah semua amal baik yang dilakukan oleh seseorang bisa dikatakan sebagai amalan shalih yang diterima di sisi Allah subhanahu wata'ala. Seperti yang telah dikhabarkan oleh nabi shalallahu 'alaihi wasallam dalam sabdanya,

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوْعُ, وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهْرُ

"Betapa banyak orang yang berpuasa, tidaklah dia mendapatkan pahala kecuali sekedar rasa lapar, dan betapa banyak orang yang menegakkan shalat malam, tidaklah dia mendapatkan pahala kecuali sekedar bergadang saja." (HR. Ibnu Majah, An Nasa'i)

Lihatlah wahai pembaca yang mulia, ternyata amalan puasa dan shalat malam yang dilakukan, tidak memberikan manfaat bagi dirinya, Allah subhanahu wata'ala tidak menerima amalan tersebut, tidak memberi pahala kepadanya, dan yang ia peroleh hanya sebatas rasa lapar dan payah belaka.

Karena Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya shalallahu 'alaihi wasallam telah menetapkan dalam syariat Islam ini, bahwa suatu amalan disebut amal shalih yang diterima di sisi Allah subhanahu wata'ala jika terpenuhi padanya dua syarat:

Syarat pertama adalah ikhlas. Amalan yang dilakukan itu semata-mata hanya untuk mengharapkan ridha Allah subhanahu wata'ala, bukan karena terpaksa atau karena mengharapkan pujian orang lain, atau dalam rangka untuk mencari jabatan, kekayaan, popularitas dan semisalnya dari perkara-perkara duniawi.

Syarat kedua, amalan itu haruslah sesuai dengan tuntunan/ajaran Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Beliau shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

"Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunan (ajaran)nya dari kami, maka amalan itu akan tertolak (di sisi Allah subhanahu wata'ala)." (HR. Muslim)

Bagaimana bisa seperti itu? Kita ambil contoh amalan shalat. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam telah mengajarkan kepada umatnya bahwa shalat Maghrib itu tiga raka'at. Maka barangsiapa yang mengerjakan shalat Maghrib empat raka'at, tentu shalatnya tidak sah dan secara otomatis akan tertolak di sisi Allah subhanahu wata'ala.

Kedua syarat itulah pada hakekatnya merupakan realisasi dari Asy Syahadatain (dua kalimat Syahadat: Laa Ilaaha Illallah – Muhammadurrasulullah). Ketika seseorang telah mengikrarkan bahwa Allah subhanahu wata'ala lah satu-satunya Dzat yang berhak untuk diibadahi, maka sudah seharusnya bagi dia untuk mempersembahkan seluruh ibadahnya ikhlas karena Allah subhanahu wata'ala. Dan ketika dia telah menyatakan bahwa Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam adalah Rasulullah, maka hendaknya dia siap, tunduk, dan patuh untuk menjalankan ibadah kepada Allah subhanahu wata'ala sesuai dengan tuntunan/ajaran Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam.

Allah subhanahu wata'ala berfirman:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

"Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaknya dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan sesuatu apa pun dalam beribadah kepada-Nya." (Al Kahfi: 110)

Al Imam Ibnu Katsir mengatakan: Ini adalah dua rukun amalan agar diterima (di sisi Allah subhanahu wata'ala), yaitu ikhlas karena Allah subhanahu wata'ala dan sesuai dengan tuntunan/ajaran Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.

Jika hilang salah satu dari kedua syarat tersebut, maka amalan seseorang akan tertolak dan tidak ada nilainya di sisi Allah subhanahu wata'ala. Maka barangsiapa yang beramal dengan niat ikhlas karena Allah subhanahu wata'ala, namun tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam, maka amalannya tertolak, dan sebaliknya barangsiapa yang beramal dengan amalan yang sesuai dengan tuntunan/ajaran Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, namun tidak ikhlas karena Allah subhanahu wata'ala, maka amalannya pun juga tertolak.

Peranan Niat dalam Amalan dan Kewajiban Ikhlas di dalamnya
Setiap amalan itu tergantung pada niatnya sebagaimana sabda nabi shalallahu 'alaihi wasallam:

"Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan balasan (dari amalannya) sesuai dengan niatannya." (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Seseorang yang beramal dengan niatan ikhlas untuk mendapatkan ridha dan pahala dari Allah subhanahu wata'ala, dia akan mendapatkannya Insya Allah. Dan barangsiapa yang beramal namun dengan niatan untuk mendapatkan perkara yang sifatnya materi (duniawi) dan tidak ikhlas karena Allah subhanahu wata'ala, maka amalan itu tidak ada nilainya di sisi Allah subhanahu wata'ala. Boleh jadi dia akan mendapatkan apa yang diinginkan tersebut, tapi Allah subhanahu wata'ala tidak akan memberikan keridhaan-Nya kepadanya, bahkan Allah subhanahu wata'ala mengancam orang yang seperti ini dengan firman-Nya,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُون* أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan usaha mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali An Nar (neraka) dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan." (Hud: 15-16)

Betapa pentingnya permasalahan ikhlas ini, sampai-sampai Al Imam An Nawawi menjadikan wajibnya ikhlas sebagai bab pertama dalam kitab beliau yang barakah Riyadhush Shalihin.

Adapun dalil yang menunjukkan wajibnya ikhlas dalam semua amalan ibadah kepada Allah subhanahu wata'ala adalah firman-Nya,

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

"Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya." (Al Bayyinah: 5)

Seseorang yang beramal bukan dalam rangka mengharap ridha Allah subhanahu wata'ala, berarti dia telah menjadikan sekutu dan tandingan bagi Allah subhanahu wata'ala dalam ibadah. Inilah kesyirikan yang dilarang dalam agama ini. Allah subhanahu wata'ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِيْ غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

"Barang siapa yang beramal dengan mempersekutukan Aku dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan (tidak mempedulikan) pelakunya dan perbuatannya." (HR. Muslim)

Orang yang berbuat syirik kepada Allah subhanahu wata'ala, maka amalannya akan terhapus dan tertolak di sisi Allah subhanahu wata'ala. Allah subhanahu wata'ala berfirman,
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ


"Jika engkau berbuat syirik, maka sungguh amalan-amalanmu akan terhapus dan engkau termasuk orang-orang yang merugi." (Az Zumar: 65)

Tipu Daya Iblis
Para pembaca, tentunya kita tidak lupa akan perbuatan Iblis yang membangkang ketika Allah subhanahu wata'ala memerintahkan kepadanya untuk sujud kepada Nabi Adam ?. Allah subhanahu wata'ala mengusir Iblis dari Al Jannah, maka Iblis menyatakan sebagaimana yang Allah subhanahu wata'ala kisahkan dalam Al Qur'an,

قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لأزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الأرْضِ وَلأغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ *إِلا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ *

"Iblis berkata: "Wahai Rabbku, oleh sebab Engkau telah menyesatkanku, pasti aku akan menjadikan mereka (anak cucu Adam) memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang ikhlas di antara mereka." (Al Hijr: 39-40)

Iblis bertekad untuk menyesatkan umat manusia ini seluruhnya, kemudian Iblis mengecualikan orang-orang yang ikhlas, karena Iblis tidak akan mampu untuk menyesatkan mereka.

Ini menunjukkan bahwa misi utama Iblis adalah menyesatkan umat manusia dari jalan Allah subhanahu wata'ala dengan memalingkan mereka dari keikhlasan kepada-Nya. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَحْضُرُ أَحَدَكُمْ عِنْدَ كُلِّ شَيْءٍ مِنْ شَأْنِهِ

"Sesungguhnya setan akan selalu hadir menggoda salah seorang diantara kalian pada setiap keadaannya." (HR. Muslim)

Hendaknya kita semua berhati-hati dari makar setan ini, karena setan senantiasa akan menggoda, menyesatkan, dan memalingkan kita dari keikhlasan kepada Allah subhanahu wata'ala. Senantiasa kita koreksi niat-niat kita dalam beramal. Semoga Allah subhanahu wata'ala menjadikan kita termasuk di antara hamba-hamba-Nya yang Mukhlishin.

Akibat tidak Ikhlas
Berikut ini akan kami sampaikan sebuah hadits nabi shalallahu 'alaihi wasallam yang menceritakan keadaan orang-orang yang tidak ikhlas dalam amalannya, Beliau shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (artinya),

"Sesungguhnya manusia yang pertama dihisab pada hari kiamat nanti adalah seseorang yang mati syahid, di mana dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya. Kemudian dia ditanya, ‘Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Saya berjuang di jalan-Mu sehingga saya mati syahid’. Allah berfirman, ‘Kamu berdusta, kamu berjuang (dengan niat) agar dikatakan sebagai pemberani, dan hal itu sudah terpenuhi.’ Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang tersebut yang akhirnya dia dilemparkan ke An Nar (neraka).

Kedua, seseorang yang belajar dan mengajar serta suka membaca Al Qur'an, dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya, kemudian ditanya, ‘Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu?’. Ia menjawab, ‘Saya telah belajar dan mengajarkan Al Qur'an untuk-Mu’. Allah berfirman, ‘Kamu dusta, kamu belajar Al Qur'an (dengan niat) agar dikatakan sebagai orang yang alim (pintar), dan kamu membaca Al Qur'an agar dikatakan sebagai seorang Qari' (ahli membaca Al Qur'an), dan hal itu sudah terpenuhi.’ Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang itu yang akhirnya dia dilemparkan ke dalam An Nar.

Ketiga, seseorang yang dilapangkan rezekinya dan dikaruniai berbagai macam kekayaan, lalu dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya. Kemudian dia ditanya, ‘Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Tidak pernah aku tinggalkan suatu jalan yang Engkau sukai untuk berinfaq kepadanya, kecuali pasti aku akan berinfaq karena Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta, kamu berbuat itu (dengan niat) agar dikatakan sebagai orang yang dermawan, dan hal itu sudah terpenuhi’. Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang tersebut yang akhirnya dia dilemparkan ke dalam An Nar." (HR. Muslim)

Demikianlah ketiga orang yang beramal dengan amalan mulia tetapi tidak didasari keikhlasan kepada Allah subhanahu wata'ala. Allah subhanahu wata'ala lemparkan mereka ke dalam An Nar. Semoga kita termasuk orang-orang yang bisa mengambil pelajaran dari kisah tersebut.

Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ عز وجل لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ..

"Barangsiapa yang menuntut ilmu yang semestinya dalam rangka untuk mengharap wajah Allah, tetapi ternyata tidaklah dia menuntutnya kecuali hanya untuk meraih sebagian dari perkara dunia, maka dia tidak akan mendapatkan aroma Al Jannah pada hari kiamat nanti." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah)

Akhir kata, semoga ulasan edisi kali ini mendorong kita untuk selalu mengoreksi ibadah yang telah kita lakukan baik kualitas maupun kuantitasnya. Semoga Allah subhanahu wata'ala mengampuni kekurangan-kekurangan ibadah kita yang telah lalu dan menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang mukhlishin. Amin, Ya Rabbal alamin.

Mutiara Faedah
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (artinya):

"Barang siapa yang berwudhu' lalu berjalan menuju rumah Allah (masjid) untuk menunaikan kewajiban shalat yang telah diwajibkan oleh Allah, maka salah satu langkah kakinya dapat menghapus dosa dan langkah lainnya dapat mengangkat derajatnya." (HR. Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu)

Masjid merupakan syi'ar agama Islam yang perlu dijaga dan dilestarikan, bukan hanya dari sisi fisiknya saja, namun yang paling utama adalah meramaikan masjid itu dengan menghidupkan berbagai macam kegiatan (ibadah) yang dianjurkan oleh syariat, seperti menghidupkan sholat jama'ah lima waktu.

Allah subhanahu wata'ala adalah Maha Pemurah lagi Maha Penyayang sehingga tidak akan menyia-nyiakan amalan seseorang, bahkan Allah subhanahu wata'ala membalasnya dengan jauh lebih baik dari apa yang ia kerjakan, sebagaimana hadits di atas.

http://assalafy.org/artikel.php?kategori=aqidah7

Perayaan Maulid Nabi dalam Sorotan

Hari itu istri-istri Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam kedatangan tiga shahabat menanyakan perihal ibadah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Sesampainya mereka disana diceritakanlah kepada mereka seperti apa ibadah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, selesai mereka menyimak keterangan para pendamping Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam seolah-olah mereka masih menganggapnya belum seberapa. Maka berkatalah salah seorang dari mereka; "Saya akan shalat malam selama-lamanya". Kata yang kedua; "Kalau saya, saya akan berpuasa dan tidak berbuka". Yang terakhir menyela; "Dan saya, saya akan menjauhi wanita-wanita dan tidak akan menikah".

Tidak lama, sampailah kepada beliau laporan ucapan-ucapan ketiga shahabatnya tadi. Maka beliau pun berkata lantang dihadapan mereka; "Kenapa masih ada orang-orang yang mengatakan ini dan itu, sungguh demi Allah, ketahuilah; saya adalah orang yang paling bertakwa dan paling takut kepada Allah dari pada kalian, tapi saya shalat malam dan saya juga tidur, saya puasa dan saya juga berbuka dan saya menikahi wanita-wanita…barangsiapa yang tidak suka dengan ajaranku maka dia bukan dari golonganku".

Demikianlah makna hadist Anas radiyallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dalam Shahihnya. Hadits ini seolah-olah terus menegur dan mengingatkan kita, bahwa ada satu hal dari sunnah nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang sering kali luput dari pengamatan yaitu yang dinamakan para ulama dengan sunnah tarkiyyah. Sunnah Tarkiyyah adalah semua yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulllah Shallallahu 'Alaihi Wasallam semasa hidupnya, maka Sunnah bagi kita untuk meninggalkannya.

Karena sunnah ada dua; sunnah fi'liyyah dan sunnah tarkiyyah. Yang pertama; setiap yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dimasa hidupnya adalah sunnah bagi kita untuk melakukannya. Dan yang kedua; setiap yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dimasa hidupnya adalah sunnah bagi kita untuk tidak melakukannya.

Diantara contoh sunnah tarkiyah adalah hadist Anas radiyallahu 'anhu diatas. Karena itu Al Hafidz Ibnu Rajab berkata; "…adapun hal-hal yang telah disepakati oleh Salaf untuk ditinggalkan, maka tidak boleh mengamalkannya, karena mereka meninggalkannya atas dasar ilmu bahwa hal tersebut tidak disyariatkan".

Di hari-hari ini, di bulan Rabi'ul Awal, umumnya kaum muslimin merayakan perayaan ritual tahunan yang biasa dikenal dengan Maulid Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam atau Mauludan (di Jogja dikenal dengan perayaan Sekaten, red). Tidak sedikit harta yang dinafkahkan pada perayaan ini, sampai-sampai dibeberapa tempat dana yang dihabiskan untuk mensukseskannya terkadang mencapai puluhan juta. Tapi harus kita akui bersama, hanya sedikit –dari sekian besar dana yang dibelanjakan untuk acara ini- yang manfaatnya kembali kepada kaum muslimin apabila ditinjau dari perbaikan akhlak dan sikap beragama mereka, kalau tidak boleh mengatakan; "Tidak ada manfaatnya". Bukti akan hal ini terlalu banyak untuk disebutkan. Dan setiap kita cukup sebagai saksi dari gagalnya seremonial tahunan ini dalam mengangkat moral ummat dan mengembalikan kesadaran beragama mereka.

Apa yang salah dari perayaan maulid Nabi, bukankah acara tersebut merupakan ungkapan kegembiraan kita dengan Nabi kita sendiri?! Dengannya kita bisa melakukan napak tilas sejarah kehidupan beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam?! Mempelajari sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam?! Semua ini adalah niatan baik yang melatar belakangi perayaan tersebut, tapi seperti yang dikatakan oleh Ibnu Mas'ud radiyallahu 'anhu kepada orang-orang yang didapatinya di masjid Kufah, ketika itu mereka terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok majlis dzikir, majlis memuji dan mengingat Allah Ta'ala, kata Ibnu Mas'ud radiyallahu 'anhu , "Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi tidak mendapatkannya". Hal ini karena mereka melakukan suatu yang tidak pernah dikerjakan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam semasa hidupnya, ini juga yang hampir dilakukan oleh tiga orang shahabat nabi dalam kisah di atas.

Ungkapan kegembiraan yang tepat, yakni napak tilas kehidupan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan mempelajari sunnah-sunnah beliau caranya dengan menerapkan ajarannya dalam kehidupan kita, dengan belajar ilmu agama diantaranya sirah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bukan dengan cara-cara yang baru yang hanya dikenal setelah berlalunya tiga generasi yang mulia, shahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in.

Adapun perayaan Maulid ini tidak dikenal di masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, generasi pertama ummat ini dan tidak dikenal dalam mazhab yang empat, Hanafiah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hambaliyah. Lantas siapa orang yang menanggung dosa pertama dari bid'ah maulid ini? Orang yang pertama kali mengadakan perayaan ini adalah kelompok Fatimiyyun disebut juga Ubaidiyyun ajaran mereka adalah kebatinan. Adapun perkataan bahwa yang pertama kali mengadakan perayaan tersebut adalah seorang raja yang adil yang alim yaitu Raja Mudhofir, penguasa Ibril adalah pernyataan yang salah. Abu Syamah menjelaskan bahwa Raja Al Mudhofir (hanya) mengikuti jejak Asy-Syaikh Umar bin Muhammad Al Mulaa tokoh kebatinan dan dialah orang yang pertama kali mengadakan perayaan tersebut.

Kelompok yang membolehkan Maulid Nabi beralasan;
1- Perayaan Maulid merupakan ekspresi kebahagiaan dan kegembiraan dengan diutusnya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan hal ini termasuk perkara yang diharuskan karena Al-Qur’an memerintahkannya sebagaimana yang terdapat di dalam firman Allah Ta’ala :
"Katakanlah, dengan karunia Allah dan rahmat-Nya hendaklah dengan itu mereka bergembira" (Qs. Yunus; 58).
Ayat ini memerintahkan kita untuk bergembira disebabkan rahmat-Nya, sedangkan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah rahmat Allah yang paling agung, Allah Ta’ala berfirman :
"Dan tidaklah kami utus kamu melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam" (Qs. Al Anbiya'; 107)

Sanggahannya :
Bergembira dengan beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam, kelahirannya, syariat-syariatnya pada umumnya adalah wajib. Dan penerapannya di setiap situasi, waktu dan tempat, bukan pada malam-malam tertentu.
Kedua, pengambilan dalil surat Yunus ayat ke 58 untuk melegalkan acara Maulid nyata sangat dipaksakan. Karena para ahli tafsir seperti Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, Al Baghawi, Al Qurthubi dan Ibnul Arabi serta yang lainnya tidak seorangpun dari mereka yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kata rahmat pada ayat tersebut adalah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, namun yang dimaksud dengan rahmat adalah Al Qur’an. Seperti yang diterangkan dalam ayat sebelumnya.
"Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman". (Qs. Yunus; 57).

Ibnu Katsir menerangkan; "Firman Allah Ta’ala "rahmat dan petunjuk bagi orang-orang yang beriman" maksudnya dengan Al-Qur’an, petunjuk dan rahmat bisa didapatkan dari Allah Ta’ala. Ini hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang beriman dengan Al-Qur'an dan membenarkannya serta meyakini kandungannya. Hal ini senada dengan firman Allah Ta’ala;
"Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman" (Qs. Al Israa'; 82).

2- Syubhat kedua, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sendiri mengagungkan hari kelahirannya, beliau mengekspresikan hal itu dengan berpuasa, seperti diriwayatkan dari Abu Qatadahradiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ditanya tentang puasa hari senin, beliau menjawab; "Pada hari itu aku dilahirkan, aku diutus atau diwahyukan kepadaku".

Sanggahannya :
Hadist Abu Qatadah radiyallahu 'anha di atas adalah hadits yang shahih, tapi menjadikannya sebagai dalil bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam merayakan sendiri kelahirannya, ini yang salah. Kesimpulannya dalilnya shahih, pendalilannya salah. Dikarenakan beberapa alasan;
1- Diriwayatkan dalam hadits yang lain, bahwa puasa beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam di hari Senin, karena amalan di hari itu diperlihatkan kepada Allah Ta'ala.
2- Kalau ucapan mereka benar, kenapa tidak ada seorang pun dari shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang memahami sabda diatas dengan pemahaman demikian. Kemudian datang orang-orang belakangan yang memahami puasa beliau di hari Senin sebagai ekspresi pengagungan terhadap hari kelahirannya, lalu dari situ mereka mengadakan acara yang dinamakan Maulid!! Apakah mereka lebih mengetahui kebenaran dari para shahabat yang mulia?! Dan kebenaran itu luput dari mereka dan hanya diketahui oleh orang yang datang belakangan?! Sungguh ajaib logika orang-orang pintar akhir zaman, hasbunallahu wani'mal wakiil.

3- Syubhat ketiga, perkataan mereka : Perayaan Maulid memang bid'ah, tapi bid'ah hasanah (baik)."

Sanggahannya :
Cukup dengan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "Setiap bid'ah adalah sesat". Dan seperti itu pulalah yang disampaikan Ibnu Umar radiyallahu 'anhuma kepada orang-orang yang memiliki anggapan salah ini, kata beliau; "Setiap bid'ah adalah sesat walaupun orang menganggapnya baik".

Al Imam Malik rahimahullah berkata; "Barangsiapa yang membuat bid'ah di dalam Islam yang dianggapnya baik, ia telah menuduh Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam khianat dalam menyampaikan risalah. Karena Allah Ta'ala berfirman;
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (Qs. Al Maidah; 3), maka segala sesuatu yang bukan agama dihari itu, bukan pula agama di hari ini.

Apabila ajaran maulid adalah petunjuk dan kebenaran, kenapa Rasululah SAW dan para shahabatnya, tidak pernah menganjurkannya?! Apakah mereka tidak tahu?! Kemungkinan yang lain, mereka tahu tapi menyembunyikan kebenaran. Dua kemungkinan ini sama batilnya!! Alangkah dzalim apa yang mereka perbuat kepada nabinya dengan alasan cinta kepadanya?!


Dikirim via email oleh Al Akh Fajar Wuryanto, Jakarta

Sifat-Sifat Penghuni Al Jannah

Para pembaca yang mulia, pada edisi ke 2 th. ke 5, 1427, telah kami angkat sebuah tema tamasya ke surga, maka edisi kali ini akan melanjutkan tamasya kita untuk menikmati keindahan sifat-sifat penghuni al jannah (surga).

Sungguh kenikmatan-kenikmatan dalam al jannah tidak akan dicapai oleh indera manusia. Belum pernah dilihat oleh penglihatan siapa pun, belum pernah didengar oleh pendengaran siapa pun, dan belum pula terbetik dalam hati siapa pun. Demikianlah yang dikhabarkan Baginda Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:
"Allah berfirman (artinya): ''Aku telah sediakan bagi hamba-hamba-Ku yang shalih (kenikmatan Al jannah) yang belum pernah dilihat mata, didengar telinga, serta terlintas di hati manusia. (HR. Muslim no. 2824)

Kenikmatan-kenikmatan itu menggambarkan, rahmat Allah subhanahu wata'ala itu betapa luas tanpa batas, bagaikan hamparan tiada bertepi. Yang Allah subhanahu wata'ala sedialam bagi hamban-hamba-Nya yang shalih. Tapi itu bukan semata-mata hasil amal shalih yang dilakukan oleh seorang hamba, sekalipun ia seorang nabi. Bahkan Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam sebagai Imamul Anbiya' (pemimpin para nabi), ia adalah orang yang pertama kali mengetuk pintu al jannah, hal itu bukan semata disebabkan amal shalih yang ia usahakan, namun berkat rahmat Allah subhanahu wata'ala.

فَإِنَّهُ لَنْ يُدْخِلَ الْجَنَّةَ أَحَدًا عَمَلُهُ قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ: وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ مِنْهُ بِرَحْمَةٍ

"Sungguh bukanlah seseorang itu masuk al jannah karena amalannya. Para shahabat bertanya: "Demikian juga engkau wahai Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam Beliau berkata: "Demikian juga saya, melainkan Allah subhanahu wata'ala melimpahkan rahmat-Nya kepadaku. (HR. Al Bukhari no. 6463 dan Muslim no. 2816)

Ciri Fisik Penghuni Al Jannah
Penghuni al jannah memiliki ciri-ciri khusus. Diantaranya;
Berperawakan seperti Adam. Dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

فَكُلُّ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ آدَمَ وَطُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا فَلَمْ يَزَلْ الْخَلْقُ يَنْقُصُ بَعْدَهُ حَتَّى اْلآنَ

"Maka setiap orang yang masuk al jannah wajahnya seperti Adam dan tingginya 60 hasta, setelah Adam manusia terus mengecil hingga sampai sekarang." (Muttafaqun 'alaihi)
Berusia masih muda. Dari shahabat Syahr bin Husyab radhiallahu 'anhu, Rasulullah bersabda:

يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ جُرْدًا مُرْدًا مُكَحَّلِينَ أَبْنَاءَ ثَلاَثِينَ أَوْ ثَلاَثٍ وَثَلاَثِينَ سَنَةً

"Penghuni al jannah akan masuk ke dalam al jannah dengan keadaan rambut pendek, jenggot belum tumbuh, mata bercelak, dan berusia tiga puluh tahun atau tiga pulu tiga tahun." (HR. At Tirmidzi no. 2468, dihasankan Asy Syaikh Al Albani. Keraguan ini berasal dari perawi, namun dalam riwayat Ahmad, Ibnu Abi Dunya, Ath Thabarani dan Al Baihaqi dengan riwayat tegas tanpa ada keraguan yaitu berusia 33 tahun. Lihat Tuhfatul Ahwadzi 7/215)

Orang Yang Pertama Mengetuk Pintu Al Jannah
Orang pertama kali yang mengetuk pintu al jannah, lalu membukanya dan kemudian memasukinya adalah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Dari shahabat Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

أَنَا أَكْثَرُ اْلأَنْبِيَاءِ تَبَعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَنَا أَوَّلُ مَنْ يَقْرَعُ بَابَ الْجَنَّةِ

"Saya adalah orang yang paling banyak pengikutnya pada Hari Kiamat dan saya adalah orang yang pertama kali mengetuk pintu Al Jannah." (HR. Muslim no. 196)
Masih dari shahabat Anas bin Malik namun dalam riwayat At Tirmidzi, dengan lafadz:
"Saya adalah orang yang pertama kali keluar jika mereka dibangkitkan. Saya adalah orang pertama kali bicara, jika mereka diam. Saya adalah pemimpin mereka, jika mereka dikirim. Saya adalah pemberi syafaat kepada mereka, jika mereka tertahan. Saya adalah pemberi berita gembira, jika mereka putus asa. Panji pujian ada digenggaman tanganku. Kunci-kunci al jannah ada ditanganku. Saya adalah keturunan Adam yang paling mulia di sisi Rabb-ku dan tidak ada kebanggaan melebihi hal ini. Saya dikelilingi seribu pelayan setia laksana mutiara yang tersimpan."

Umat Yang Pertama Kali Masuk Al Jannah Dan Ciri-Cirinya
Sekalipun umat Islam ini adalah umat terakhir, namun Allah subhanahu wata'ala (dengan rahmat-Nya yang luas) memilihnya sebagai umat yang pertama kali masuk al jannah. Dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

نَحْنُ اْلآخِرُونَ اْلأَوَّلُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَنَحْنُ أَوَّلُ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ بَيْدَ أَنَّهُمْ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِنَا وَأُوتِينَاهُ مِنْ بَعْدِهِمْ

"Kita adalah umat terakhir namun paling awal pada hari kiamat. Kita adalah umat yang pertama kali masuk al jannah, meskipun mereka diberi kitab sebelum kita, dan kita diberi kitab sesudah mereka." (HR. Muslim no. 855)

Selain itu, Allah subhanahu wata'ala pun menampilkan umat Islam dengan penampilan yang amat indah. Masih dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ زُمْرَةٍ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ عَلَى أَشَدِّ كَوْكَبٍ دُرِّيٍّ فِي السَّمَاءِ إِضَاءَةً

"Rombongan pertama yang masuk Al Jannah laksana bulan purnama, sedangkan rombongan berikutnya bagaikan bintang yang paling berkilau di langit."
(HR. Al Bukhari no. 3327, Muslim no. 2824)

Orang Fakir Miskin Lebih Dahulu Masuk Al Jannah
Lalu siapakah diantara umat Islam yang pertama kali masuk al jannah? Hal yang sama pernah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam tanyakan kepada para shahabatnya. Seraya mereka menjawab: "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu." Barulah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menjelaskan: "Mereka adalah kaum faqir Muhajirin yang terlindungi dari hal-hal yang dibenci. Salah seorang dari mereka meninggal dunia sementara kebutuhannya masih ada di dadanya namun ia tidak mampu menunaikannya. Para Malaikat berkata: " Ya Rabb-kami, kami adalah para malaikat-Mu, penjaga-Mu, dan penghuni langit-Mu, janganlah Engkau dahulukan mereka daripada kami memasuki jannah-Mu! Allah subhanahu wata'ala berfirman: "Mereka adalah hamba-hamba-Ku yang tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu apapun. Mereka terlindungi dari hal-hal yang dibenci. Ada salah seorang diantara mereka meninggal dunia sementara kebutuhannya masih ada di dadanya yang tidak mampu ia tunaikan. Mendengar jawaban Allah seperti itu, para malaikat segera masuk ketempat mereka dari semua pintu seraya berkata," Salam sejahtera untuk kalian atas kesabaran kalian. Ini adalah sebaik-baik tempat tinggal." (HR. Ahmad dan At Thabarabi, dari shahabat Abdullah bin Umar)

Sementara dalam riwayat Al Imam Muslim dan At Tirmidzi menjelaskan selisih waktu antara rombongan orang-orang fakir dengan orang-orang kaya masuk ke dalam al jannah. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ فُقَرَاءَ الْمُهَاجِرِينَ يَسْبِقُونَ اْلأَغْنِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى الْجَنَّةِ بِأَرْبَعِينَ خَرِيفًا

"Orang-orang fakir kaum Muhajirin masuk Al Jannah mendahului orang-orang kaya dari mereka, dengan selisih waktu 40 tahun." (HR. Muslim no. 2979)

Istri-istri Penghuni Al Jannah, Pesona, Ciri-Ciri Dan Kecantikannya
Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya):
"Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya". (Al Baqarah: 25)
Pada ayat di atas Allah subhanahu wata'ala memadukan antara kenikmatan fisik berupa al jannah beserta taman-taman dan sungai-sungai di dalamnya, dengan kebahagian jiwa berupa bidadari-bidadari sebagai istri-istri yang suci lagi penyejuk mata bagi mereka. Dan Allah subhanahu wata'ala memastikan bagi mereka keberlangsungan kehidupan yang abadi tiada pernah terputus sedikitpun.
Mereka dipingit di kemah-kemah dalam keadaan putih bersih nan jelita. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya): "(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam kemah." (Ar Rahman: 72)

Mereka memiliki akhlak yang bagus nan indah sebagaimana kecantikan pesona wajah-wajah mereka. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya): "Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang (berakhlak) baik-baik lagi cantik-cantik." (Ar Rahman: 70)
Mereka berusia sebaya, selalu tampil dalam keadaan perawan, penuh pesona dan cinta. Allah subhanahu wata'ala berifirman (artinya): "Dan Kami jadikan bidadari-bidadari itu perawan. Penuh cinta kasih lagi sebaya umurnya. Kami ciptakan mereka untuk golongan kanan." (Al Waqi'ah: 36-38)

Penghuni Yang Masuk Al Jannah Paling Akhir
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya aku tahu penghuni neraka yang paling akhir keluar dari neraka dan penghuni al jannah yang paling akhir masuk al jannah. Dia keluar dari neraka dengan merangkak. Allah berfirman kepadanya, 'Pergilah ke al jannah (surga) dan masuklah ke dalamnya!' Orang tersebut bergegas pergi ke jannah dan tergambar dalam pikirannya bahwa al jannah itu telah penuh sesak. Maka ia pun kembali dan berkata kepada Allah, 'Wahai Rabbku, aku dapati al jannah telah penuh!' Allah pun berfirman kepadanya, 'Pergilah ke al jannah dan masuklah ke dalamnya! Sesungguhnya engkau berhak atas nikmat sebesar dunia dan sepuluh kali lipatnya.' Orang tersebut berkata, 'Wahai Rabbku, apakah Engkau mengejekku dan menertawakanku, karena Engkau Sang Raja Penguasa?"
Abdullah bin Mas'ud berkata: "Kulihat Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya." Beliau bersabda: "Itulah derajat penghuni al jannah yang paling rendah." (HR. Al Bukhari no. 6571 dan Muslim no. 186)

Penghuni Al Jannah Melihat Rabb Mereka Dengan Mata Kepalanya
Kenikmatan tertinggi di dalam al jannah adalah melihat wajah Rabbul 'alamin. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya):
"Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaikb berupa surga dan ada tambahannya. Dan wajah mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) dengan kehinaan. Mereka Itulah penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya." (Yunus: 25-26)

Yang dimaksud dengan ada tambahannya pada ayat di atas yaitu berupa kenikmatan melihat Allah subhanahu wata'ala. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dalam sabdanya: "Jika telah masuk penduduk al jannah ke dalam al jannah. Allah subhanahu wata'ala berkata: "Apakah kalian ingin tambahan dari-Ku. Mereka seraya menjawab: "Bukankah Engkau telah menjadikan wajah-wajah kami bercahaya? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam al jannah (surga) dan menyelamatkan dari an nar (neraka). Kemudian Allah subhanahu wata'ala membuka hijab-Nya. Maka tidaklah mereka diberi nikmat yang lebih mereka sukai dibanding dengan melihat Allah subhanahu wata'ala. (HR. Muslim no. 181)

Akhir kata, demikianlah tamasya kita untuk menengok sebagian keindahan para penghuni al jannah. Dengan sebuah harapan dapat mendorong kita untuk selalu berpacu dalam beramal shalih. Tuk meraih tamasya yang hakiki yang penuh dengan kenikmatan yang abadi. Amien, Ya Rabbal 'alamin.

Do'a Mohon Dimasukkan Al Jannah dan Dijauhkan dari An Naar
Diriwayatkan dari Ummul Mukminin 'Aisyah, bahwasanya Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam berdo'a:

اللهم إِنِّي أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَمَا يُقَرِّبُ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ وَعَمَلٍ, وَأَعُوذُبِكَ مِنَ النَّارِ وَمَا يُقَرِّبُ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ وَعَمَلٍ

"Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu al jannah (surga) beserta segala sesuatu yang bisa mendekatkan kepadanya dari perkataan dan perbuatan, dan aku berlindung kepada-Mu dari an nar (neraka) beserta segala sesuatu yang bisa mendekatkan kepadanya dari perkataan dan perbuatan". (HR. Ahmad, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no.1542)

http://assalafy.org/artikel.php?kategori=akhlaq=7

Wahai Muslimah....., Raihlah Kemuliaanmu Dari Islam

Pada masa jahiliyah, yakni sebelum datangnya Islam, kaum wanita tidak mendapatkan tempat yang semestinya di tengah masyarakat, bahkan lebih banyak dihinakan dan dinistakan. Kelahiran mereka tidak dikehendaki oleh orang tuanya. Kalaulah terlahir ke dunia maka laksana buah simalakama bagi orang tuanya, dikubur hidup-hidup atau dibiarkan berumur panjang dengan menanggung kehinaan.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدّاً وَهُوَ كَظِيمٌ يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepada nya, apakah dia akan memelihara nya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkan nya ke dalam tanah (hidup-hidup) Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (An-Nahl: 58-59)

Dan seandainya si mungil ini dibiarkan hidup dan beranjak dewasa berarti ia menyongsong penderitaan dan kesengsaraan yang telah menanti. Masih panjang dan terjal jalan kehidupan yang mesti dilalui. Yaitu, tatkala menginjak jenjang pernikahan, di mana timbul permasalahan yang tidak kalah pelik dan menyengsarakan nya. Status dan nasib seorang istri banyak digantungkan oleh suaminya, karena suami berhak menceraikan nya beberapa kali tanpa ada masa iddah, dan boleh saja merujuknya kembali -setiap saat- kapan saja dia mau. Laki-laki juga berhak berpoligami tanpa batas jumlah, bahkan boleh menikahi sekaligus dua perempuan bersaudara. Dan lebih keji lagi, seorang perempuan boleh dinikahi oleh beberapa orang lelaki dalam satu waktu. Perempuan di masa itu tidak berhak mendapatkan waris meski dia dalam keadaan sangat melarat. Bila suaminya meninggal dunia, isteri tidak mendapatkan warisan, malahan dia bisa diwariskan -layaknya harta- kepada anak-anak lelakinya.

Hal serupa juga dialami kaum wanita selain bangsa Arab. Di kalangan bangsa Yunani, perempuan dianggap seperti barang yang paling murah, tidak memiliki hak-hak dalam keluarga dan bisa diperjual-belikan di pasar. Di kalangan bangsa Romawi, orang lelaki memiliki wewenang mutlak dalam keluarga dan memegang hak-hak keluarga secara absolut. Dia berhak menghukum mati istrinya untuk alasan yang sangat remeh, dan dia juga berhak membunuh atau menyiksa anak-anaknya tanpa pertanggungjawaban sedikitpun. Di kalangan orang-orang Hindu dan Budha, perempuan sangat terhina dan sengsara. Hanya kematian yang dapat membebaskan dari kesengsaraannya sepanjang hidup. Dan itu merupakan puncak dari penderitaannya. Yakni, bila suaminya meninggal dunia, ia harus dibakar di dekat jasad suaminya. Di kalangan orang Yahudi, perempuan dianggap laknat, karena perempuan telah menyesatkan Adam. Bahkan sebagian sekte mereka membolehkan bapak untuk menjual anak perempuannya. Anggota keluarganya yang sedang haidh dianggap najis, sehingga tidak boleh menyentuh wadah makanan dan minuman mereka, bahkan tidak boleh duduk dan makan bersama mereka. Orang-orang Kristen dahulu menganggap bahwa pernikahan adalah najis, wajib dijauhi. Dan mereka menyatakan terang-terangan bahwa perempuan adalah pintu syetan, dan berhubungan dengan nya adalah najis.

Setelah kedatangan Islam, kaum perempuan ini dimuliakan semulia-mulianya. Kedudukan mereka sederajat dengan kaum laki-laki. Hanya ketaqwaan saja yang dapat membedakan mereka - baik laki-laki maupun perempuan- di mata Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hal ini dinyatakan melalui firman-NYA:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi ALLAH ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya ALLAH Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al Hujuraat: 13)

Seorang lelaki bisa jadi sangat hina dan nista dengan sebab tidak adanya ketaqwaan pada dirinya, begitu pula dengan perempuan. Sebaliknya, seseorang lelaki bisa menjadi sangat mulia dan berwibawa karena ketaqwaannya, begitu pula dengan perempuan.

Islam telah menghapuskan penindasan terhadap kaum perempuan sebagaimana melenyapkannya terhadap sesama manusia. Dan kaum perempuan di dalam agama yang haq ini diberi banyak kemulian dan kehormatan yang tidak diberikan oleh agama atau ideologi lainnya.

Di antaranya :

1. Sama dengan kaum lelaki dalam mendapatkan pahala atas amal ibadahnya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepada nya kehidupan yang baik. Dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. ( An-Nahl: 97)

2. Mendapatkan hak waris bagi mereka.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيباً مَفْرُوضاً
(Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya -baik sedikit atau banyak-` menurut bahagian yang telah ditetapkan.) (An-Nisaa : 7)

3. Tidak dapat diwariskan layaknya harta.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهاً
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewariskan wanita dengan jalan paksa. (An-Nisaa: 19)

4. Jiwanya dilindungi sejak dilahirkan.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

وَإِذَا الْمَوْؤُودَةُ سُئِلَتْ (8) بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh. (At-Tawiir: 8-9)

5. Mendapatkan perlindungan dari gangguan dan fitnah.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَاناً وَإِثْماً مُبِيناً
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu'min dan mu'minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (Al Ahzaab: 58)

Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ
Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang mukmin -laki-laki dan perempuan- kemudian mereka tidak bertobat, maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar. (Al Buruuj: 10)

6. Kemulian dalam pernikahan dan kehidupan keluarga:

a. Islam mendudukkan kaum perempuan -dalam kehidupan suami-istri- sebagai pihak yang sangat berperan membahagiankan dan menenangkan orang lelaki.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآياتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-NYA ialah Dia menciptakan untuk mu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepada nya. Dan dijadikan-NYA di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Ar-Ruum: 21)

b. Seorang perempuan berhak memilih calonnya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمُرَ وَ لَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ

Jangan nikahkan anak perempuan kecuali atas musyawarah. Dan jangan nikahkan anak gadis kecuali atas ijinnya. (HR:Al Bukhari)

c. Berhak mendapatkan mahar dari suami.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian - dengan penuh kerelaan-. (An-Nisaa: 4)

d. Wajib mendapatkan perlakuan baik dari suami, dan mendapatkan kecukupan materi dengan baik.

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan pergaulihah mereka dengan baik. (An-Nisaa: 19)

e. Berhak menuntut pisah (khulu') bila ada sebab-sebab yang membolehkannya. (-seperti keadaan suami yang tidak taat menjalankan ibadah dan banyak melakukan kemaksiatan padahal sudah sering kali dinasihati atau karena sebab-sebab lainnya-)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ
Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri utuk menebus dirinya. (Al Baqarah: 29)

7. Ditunjukkan jalan-jalan dan kiat-kiat agar tetap terhormat, berwibawa, serta mulia di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

a. Mereka diperintahkan menutup aurat dan menghindari perbuatan yang dapat mengundang pelecehan terhadap dirinya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ
أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا

مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْأِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى

عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
Katakanlah kepada wanita yang beriman:"Hendaklah mereka menahan pandangan dan memelihara kemaluan mereka. Dan janganlah menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka.Dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka, putera-putera mereka, putera- putera suami mereka, saudara-saudara mereka, putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, wanita-wanita Islam, budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak- anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. (An-Nuur: 31)


b. Mereka diperintahkan untuk tetap tinggal di dalam rumah (-dan kalau terpaksa keluar tidak dengan mengumbar aurat-) agar aman dari fitnah dan tidak menjadi penyebab kejahatan seksual terhadap dirinya maupun terhadap perempuan lain.

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah dahulu. (Al Ahzaab: 33)

c. Mereka diberi tanggung jawab untuk mengurus anak-anak serta mengelola dan mengatur rumahnya.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِهَا وَهِيَ مَسْؤُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

Orang perempuan adalah pemimpin di dalam rumahnya dan akan dimintai pertanggungjawabannya. (HR. Muttafaqun 'alaih)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga bersabda:

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Kedua orang tuanyalah yang menjadikan nya yahudi, nasrani atau majusi. (HR. Bukhari 1385 dan Muslim 2658)

Demikianlah Islam memandang kaum wanita serta meletakkan kedudukannya di tempat yang terhormat dan sesuai dengan fitrahnya. Sedangkan apa yang terjadi di “barat” dan di negeri-negeri pengekornya dewasa ini lebih buruk dari pada sebelum datangnya Islam. Kalau orang arab jahiliyah dahulu mengubur anak perempuan yang masih kecil, yang masih suci tanpa dosa, orang-orang kafir sekarang membiarkan mereka hidup sampai dewasa, lalu mengantarkan mereka ke dalam kehinaan di dunia dan kesengsaraan tiada henti di akhirat nanti. Adalah suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa di sana -sejak dahulu hingga sekarang- perempuan tak lebih dari barang dagangan yang bebas diperjualbelikan. Bahkan di dalam statusnya sebagai isteri pun ia boleh dipinjam dan dipertukarkan, sebagaimana manusia memperlakukan barang yang dipakai sehari-hari.

Namun sungguh aneh jika orang-orang kafir dan munafik di zaman kita gencar mengkampayekan gerakan kebebasan dan persamaan hak dengan slogan emansipasi. Pada hakikatnya apa yang mereka teriakkan -dengan istilah dan kemasan yang indah- menyimpan ambisi untuk melanggengkan bentuk-bentuk -dengan variasi baru- eksploitasi terhadap wanita. Dan bagi muslimah gerakan -dengan menggunakan cara-cara yang digandrungi wanita dan menjebak- ini tak lebih dari ajakan untuk kembali kepada keadaan sebelum Islam mengeluarkan dan mengangkat nya dari lembah kenistaan. Sayangnya, tidak sedikit wanita beriman, disebabkan kelalaian dan kebodohannya, menyambut seruan itu serta sangat antusias untuk ikut menjadi agen-agen dan corong-corong mereka.

Wahai kaum wanita, ketahuilah sesungguhnya kemulian yang hakiki hanya akan kalian dapatkan di dalam Islam dan melalui Islam, bukan selain nya. Tinggal kalian raih dengan mempelajari sungguh-sungguh agama ini dan mengamalkan nya.
http://ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=12