tag:blogger.com,1999:blog-11077076802893587322024-03-13T17:22:24.240-07:00Cahaya JiwaMari kita hidupkan As-Sunnah dari Rasulullah saw
dengan pemahaman Para Salafhus ShalihUnknownnoreply@blogger.comBlogger126125tag:blogger.com,1999:blog-1107707680289358732.post-4179686290006331352011-04-17T05:00:00.000-07:002011-04-17T05:06:30.220-07:00Nasehat Untuk Remaja Muslim<div style="font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif; line-height: 150%;">Kami persembahkan nasehat ini untuk saudara-saudara kami terkhusus para pemuda dan remaja muslim. Mudah-mudahan nasehat ini dapat membuka mata hati mereka sehingga mereka lebih tahu tentang siapa dirinya sebenarnya, apa kewajiban yang harus mereka tunaikan sebagai seorang muslim, agar mereka merasa bahwa masa muda ini tidak sepantasnya untuk diisi dengan perkara yang bisa melalaikan mereka dari mengingat Allah subhanahu wata’ala sebagai penciptanya, agar mereka tidak terus-menerus bergelimang ke dalam kehidupan dunia yang fana dan lupa akan negeri akhirat yang kekal abadi.<br />
<br />
Wahai para pemuda muslim, tidakkah kalian menginginkan kehidupan yang bahagia selamanya? Tidakkah kalian menginginkan jannah (surga) Allah subhanahu wata’ala yang luasnya seluas langit dan bumi?<br />
<br />
Ketahuilah, jannah Allah subhanahu wata’ala itu diraih dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam beramal. Jannah itu disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa yang mereka tahu bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara, mereka merasa bahwa gemerlapnya kehidupan dunia ini akan menipu umat manusia dan menyeret mereka kepada kehidupan yang sengsara di negeri akhirat selamanya. Allah subhanahu wata’ala berfirman:<br />
<br />
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ<br />
<br />
“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Ali ‘Imran: 185)<br />
<br />
Untuk Apa Kita Hidup di Dunia?<br />
<br />
Wahai para pemuda, ketahuilah, sungguh Allah subhanahu wata’ala telah menciptakan kita bukan tanpa adanya tujuan. Bukan pula memberikan kita kesempatan untuk bersenang-senang saja, tetapi untuk meraih sebuah tujuan mulia. Allah subhanahu wata’ala berfirman:<br />
<br />
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ<br />
<br />
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56)<br />
<br />
Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Itulah tugas utama yang harus dijalankan oleh setiap hamba Allah.<br />
<br />
Dalam beribadah, kita dituntut untuk ikhlas dalam menjalankannya. Yaitu dengan beribadah semata-mata hanya mengharapkan ridha dan pahala dari Allah subhanahu wata’ala. Jangan beribadah karena terpaksa, atau karena gengsi terhadap orang-orang di sekitar kita. Apalagi beribadah dalam rangka agar dikatakan bahwa kita adalah orang-orang yang alim, kita adalah orang-orang shalih atau bentuk pujian dan sanjungan yang lain.<br />
<br />
Umurmu Tidak Akan Lama Lagi<br />
<br />
Wahai para pemuda, jangan sekali-kali terlintas di benak kalian: beribadah nanti saja kalau sudah tua, atau mumpung masih muda, gunakan untuk foya-foya. Ketahuilah, itu semua merupakan rayuan setan yang mengajak kita untuk menjadi teman mereka di An Nar (neraka).<br />
<br />
Tahukah kalian, kapan kalian akan dipanggil oleh Allah subhanahu wata’ala, berapa lama lagi kalian akan hidup di dunia ini? Jawabannya adalah sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:<br />
<br />
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ<br />
<br />
“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan dilakukannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)<br />
<br />
Wahai para pemuda, bertaqwalah kalian kepada Allah subhanahu wata’ala. Mungkin hari ini kalian sedang berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang tertawa, berpesta, dan hura-hura menyambut tahun baru dengan berbagai bentuk maksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, tetapi keesokan harinya kalian sudah berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang menangis menyaksikan jasad-jasad kalian dimasukkan ke liang lahad (kubur) yang sempit dan menyesakkan.<br />
<br />
Betapa celaka dan ruginya kita, apabila kita belum sempat beramal shalih. Padahal, pada saat itu amalan diri kita sajalah yang akan menjadi pendamping kita ketika menghadap Allah subhanahu wata’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:<br />
<br />
يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ: أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ, فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ, يَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ.<br />
<br />
“Yang mengiringi jenazah itu ada tiga: keluarganya, hartanya, dan amalannya. Dua dari tiga hal tersebut akan kembali dan tinggal satu saja (yang mengiringinya), keluarga dan hartanya akan kembali, dan tinggal amalannya (yang akan mengiringinya).” (Muttafaqun ‘Alaihi)<br />
<br />
Wahai para pemuda, takutlah kalian kepada adzab Allah subhanahu wata’ala. Sudah siapkah kalian dengan timbangan amal yang pasti akan kalian hadapi nanti. Sudah cukupkah amal yang kalian lakukan selama ini untuk menambah berat timbangan amal kebaikan.<br />
<br />
Betapa sengsaranya kita, ketika ternyata bobot timbangan kebaikan kita lebih ringan daripada timbangan kejelekan. Ingatlah akan firman Allah subhanahu wata’ala:<br />
<br />
فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ نَارٌ حَامِيَةٌ<br />
<br />
“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.” (Al Qari’ah: 6-11)<br />
<br />
Bersegeralah dalam Beramal<br />
<br />
Wahai para pemuda, bersegeralah untuk beramal kebajikan, dirikanlah shalat dengan sungguh-sungguh, ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena shalat adalah yang pertama kali akan dihisab nanti pada hari kiamat, sebagaimana sabdanya:<br />
<br />
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلاَةُ<br />
<br />
“Sesungguhnya amalan yang pertama kali manusia dihisab dengannya di hari kiamat adalah shalat.” (HR. At Tirmidzi, An Nasa`i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad. Lafazh hadits riwayat Abu Dawud no.733)<br />
<br />
Bagi laki-laki, hendaknya dengan berjama’ah di masjid. Banyaklah berdzikir dan mengingat Allah subhanahu wata’ala. Bacalah Al Qur’an, karena sesungguhnya ia akan memberikan syafaat bagi pembacanya pada hari kiamat nanti.<br />
<br />
Banyaklah bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak dosa dan kemaksiatan yang telah kalian lakukan selama ini. Mudah-mudahan dengan bertaubat, Allah subhanahu wata’ala akan mengampuni dosa-dosa kalian dan memberi pahala yang dengannya kalian akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.<br />
<br />
Wahai para pemuda, banyak-banyaklah beramal shalih, pasti Allah subhanahu wata’ala akan memberi kalian kehidupan yang bahagia, dunia dan akhirat. Allah subhanahu wata’ala berfirman:<br />
<br />
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ<br />
<br />
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An Nahl: 97)<br />
<br />
Engkau Habiskan untuk Apa Masa Mudamu?<br />
<br />
Pertanyaan inilah yang akan diajukan kepada setiap hamba Allah subhanahu wata’ala pada hari kiamat nanti. Sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salah satu haditsnya:<br />
<br />
لاَ تَزُوْلُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ : عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَا أَبْلاَهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيْمَا عَلِمَ.<br />
<br />
“Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) pada hari kiamat nanti di hadapan Rabbnya sampai ditanya tentang lima perkara: umurnya untuk apa dihabiskan, masa mudanya untuk apa dihabiskan, hartanya dari mana dia dapatkan dan dibelanjakan untuk apa harta tersebut, dan sudahkah beramal terhadap ilmu yang telah ia ketahui.” (HR. At Tirmidzi no. 2340)<br />
<br />
Sekarang cobalah mengoreksi diri kalian sendiri, sudahkah kalian mengisi masa muda kalian untuk hal-hal yang bermanfaat yang mendatangkan keridhaan Allah subhanahu wata’ala? Ataukah kalian isi masa muda kalian dengan perbuatan maksiat yang mendatangkan kemurkaan-Nya?<br />
<br />
Kalau kalian masih saja mengisi waktu muda kalian untuk bersenang-senang dan lupa kepada Allah subhanahu wata’ala, maka jawaban apa yang bisa kalian ucapkan di hadapan Allah subhanahu wata’ala Sang Penguasa Hari Pembalasan? Tidakkah kalian takut akan ancaman Allah subhanahu wata’ala terhadap orang yang banyak berbuat dosa dan maksiat? Padahal Allah subhanahu wata’ala telah mengancam pelaku kejahatan dalam firman-Nya:<br />
<br />
مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا<br />
<br />
“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (An Nisa’: 123)<br />
<br />
Bukanlah masa tua yang akan ditanyakan oleh Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu, pergunakanlah kesempatan di masa muda kalian ini untuk kebaikan.<br />
<br />
Ingat-ingatlah selalu bahwa setiap amal yang kalian lakukan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah subhanahu wata’ala.<br />
<br />
Jauhi Perbuatan Maksiat<br />
<br />
Apa yang menyebabkan Adam dan Hawwa dikeluarkan dari Al Jannah (surga)? Tidak lain adalah kemaksiatan mereka berdua kepada Allah subhanahu wata’ala. Mereka melanggar larangan Allah subhanahu wata’ala karena mendekati sebuah pohon di Al Jannah, mereka terbujuk oleh rayuan iblis yang mengajak mereka untuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala.<br />
<br />
Wahai para pemuda, senantiasa iblis, setan, dan bala tentaranya berupaya untuk mengajak umat manusia seluruhnya agar mereka bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, mereka mengajak umat manusia seluruhnya untuk menjadi temannya di neraka. Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala jelaskan dalam firman-Nya (yang artinya):<br />
<br />
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ<br />
<br />
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)<br />
<br />
Setiap amalan kejelekan dan maksiat yang engkau lakukan, walaupun kecil pasti akan dicatat dan diperhitungkan di sisi Allah subhanahu wata’ala. Pasti engkau akan melihat akibat buruk dari apa yang telah engkau lakukan itu. Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):<br />
<br />
وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ<br />
<br />
“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apapun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Az Zalzalah: 8)<br />
<br />
Setan juga menghendaki dengan kemaksiatan ini, umat manusia menjadi terpecah belah dan saling bermusuhan. Jangan dikira bahwa ketika engkau bersama teman-temanmu melakukan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wata’ala, itu merupakan wujud solidaritas dan kekompakan di antara kalian. Sekali-kali tidak, justru cepat atau lambat, teman yang engkau cintai menjadi musuh yang paling engkau benci. Allah subhanahu wata’ala berfirman:<br />
<br />
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ<br />
<br />
“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu karena (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (Al Maidah: 91)<br />
<br />
Demikianlah setan menjadikan perbuatan maksiat yang dilakukan manusia sebagai sarana untuk memecah belah dan menimbulkan permusuhan di antara mereka.<br />
<br />
Ibadah yang Benar Dibangun di atas Ilmu<br />
<br />
Wahai para pemuda, setelah kalian mengetahui bahwa tugas utama kalian hidup di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala semata, maka sekarang ketahuilah bahwa Allah subhanahu wata’ala hanya menerima amalan ibadah yang dikerjakan dengan benar. Untuk itulah wajib atas kalian untuk belajar dan menuntut ilmu agama, mengenal Allah subhanahu wata’ala, mengenal Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengenal agama Islam ini, mengenal mana yang halal dan mana yang haram, mana yang haq (benar) dan mana yang bathil (salah), serta mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.<br />
<br />
Dengan ilmu agama, kalian akan terbimbing dalam beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala, sehingga ibadah yang kalian lakukan benar-benar diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak orang yang beramal kebajikan tetapi ternyata amalannya tidak diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala, karena amalannya tidak dibangun di atas ilmu agama yang benar.<br />
<br />
Oleh karena itu, wahai para pemuda muslim, pada kesempatan ini, kami juga menasehatkan kepada kalian untuk banyak mempelajari ilmu agama, duduk di majelis-majelis ilmu, mendengarkan Al Qur’an dan hadits serta nasehat dan penjelasan para ulama. Jangan sibukkan diri kalian dengan hal-hal yang kurang bermanfaat bagi diri kalian, terlebih lagi hal-hal yang mendatangkan murka Allah subhanahu wata’ala.<br />
<br />
Ketahuilah, menuntut ilmu agama merupakan kewajiban bagi setiap muslim, maka barangsiapa yang meninggalkannya dia akan mendapatkan dosa, dan setiap dosa pasti akan menyebabkan kecelakaan bagi pelakunya.<br />
<br />
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.<br />
<br />
“Menuntut ilmu agama itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah no.224)<br />
<br />
Akhir Kata<br />
<br />
Semoga nasehat yang sedikit ini bisa memberikan manfaat yang banyak kepada kita semua. Sesungguhnya nasehat itu merupakan perkara yang sangat penting dalam agama ini, bahkan saling memberikan nasehat merupakan salah satu sifat orang-orang yang dijauhkan dari kerugian, sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat Al ‘Ashr:<br />
<br />
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ<br />
<br />
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat- menasehati dalam kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al ‘Ashr: 1-3)<br />
<br />
Wallahu ta‘ala a’lam bishshowab.<br />
<br />
<br />
(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=418) </div><div align="right"><a class="pn-normal" href="http://www.darussalaf.or.id/myprint.php?id=1860" target="_blank" title="printer-friendly page"><img src="http://www.darussalaf.or.id/images/print.gif" title="" /></a></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107707680289358732.post-87636105639408457682011-04-17T04:59:00.000-07:002011-04-17T05:06:30.221-07:00Bedakanlah Antara Nasehat dan Celaan<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><table border="0" cellpadding="0" cellspacing="1" class="article-list"><tbody>
<tr><td><div style="padding: 2px 4px;"><div style="font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif; line-height: 150%;"> Semoga nukilan singkat ucapan ulama tentang masalah nasehat dan celaan bisa menjadikan kita mengerti lalu tidak sembarangan dalam melontarkan suatu ucapan yang justru menimbulkan kerusakan.<br />
<br />
Seseorang dengan bisa membedakan antara apa itu nasehat dan apa itu celaan, maka diharapkan akan bisa hikmah menempatkan suatu ucapan dan tindakan pada tempat yang tepat.<br />
<br />
Sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh Isma’il bin Muhammad Al-Anshary rahimahullah dalam syarhnya terhadap Al-Arba’in An-Nawawiyah:<br />
<br />
Nasehat adalah membersihkan jiwa atau diri dari tipu daya dan pengkhianatan terhadap orang yang dinasehati.<br />
<br />
Ibnu Rajab Al-Hanbaly rahimahullah berkata dalam “Al-Farqu Baina An-Nashihah Wa At-Ta’yiir” (Perbedaan Antara Nasehat dan Celaan):<br />
<br />
“Kedua (kata ini) menyatu dalam hal bahwa masing-masing dari kata ini ada penyebutan seseorang dengan perkara yang dia tidak sukai. Dan perbedaan dua kata ini terkadang samar bagi kebanyakan manusia, dan Allah-lah yang memberikan taufiq pada yang benar.<br />
<br />
Jika padanya ada kebaikan bagi keumuman kaum muslimin atau secara khusus bagi sebagian mereka, dan maksud dari apa yang disampaikan itu untuk menghasilkan kebaikan maka hal ini tidaklah haram, bahkan dianjurkan.<br />
<br />
Para ulama hadits telah menetapkan hal ini dalam kitab-kitab mereka terkait jarh wa ta’dil, dan mereka menyebutkan perbedaan antara menjarah (mengkritik) para rawi dan antara ghibah (menggunjing). Dan mereka membantah orang yang menyamakan antara kedua hal tersebut.<br />
<br />
Oleh karenanya kita menemukan dalam kitab-kitab karya mereka (dalam berbagai bidang) penuh dengan sanggahan dan bantahan terhadap ucapan orang yang dianggap ucapannya itu jauh dari kebenaran. Tidak ada seorangpun yang dikecualikan, dan tidak ada yang mengatakan itu sebagai celaan terhadap orang yang dibantah. Tidak pula disebut penghinaan atau peremehan. Kecuali orang yang membantah itu adalah orang yang kotor ucapannya, jelek adabnya dalam pengungkapannya. Maka orang ini dingkari kekotorannya dan keburukannya bukanlah bantahannya. Hal ini dalam rangka menegakkan hujah syar’iyah dan dalil yang diperhitungkan.<br />
<br />
Dan asal muasal dari semua ini adalah bahwa seluruh ulama sepakat dalam maksud menampakkan kebenaran yang Allah ta’ala mengutus dengannya Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan agar seluruh agama ini hanyalah milik Allah ta’ala. Semua mereka mengakui bahwa tiada seorangpun yang mencapai derajat mengetahui semua ilmu tanpa ada cacat sedikitpun. Oleh karenanya para imam salaf -dalam kondisi demikian tinggi ilmu dan keutamaan mereka- sepakat untuk menerima al-haq dari siapapun yang mendatangkannya meskipun orang itu rendah derajatnya, dan mereka menyuruh pengikutnya untuk ikut menerima al-haq tersebut.<br />
<br />
Adalah Asy-Syafi’i rahimahullah menasehatkan para pengikutnya untuk mengikuti al-haq, menerima sunnah, jika tempak bagi mereka bahwa sunnah itu berbeda dengan ucapan mereka, dan hendaknya melemparkan ucapannya ketika itu juga ke tembok.<br />
<br />
Dan ini menunjukkan bahwa mereka tidak punya tujuan lain kecuali menampakkan al-haq meskipun itu munculnya dari lisan orang yang mendebat atau menyelisihinya.<br />
<br />
Barangsiapa yang demikian keadaannya, maka tidak mengapa ucapannya dan penyelisihannya terhadap sunnah dibantah dan dijelaskan, sama saja semasa hidupnya ataupun setelah matinya.<br />
<br />
Maka tidaklah masuk dalam hal ghibah secara keseluruan. Kalaupun ada yang tidak suka untuk menampakkan kesalahan orang yang menyelisihi al-haq maka ketidaksukaannya itu tidak bisa dijadikan patokan. Bahkan yang wajib adalah seorang muslim itu harus cinta menampakkan al-haq dan agar kaum muslimin mengetahui hal itu. Sama saja al-haq itu sejalan dengannya atau berbeda dengannya.<br />
<br />
Maka ini merupakan nasehat untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, agama-Nya dan para pemimpin kaum muslimin dan keumuman kaum muslimin.<br />
<br />
Adapun menjelaskan kekeliruan dari kekeliruan ulama sebelumnya, maka jika dia melakukannya dengan penuh adab maka tidak mengapa, jika dia bisa menjawab dan membantah dengan baik dan sopan maka tidak mengapa dan dia tidak tercela.<br />
<br />
Dan tidak seorangpun dari ulama yang menganggap ini sebagai celaan pada ulama tersebut dan bukan pula menjelekkan mereka.<br />
<br />
Adapun jika maksud dari membantah itu untuk menampakkan aib orang yang dibantah, meremehkannya, menampakkan kebodohannya dan kekurangannya dalam ilmu dan selain itu, maka hal ini haram. Entah sama saja dia membantahnya di hadapan yang bersangkutan atau di belakangnya. Sama saja semasa hidupnya atau setelah matinya. Dan ini masuk dalam perkara yang dicela Allah ta’ala dalam kitabnya dan disiapkan ancaman baginya. Dan juga dalam ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.<br />
<br />
Semua ini dalam konteks teruntuk bagi ulama yang dijadikan panutan secara benar dalam agama ini. Adapun ahlul bida’ dan kesesatan, orang yang nyamar jadi ulama padahal bukan ulama, maka boleh dijelaskan kebodohannya dan ditampakkan aibnya dalam rangka mengingatkan manusia agar tidak mengikutinya.<br />
<br />
Siapa yang diketahui bahwa dia menginginkan dengan bantahannya terhadap ulama itu sebagai nasehat kepada Allah dan rasul-Nya, maka dia wajib diperlakukan dengan penghormatan dan penghargaan sebagaimana seluruh imam kaum muslimin.<br />
<br />
Dan siapa yang diketahui bahwa dia menginginkan dengan bantahannya itu untuk menghina, mencela dan menampakkan aib yang dibantahnya, maka dia wajib dihadapi dengan ancaman hukuman agar terlepas dari perbuatan rendah yang haram ini.<br />
<br />
Bagaimana maksud ini bisa diketahui?<br />
<br />
Yaitu terkadang dengan pengakuan dan keterangan orang yang membantah itu sendiri. Dan terkadang dengan tanda-tanda yang muncul dalam ucapan dan perbuatannya. Siapa yang dikenal sebagai penjunjung ilmu dan agama serta memuliakan imam kaum muslimin, maka dia tidak akan menyebutkan bantahan kecuali dalam bentuk yang ditempuh oleh imam para ulama.<br />
<br />
Adapun orang yang menemukan ucapan ulama lalu menganggapnya keliru dan mengarahkan ucapan itu tanpa baik sangka, maka dia termasuk orang yang berburuk sangka terhadap orang yang tidak bersalah. Dan ini adalah persangkaan yang dilarang oleh Allah ta’ala. Dan telah masuk pada ancaman-Nya.<br />
وَمَن يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْمًا ثُمَّ يَرْمِ بِهِ بَرِيئًا فَقَدِ احْتَمَلَ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا<br />
<br />
“Dan siapa yang melakukan kesalahan atau dosa lalu dia melemparkan (tuduhan) dengan hal itu kepada orang yang tidak bersalah maka dia telah menanggung tuduhan dusta dan dosa yang nyata.” [An-Nisa’: 112]<br />
<br />
Dan akan makin kuat dia masuk pada ancaman jika nampak dari persangkaan itu tanda-tanda yang jelek, misalnya: banyaknya kezhaliman darinya, permusuhan, tidak bersikap hati-hati, pengumbar lisan, banyak mengatain orang dan menggunjing, hasad terhadap manusia, dan sangat kuat ambisinya untuk ikut berebut kekuasaan sebelum ia pantas memegangnya.<br />
<br />
Siapa yang dikenal darinya sifat yang tidak diridhai hal ini ada pada ahlul ilmi dan iman, maka hal ini hanya akan membawa penyakit untuk ulama.<br />
<br />
Al-Fudhail rahimahullah berkata: “Seorang mukmin itu akan menutupi kesalahan dan menasehati, adapun orang fajir maka ia akan membongkarnya dn mencelanya.”<br />
<br />
Apa yang disebutkan al-Fudhail ini adalah tanda apa itu nasehat dan apa itu celaan, yaitu bahwa nasehat itu akan bergandengan dengan penutupan atau penyembunyian, dan celaan akan bergandengan dengan pembongkaran.<br />
<br />
Para ulama salaf tidak suka melakukan amar ma’ruf atau nahyu munkar di depan hadapan manusia, namun mereka suka melakukannya secara tersembunyi. Maka ini adalah tanda dari suatu nasehat. Seorang penasehat itu tidaklah bertujuan untuk menyebarkan aib orang yang dinasehati, namun tujuannya adalah menghilangkan mafsadah yang orang itu jatuh padanya[1].<br />
<br />
Oleh karenanya penyebaran aib dan kejelekan itu akan selalu bergandengan dengan celaan, keduanya merupakan perangai orang fajir. Karena orang yang fajir tidaklah punya keinginan untuk menghilangkan mafsadat, tidak pula menjauhkan mukmin dari kekurangan dan aib. Hanyalah keinginannya itu menyebarkan aib saudaranya mukmin, merobek kehormatannya, dan dia selalu mengulangi hal itu. Dan maksud diaa menyebarkan aib saudaranya agar saudaranya mendapatkan dharar duniawi.<br />
<br />
Adapun orang yang memberi nasehat maka tujuannya adalah menghilangkan aib saudaranya dan menjauhkannya dari aib itu.<br />
<br />
Adapun celaan maka maknanya sebagai tingkatan celaan yang paling nampak adalah menampakkan kejelekan dan menyebarkannya dalam kemasan nasehat, sedangkan bathinnya hanya menginginkan untuk menjelekkan dan menyakiti.<br />
<br />
Maka hal ini adalah saudaranya kaum munafiqin, yaitu dia menampakkan perbuatan dan ucapan yang baik dengan tujuan untuk sampai pada tujuan yang dia sembunyikan dalam batin. Dalam bentuk kemasan nampaknya baik, maka dia dipuji dalam kamasan yang dia berikan dan dia menginginkan tujuan yang jelek. Dia suka dengan pujian itu padahal batinnya jelek. Maka sempurnalah baginya faedah dan muluslah tipu daya dan muslihat.<br />
<br />
Contohnya: seseorang ingin mencela seseorang, meremehkannya dan menampakkan kejelekannya agar orang-orang leri darinya. Hal ini entah karena ingin menyakitinya, atau karena memusuhinya, atau karena dia takut orang-orang akan selalu mengelilinginya, memberikan padanya harta, atau kepemimpinan dan selainnya. Maka seseorang tidak akan sampai pada hal it kecuali dengan menampakkan celaan kepada orang itu dalam kemasan agamis.<br />
<br />
Lalu apa obat untuk penyakit ini?<br />
<br />
Siapa yang diuji dengan tipu daya ini maka hendaknya bertakwa kepada Allah ta’ala, meminta tolong kepada-Nya dan bersabar. Karena kesudahan yang baik itu bagi orang yang bertakwa.”<br />
<br />
Kemudian Ibnu Rajab menyebutkan ayat-ayat namun kita singkat agar tidak memanjang[2].<br />
<br />
Diringkas dari kitab tersebut oleh:<br />
<br />
‘Umar Al-Indunisy<br />
<br />
Darul Hadits - Ma’bar, Yaman<br />
<br />
Sumber: http://thalibmakbar.wordpress.com/2010/10/21/bedakanlah-antara-nasehat-dan-celaan/#more-495<br />
<br />
Dengan sedikit perubahan dan tambahan catatan kaki oleh redaksi www.assalafy.org<br />
[1] Adapun menyebarkan dan menampakkan aib orang lain itu termasuk perbuatan yang diharamkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana firman-Nya:<br />
<br />
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ<br />
<br />
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat, dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” [An-Nur: 19]<br />
<br />
[2] Beberapa ayat yang dimaksud adalah di antaranya tentang kesudahan yang baik bagi Nabi Yusuf ‘alaihissalam setelah sekian lamanya merasakan gangguan, makar, dan tipu daya:<br />
<br />
وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ<br />
<br />
“Dan demikian pulalah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bumi (Mesir).” [Yusuf: 21]<br />
<br />
Demikian juga ayat yang menceritakan tentang Nabi Musa ‘alaihissalam beserta kaumnya agar mereka meminta pertolongan kepada Allah dan bersabar, sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa:<br />
<br />
قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ<br />
<br />
“Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; diwariskan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” [Al-A’raf: 128]<br />
<br />
Dan beberapa ayat yang lain. Wallahu a’lam.<br />
<br />
http://www.assalafy.org/mahad/?p=566#more-566 </div><div align="right"> <a class="pn-normal" href="http://www.darussalaf.or.id/myprint.php?id=1869" target="_blank" title="printer-friendly page"><img src="http://www.darussalaf.or.id/images/print.gif" title="" /></a> <a class="pn-normal" href="http://www.darussalaf.or.id/%3C%21--%5B$links.send%5D--%3E" title="kirim artikel ini kepada seseorang"><img src="http://www.darussalaf.or.id/images/friend.gif" title="" /></a></div></div></td></tr>
</tbody> </table></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107707680289358732.post-55688593838224651262011-04-17T04:58:00.000-07:002011-04-17T05:06:30.221-07:00Fenomena TKI di Arab Saudi<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">Sebuah pemerintahan Islam atau masyarakat Islam bukanlah sebuah kumpulan orang-orang yang tidak pernah berbuat dosa sama sekali, sehingga kita bisa menuduh para ulama yang membimbing masyarakat tersebut telah gagal atau tidak becus dalam membina negaranya.<br />
<br />
Bahkan di masa kepemimpinan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang masyarakatnya adalah generasi terbaik ummat ini, ada orang yang didera karena minum khamar[1], ada yang dirajam karena berzina[2], bahkan ada yang murtad keluar dari Islam[3]. Namun tidak ada satupun yang menuduh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah gagal mendidik para sahabatnya. Karena memang, tidak ada satupun manusia yang terjaga dari kesalahan selain para Nabi dan Rasul ‘alaihimussalam, olehnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
كُلُّ بنِي آدَمَ خَطَّاءٌ ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ<br />
<br />
“Setiap anak adam senantiasa berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang senantiasa bertaubat.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 3139)<br />
<br />
Pengalaman belajar di Saudi, bergaul dengan sebagian pekerja Indonesia yang kebetulan ketemu di masjid, di jalan, di toko, di majelis-majelis ilmu dan dalam suatu bimbingan ibadah haji tahun 1431 H atas permintaan sebuah travel yang pesertanya lebih dari 90 % pekerja Indonesia, sisanya India, Maroko dan Philipina. Semua itu menyisakan banyak cerita yang mungkin sebagiannya bisa dijadikan pelajaran, terutama yang berkaitan dengan hubungan antara pekerja dan majikan, yang oleh musuh-musuh Dakwah Tauhid dijadikan senjata untuk menjatuhkan ulama Ahlus Sunnah di negeri ini. Insya Allah akan kami sarikan dalam beberapa poin berikut:<br />
<br />
1. Para majikan tidak semuanya memahami agama dengan baik, banyak yang awam, tidak mau belajar agama dan banyak yang zalim terhadap pekerjanya[4]. Kepada mereka para ulama di negeri ini telah menasihati, baik secara pribadi maupun terang-terangan, seperti nasihat Asy-Syaikh Muhammad bin Ahmad Al-Fiyfiy hafizhahullah yang sangat menyentuh di www.sahab.net[5] yang berjudul At-Tahdzir min Zhulmil Khudam wal ‘Ummal (Peringatan Keras dari Perbuatan Zalim kepada para Pembantu dan Pekerja). Demikian pula para khatib dan imam masjid terkadang menyampaikan khutbah tentang bahaya perbuatan zalim terhadap para pekerja<br />
<br />
2. Oleh karena itu, seharusnya TKI diberikan informasi tentang keadaan calon majikannya sebelum dia memutuskan bekerja kepada majikan tersebut, semoga hal ini bisa menjadi catatan untuk semua pihak yang terkait dalam pemberangkatan TKI<br />
<br />
3. Alhamdulillah tidak semua majikan yang zalim, masih banyak yang baik insya Allah, meskipun bukan dari kalangan mutawwa’[6], atau penuntut ilmu, apalagi masyaikh. Bentuk-bentuk kebaikan mereka yang bisa saya ceritakan di sini:<br />
<br />
* Dari 100 orang yang ikut haji dalam bimbingan kami hampir semuanya dibiayai oleh majikannya, biayanya sekitar 3500 riyal atau senilai kurang lebih 7,5 juta rupiah<br />
* Perhatian majikan kepada pekerjanya selama melaksanakan ibadah haji dalam bentuk menelepon dan menanyakan kabar serta bagaimana pelayanan travel terhadap mereka. Jika pekerjanya mengadukan pelayanan travel yang kurang bagus, tidak lama kemudian majikan akan menelepon pengurus travel ini dan memarahinya habis-habisan<br />
* Sampai-sampai ada majikan yang berkata kepada pekerjanya, “Sampaikan kepada pengurus travel, berapa saja biaya yang dia minta akan saya berikan, asalkan kamu mendapat pelayanan yang baik”.<br />
* Seorang Ikhwan dibebaskan oleh majikannya dari seluruh pekerjaannya demi untuk menuntut ilmu, masih ditambah dengan uang saku per bulan dikirim secara rutin oleh majikannya. Bahkan Ikhwan yang lain, sampai pulang ke Indonesia masih dikirimi uang secara rutin oleh majikannya, demi untuk membiayai kegiatan-kegiatan dakwah<br />
* Seorang pekerja asal Sumbawa, apabila dia cuti pulang kampung majikannya biasa menitipkan uang untuk dibagi-bagikan kepada keluarga dan tetangganya yang miskin<br />
* Pekerja asal Jawa Barat, mengabarkan tentang pembangunan masjid di kampungnya yang belum selesai, langsung dikucurkan dana oleh majikannya tanpa mengecek langsung ke lokasi apakah dananya sampai atau tidak<br />
* Seorang pekerja asal Jawa Barat, majikannya biasa mengantarnya untuk menghadiri pengajian yang diadakan oleh Kantor Dakwah untuk Orang-orang Asing<br />
* Seorang Ikhwan menceritakan, saudarinya bekerja pada seorang masyaikh, bertahun-tahun bekerja kepada keluarga masyaikh tersebut tidak pernah sekalipun dia berada dalam satu ruangan bersama majikannya yang laki-laki<br />
* Seorang Ustadz menceritakan, bahwa seorang majikan meminta bantuannya untuk menasihati pembantu wanitanya yang sering menggodanya untuk berzina, akhirnya sang Ustadz menelepon dan menasihati pembantu ini<br />
* Banyak majikan yang mensyaratkan supirnya harus disertai istrinya untuk mengantar anak-anak puteri mereka ke sekolah. Demikian pula sebaliknya, pembantu wanita harus datang bersama mahramnya<br />
* Para masyaikh banyak sekali membebaskan pekerja mereka dari semua pekerjaan jika para pekerja ini benar-benar mau menuntut ilmu<br />
<br />
4. Sebenarnya aturan-aturan pemerintah Saudi sangat menjamin para pekerja asing, diantaranya kewajiban majikan untuk membuatkan asuransi kesehatan bagi para pekerjanya dan hukuman yang setimpal bagi para majikan yang zalim terhadap pekerjanya, berikut beberapa kasus yang kami dengarkan:<br />
<br />
* Seorang majikan memukul supirnya, sang supir ini ditemukan oleh seorang Ikhwan Saudi dan membawanya ke kantor polisi, saat itu juga majikannya langsung dijemput dan ditahan oleh polisi dan wajib diqishah atau membayar sejumlah uang kepada pekerjanya yang dizalimi<br />
* Cerita seorang Ustadz, ada majikan yang dituntut oleh pengadilan untuk membayar berapapun yang diminta oleh seorang pembantu wanita yang dizalimi oleh si majikan<br />
* Seorang majikan yang membunuh pekerjanya terancam hukuman mati, namun pihak keluarga di Indonesia lebih memilih untuk memaafkan dan menerima ganti rugi (diyah), akhirnya uang milyaran rupiah dititipkan melalui kedutaan Indonesia<br />
<br />
5. Ketika majikan berbuat zalim, masalah terbesar para pekerja Indonesia adalah tidak mampu melapor ke kantor polisi, diantaranya karena kendala bahasa, tidak mengerti dengan aturan-aturan yang ada dan tidak adanya pendamping mereka yang siap siaga ketika dibutuhkan. Adapun pemerintah Philipina, sangat terkenal pendampingan dan pembelaannya kepada pekerjanya, jika ada masalah yang terjadi pada pekerjanya mereka akan langsung turun ke lokasi dan menggunakan kekuatan diplomasinya untuk menekan pemerintah Saudi agar memproses menurut hukum yang berlaku. Sehingga jarang terdengar ada masalah antara majikan dan pekerja Philipina, padahal jumlah mereka (di luar kota suci Makkah dan Madinah) tidak kalah banyak dengan pekerja Indonesia<br />
<br />
6. Masalah terbesar dari sisi syari’at adalah datangnya para pekerja wanita (TKW) tanpa disertai mahram atau suami. Hampir semua masalah terjadi pada TKW yang tidak bersama suami atau mahramnya, sehingga dengan mudah mereka dizalimi tanpa ada yang membela mereka atau melaporkan ke kantor polisi. Padahal Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah melarang safar wanita tanpa mahram dalam sabda beliau:<br />
<br />
لا تسافر المرأة إلا مع ذي محرم ولا يدخل عليها رجل إلا ومعها محرم<br />
<br />
“Janganlah wanita melakukan safar (bepergian jauh) kecuali bersama mahramnya, dan janganlah seorang laki-laki asing menemuinya melainkan wanita itu disertai mahramnya.” (HR. Al-Bukhari dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma)<br />
<br />
7. Alhamdulillah, dengan sebab kerja di Saudi banyak sekali pekerja yang mendapatkan kebaikan yang sangat besar, diantara bentuknya:<br />
<br />
* Banyak pekerja yang tadinya beraqidah sufiyah quburiyah dan aqidah kesyirikan lainnya dengan berbagai macam bid’ahnya, tidak melaksanakan sholat lima waktu dan tidak memahami adab-adab Islami. Setelah tinggal di Saudi mereka tersentuh dakwah tauhid, meninggalkan semua bentuk syirik dan bid’ah, rajin melaksanakan sholat lima waktu dan mulai berhias dengan adab-adab Islami<br />
* Pekerja-pekerja Philipina, Nepal dan Sri Lanka yang tadinya beragama Nasrani, Hindu dan Budha juga banyak sekali (sampai puluhan ribu orang) yang masuk Islam dengan sebab da’i-da’i dan buku-buku yang dicetak dengan bahasa mereka oleh Kantor-kantor Dakwah untuk Orang-orang Asing di bawah naungan Kementrian Wakaf, Dakwah dan Bimbingan Saudi Arabia<br />
* Bisa menghadiri majelis-majelis ilmu para ulama<br />
* Bisa melaksanakan ibadah haji dan umroh<br />
<br />
8. Sayang sekali, banyak Kantor Dakwah untuk Orang-orang Asing disusupi oleh hizbiyyun dari sebuah partai Islam di Indonesia dengan hanya bermodalkan ijazah LC dari LIPIA[7], diantara kerusakan yang mereka lakukan:<br />
<br />
* Fasilitas dakwah digunakan untuk mendakwahkan kebatilan manhaj mereka<br />
* Mengajak kepada perpecahan dengan menjajakan partai mereka di musim Pemilu<br />
* Beberapa orang TKI yang ana temui, telah ikut kajian mereka bertahun-tahun namun tidak nampak adanya perubahan dalam aqidah dan ibadahnya menjadi lebih baik. Berbeda dengan TKI yang mengikuti kajian da’i-da’i Ahlus Sunnah, alhamdulillah banyak yang berubah menjadi lebih baik, seperti yang ana singgung di atas<br />
* Hal itu karena memang tidak ada perhatian mereka terhadap dakwah tauhid dan sunnah kecuali sedikit, malah mereka lebih banyak memanfaatkan para TKI untuk bisnis pengiriman barang dan travel haji, dengan bimbingan haji yang tidak mengikuti petunjuk Nabi shallallahu’alaihi wa sallam<br />
<br />
9. Kezaliman yang diderita sebagian TKI bukan hanya oleh majikan di Saudi tapi juga oleh PJTKI maupun calo-calonya di Indonesia. Ana pernah menyaksikan sendiri bagaimana para TKI ini dibentak-bentak dan diperlakukan tidak seperti manusia di tempat penampungan TKI di Jakarta. Bahkan ketika sudah bekerja di Saudi sebagian TKI masih diwajibkan mengirim sejumlah uang setiap bulan kepada calo-calo ini di Indonesia<br />
<br />
10. Kami menghimbau kepada semua pihak yang terkait dalam pemberangkatan TKI (termasuk keluarga para TKI) ataupun yang diberi amanah oleh pemerintah untuk mengurus TKI di Saudi maupun di negara lainnya; hendaklah bertakwa kepada Allah Ta’ala, janganlah mengirim TKW tanpa disertai suami atau mahramnya dan hendaklah melaksanakan tugas pembelaan dan pengurusan TKI sesuai amanah pemerintah. Ingatlah pertanggungjawabannya kelak di hari kiamat!<br />
<br />
Inilah catatan ringan kami, hasil dari dialog dengan beberapa TKI, semoga bisa diambil pelajarannya baik oleh TKI, calon TKI maupun semua pihak yang terkait dalam pengurusan TKI. Semoga Allah Ta’ala memperbaiki keadaan kaum muslimin dan pemerintah mereka.<br />
<br />
Wallahu A’la wa A’lam wa Huwal Musta’an.<br />
<br />
Footnote:<br />
[1] Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Shahihnya (6391): <br />
<br />
عن أنس بن مالك رضي الله عنه : أن النبي صلى الله عليه و سلم ضرب في الخمر بالجريد والنعال وجلد أبو بكر أربعين<br />
<br />
[2] Seperti kisah Ma’iz bin Malik radhiyallahu’anhu dalam riwayat Al-Bukhari (6438) dan Muslim (4520)<br />
<br />
[3] Seperti kisah suami Ummu Habibah radhiyallahu’anha yang murtad di negeri Habasyah<br />
<br />
[4] Ada juga majikan atau orang Saudi yang Sufi (murid-muridnya Alwi Al-Maliki), Syi’ah dan Hizbi Ikhwani. Salah seorang Ustadz kita, ketika diketahui oleh majikannya yang Ikhwani bahwa Ustadz kita ini pernah belajar di Darul Hadits Dammaj, majikannya mulai mempersulit ruang gerak beliau, sampai saat ini beliau dipaksa pulang ke Indonesia dengan membayar ganti rugi kepada majikannya sebesar 6000 riyal. Adakah yang mau membantu?<br />
<br />
[5] http://www.sahab.net/home/index.php?Site=News&Show=829<br />
<br />
[6] Mutawwa’ adalah istilah orang-orang awam di Saudi untuk menyebut orang yang nampak keshalihannya dan menjalankan sunnah seperti jenggot dan memendekkan pakaian (tidak sampai menutupi mata kaki)<br />
<br />
[7] Lebih disayangkan lagi, ada seorang Ustadz terkenal, penerjemah buku Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah yang dicetak oleh Kantor Kerjasama Dakwah dan Bimbingan Islam di Riyadh, yang memberikan jalan kepada da’i-da’i hizbi ini untuk masuk menjadi pembina-pembina TKI di Kantor-kantor Dakwah untuk Orang-orang Asing di Saudi.</span><br />
<br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">http://nasihatonline.wordpress.com </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107707680289358732.post-87774459246409412062011-04-17T04:54:00.003-07:002011-04-17T05:13:57.063-07:00TAHLILAN DALAM TIMBANGAN ISLAM<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Qur’an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu wata'ala mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.<br />
<br />
Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.<br />
<br />
Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.<br />
<br />
Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.<br />
<br />
Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.<br />
<br />
Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.<br />
<br />
Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wata'ala telah berfirman (artinya):<br />
“Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59)<br />
<br />
Historis Upacara Tahlilan<br />
Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?<br />
Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.<br />
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.<br />
<br />
Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam<br />
Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:<br />
<br />
Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do’a-do’a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.<br />
Kedua: Penyajian hidangan makanan.<br />
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.<br />
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.<br />
<br />
1. Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.<br />
Memang benar Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?<br />
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya):<br />
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)<br />
<br />
Juga Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:<br />
<br />
مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ<br />
<br />
“Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)<br />
Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.<br />
Suatu ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)<br />
Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata'ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Allah subhanahu wata'ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):<br />
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)<br />
Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.<br />
Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.<br />
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata'ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)<br />
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu 'anha, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:<br />
<br />
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ<br />
<br />
“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)<br />
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:<br />
<br />
فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ<br />
<br />
“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”<br />
Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:<br />
<br />
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ<br />
<br />
“Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.<br />
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata'ala (artinya):<br />
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).<br />
<br />
2. Penyajian hidangan makanan.<br />
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu 'anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu 'anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)<br />
<br />
Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)<br />
<br />
Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah –pent).<br />
<br />
Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?<br />
<br />
Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dalam hadistnya:<br />
<br />
اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ<br />
<br />
“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)<br />
Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.<br />
<br />
http://assalafy.org/artikel.php?kategori=aqidah6 </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107707680289358732.post-2403117160284347072011-04-17T04:54:00.001-07:002011-04-17T05:13:43.314-07:00IKHLASH DALAM SEBUAH AMALAN<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">Para pembaca yang mulia- semoga Allah subhanahu wata'ala merahmati kita semua-, Allah subhanahu wata'ala Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana telah menetapkan bahwa di antara hamba-hamba-Nya akan ada yang mengalami hidup bahagia dan akan ada yang mengalami hidup sengsara. <br />
<br />
Namun Allah subhanahu wata'ala adalah Dzat Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, melalui lisan Rasul-Nya shalallahu 'alaihi wasallam, Dia subhanahu wata'ala juga telah menunjukkan kepada umat manusia ini mana jalan yang akan mengantarkan kepada hidup bahagia dan mana jalan yang akan menjerumuskan kepada jurang kesengsaraan.<br />
<br />
Oleh karena itu, sangatlah penting bagi kita untuk mengetahui dan mempelajari serta kemudian mematuhi dan mengamalkan rambu-rambu yang telah terpasang di jalan yang menuju kepada hidup bahagia tersebut. Allah subhanahu wata'ala sebagai pemilik kehidupan ini telah menegaskan dalam Al Qur'an,<br />
<br />
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً <br />
"Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang bahagia." (An Nahl: 97)<br />
<br />
Allah subhanahu wata'ala mensyaratkan kepada seorang mukmin yang menginginkan hidup bahagia, agar mereka beramal shalih. Allah subhanahu wata'ala berjanji, barangsiapa yang beramal shalih niscaya akan dimasukkan ke dalam Jannah-Nya. Sebagaimana firman-Nya,<br />
<br />
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا <br />
"Barangsiapa yang beramal shalih baik laki-laki maupun perempuan dan dia beriman, maka mereka akan masuk ke dalam Al Jannah dan mereka tidak akan dianiaya sedikit pun." (An Nisa': 124)<br />
<br />
Apakah Amal Shalih itu?<br />
Tidaklah semua amal baik yang dilakukan oleh seseorang bisa dikatakan sebagai amalan shalih yang diterima di sisi Allah subhanahu wata'ala. Seperti yang telah dikhabarkan oleh nabi shalallahu 'alaihi wasallam dalam sabdanya,<br />
<br />
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوْعُ, وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهْرُ<br />
<br />
"Betapa banyak orang yang berpuasa, tidaklah dia mendapatkan pahala kecuali sekedar rasa lapar, dan betapa banyak orang yang menegakkan shalat malam, tidaklah dia mendapatkan pahala kecuali sekedar bergadang saja." (HR. Ibnu Majah, An Nasa'i)<br />
<br />
Lihatlah wahai pembaca yang mulia, ternyata amalan puasa dan shalat malam yang dilakukan, tidak memberikan manfaat bagi dirinya, Allah subhanahu wata'ala tidak menerima amalan tersebut, tidak memberi pahala kepadanya, dan yang ia peroleh hanya sebatas rasa lapar dan payah belaka.<br />
<br />
Karena Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya shalallahu 'alaihi wasallam telah menetapkan dalam syariat Islam ini, bahwa suatu amalan disebut amal shalih yang diterima di sisi Allah subhanahu wata'ala jika terpenuhi padanya dua syarat:<br />
<br />
Syarat pertama adalah ikhlas. Amalan yang dilakukan itu semata-mata hanya untuk mengharapkan ridha Allah subhanahu wata'ala, bukan karena terpaksa atau karena mengharapkan pujian orang lain, atau dalam rangka untuk mencari jabatan, kekayaan, popularitas dan semisalnya dari perkara-perkara duniawi.<br />
<br />
Syarat kedua, amalan itu haruslah sesuai dengan tuntunan/ajaran Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Beliau shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:<br />
<br />
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ<br />
<br />
"Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunan (ajaran)nya dari kami, maka amalan itu akan tertolak (di sisi Allah subhanahu wata'ala)." (HR. Muslim)<br />
<br />
Bagaimana bisa seperti itu? Kita ambil contoh amalan shalat. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam telah mengajarkan kepada umatnya bahwa shalat Maghrib itu tiga raka'at. Maka barangsiapa yang mengerjakan shalat Maghrib empat raka'at, tentu shalatnya tidak sah dan secara otomatis akan tertolak di sisi Allah subhanahu wata'ala.<br />
<br />
Kedua syarat itulah pada hakekatnya merupakan realisasi dari Asy Syahadatain (dua kalimat Syahadat: Laa Ilaaha Illallah – Muhammadurrasulullah). Ketika seseorang telah mengikrarkan bahwa Allah subhanahu wata'ala lah satu-satunya Dzat yang berhak untuk diibadahi, maka sudah seharusnya bagi dia untuk mempersembahkan seluruh ibadahnya ikhlas karena Allah subhanahu wata'ala. Dan ketika dia telah menyatakan bahwa Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam adalah Rasulullah, maka hendaknya dia siap, tunduk, dan patuh untuk menjalankan ibadah kepada Allah subhanahu wata'ala sesuai dengan tuntunan/ajaran Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam.<br />
<br />
Allah subhanahu wata'ala berfirman: <br />
<br />
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا <br />
<br />
"Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaknya dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan sesuatu apa pun dalam beribadah kepada-Nya." (Al Kahfi: 110) <br />
<br />
Al Imam Ibnu Katsir mengatakan: Ini adalah dua rukun amalan agar diterima (di sisi Allah subhanahu wata'ala), yaitu ikhlas karena Allah subhanahu wata'ala dan sesuai dengan tuntunan/ajaran Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.<br />
<br />
Jika hilang salah satu dari kedua syarat tersebut, maka amalan seseorang akan tertolak dan tidak ada nilainya di sisi Allah subhanahu wata'ala. Maka barangsiapa yang beramal dengan niat ikhlas karena Allah subhanahu wata'ala, namun tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam, maka amalannya tertolak, dan sebaliknya barangsiapa yang beramal dengan amalan yang sesuai dengan tuntunan/ajaran Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, namun tidak ikhlas karena Allah subhanahu wata'ala, maka amalannya pun juga tertolak. <br />
<br />
Peranan Niat dalam Amalan dan Kewajiban Ikhlas di dalamnya<br />
Setiap amalan itu tergantung pada niatnya sebagaimana sabda nabi shalallahu 'alaihi wasallam: <br />
<br />
"Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan balasan (dari amalannya) sesuai dengan niatannya." (HR. Al Bukhari dan Muslim)<br />
<br />
Seseorang yang beramal dengan niatan ikhlas untuk mendapatkan ridha dan pahala dari Allah subhanahu wata'ala, dia akan mendapatkannya Insya Allah. Dan barangsiapa yang beramal namun dengan niatan untuk mendapatkan perkara yang sifatnya materi (duniawi) dan tidak ikhlas karena Allah subhanahu wata'ala, maka amalan itu tidak ada nilainya di sisi Allah subhanahu wata'ala. Boleh jadi dia akan mendapatkan apa yang diinginkan tersebut, tapi Allah subhanahu wata'ala tidak akan memberikan keridhaan-Nya kepadanya, bahkan Allah subhanahu wata'ala mengancam orang yang seperti ini dengan firman-Nya,<br />
<br />
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُون* أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ <br />
<br />
"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan usaha mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali An Nar (neraka) dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan." (Hud: 15-16)<br />
<br />
Betapa pentingnya permasalahan ikhlas ini, sampai-sampai Al Imam An Nawawi menjadikan wajibnya ikhlas sebagai bab pertama dalam kitab beliau yang barakah Riyadhush Shalihin.<br />
<br />
Adapun dalil yang menunjukkan wajibnya ikhlas dalam semua amalan ibadah kepada Allah subhanahu wata'ala adalah firman-Nya,<br />
<br />
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ <br />
<br />
"Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya." (Al Bayyinah: 5)<br />
<br />
Seseorang yang beramal bukan dalam rangka mengharap ridha Allah subhanahu wata'ala, berarti dia telah menjadikan sekutu dan tandingan bagi Allah subhanahu wata'ala dalam ibadah. Inilah kesyirikan yang dilarang dalam agama ini. Allah subhanahu wata'ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi,<br />
<br />
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِيْ غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ<br />
<br />
"Barang siapa yang beramal dengan mempersekutukan Aku dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan (tidak mempedulikan) pelakunya dan perbuatannya." (HR. Muslim)<br />
<br />
Orang yang berbuat syirik kepada Allah subhanahu wata'ala, maka amalannya akan terhapus dan tertolak di sisi Allah subhanahu wata'ala. Allah subhanahu wata'ala berfirman,<br />
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ <br />
<br />
<br />
"Jika engkau berbuat syirik, maka sungguh amalan-amalanmu akan terhapus dan engkau termasuk orang-orang yang merugi." (Az Zumar: 65) <br />
<br />
Tipu Daya Iblis<br />
Para pembaca, tentunya kita tidak lupa akan perbuatan Iblis yang membangkang ketika Allah subhanahu wata'ala memerintahkan kepadanya untuk sujud kepada Nabi Adam ?. Allah subhanahu wata'ala mengusir Iblis dari Al Jannah, maka Iblis menyatakan sebagaimana yang Allah subhanahu wata'ala kisahkan dalam Al Qur'an,<br />
<br />
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لأزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الأرْضِ وَلأغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ *إِلا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ *<br />
<br />
"Iblis berkata: "Wahai Rabbku, oleh sebab Engkau telah menyesatkanku, pasti aku akan menjadikan mereka (anak cucu Adam) memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang ikhlas di antara mereka." (Al Hijr: 39-40)<br />
<br />
Iblis bertekad untuk menyesatkan umat manusia ini seluruhnya, kemudian Iblis mengecualikan orang-orang yang ikhlas, karena Iblis tidak akan mampu untuk menyesatkan mereka.<br />
<br />
Ini menunjukkan bahwa misi utama Iblis adalah menyesatkan umat manusia dari jalan Allah subhanahu wata'ala dengan memalingkan mereka dari keikhlasan kepada-Nya. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:<br />
<br />
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَحْضُرُ أَحَدَكُمْ عِنْدَ كُلِّ شَيْءٍ مِنْ شَأْنِهِ<br />
<br />
"Sesungguhnya setan akan selalu hadir menggoda salah seorang diantara kalian pada setiap keadaannya." (HR. Muslim)<br />
<br />
Hendaknya kita semua berhati-hati dari makar setan ini, karena setan senantiasa akan menggoda, menyesatkan, dan memalingkan kita dari keikhlasan kepada Allah subhanahu wata'ala. Senantiasa kita koreksi niat-niat kita dalam beramal. Semoga Allah subhanahu wata'ala menjadikan kita termasuk di antara hamba-hamba-Nya yang Mukhlishin.<br />
<br />
Akibat tidak Ikhlas<br />
Berikut ini akan kami sampaikan sebuah hadits nabi shalallahu 'alaihi wasallam yang menceritakan keadaan orang-orang yang tidak ikhlas dalam amalannya, Beliau shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (artinya),<br />
<br />
"Sesungguhnya manusia yang pertama dihisab pada hari kiamat nanti adalah seseorang yang mati syahid, di mana dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya. Kemudian dia ditanya, ‘Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Saya berjuang di jalan-Mu sehingga saya mati syahid’. Allah berfirman, ‘Kamu berdusta, kamu berjuang (dengan niat) agar dikatakan sebagai pemberani, dan hal itu sudah terpenuhi.’ Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang tersebut yang akhirnya dia dilemparkan ke An Nar (neraka).<br />
<br />
Kedua, seseorang yang belajar dan mengajar serta suka membaca Al Qur'an, dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya, kemudian ditanya, ‘Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu?’. Ia menjawab, ‘Saya telah belajar dan mengajarkan Al Qur'an untuk-Mu’. Allah berfirman, ‘Kamu dusta, kamu belajar Al Qur'an (dengan niat) agar dikatakan sebagai orang yang alim (pintar), dan kamu membaca Al Qur'an agar dikatakan sebagai seorang Qari' (ahli membaca Al Qur'an), dan hal itu sudah terpenuhi.’ Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang itu yang akhirnya dia dilemparkan ke dalam An Nar.<br />
<br />
Ketiga, seseorang yang dilapangkan rezekinya dan dikaruniai berbagai macam kekayaan, lalu dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya. Kemudian dia ditanya, ‘Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Tidak pernah aku tinggalkan suatu jalan yang Engkau sukai untuk berinfaq kepadanya, kecuali pasti aku akan berinfaq karena Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta, kamu berbuat itu (dengan niat) agar dikatakan sebagai orang yang dermawan, dan hal itu sudah terpenuhi’. Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang tersebut yang akhirnya dia dilemparkan ke dalam An Nar." (HR. Muslim)<br />
<br />
Demikianlah ketiga orang yang beramal dengan amalan mulia tetapi tidak didasari keikhlasan kepada Allah subhanahu wata'ala. Allah subhanahu wata'ala lemparkan mereka ke dalam An Nar. Semoga kita termasuk orang-orang yang bisa mengambil pelajaran dari kisah tersebut.<br />
<br />
Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:<br />
<br />
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ عز وجل لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ..<br />
<br />
"Barangsiapa yang menuntut ilmu yang semestinya dalam rangka untuk mengharap wajah Allah, tetapi ternyata tidaklah dia menuntutnya kecuali hanya untuk meraih sebagian dari perkara dunia, maka dia tidak akan mendapatkan aroma Al Jannah pada hari kiamat nanti." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah) <br />
<br />
Akhir kata, semoga ulasan edisi kali ini mendorong kita untuk selalu mengoreksi ibadah yang telah kita lakukan baik kualitas maupun kuantitasnya. Semoga Allah subhanahu wata'ala mengampuni kekurangan-kekurangan ibadah kita yang telah lalu dan menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang mukhlishin. Amin, Ya Rabbal alamin.<br />
<br />
Mutiara Faedah<br />
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (artinya):<br />
<br />
"Barang siapa yang berwudhu' lalu berjalan menuju rumah Allah (masjid) untuk menunaikan kewajiban shalat yang telah diwajibkan oleh Allah, maka salah satu langkah kakinya dapat menghapus dosa dan langkah lainnya dapat mengangkat derajatnya." (HR. Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu)<br />
<br />
Masjid merupakan syi'ar agama Islam yang perlu dijaga dan dilestarikan, bukan hanya dari sisi fisiknya saja, namun yang paling utama adalah meramaikan masjid itu dengan menghidupkan berbagai macam kegiatan (ibadah) yang dianjurkan oleh syariat, seperti menghidupkan sholat jama'ah lima waktu.<br />
<br />
Allah subhanahu wata'ala adalah Maha Pemurah lagi Maha Penyayang sehingga tidak akan menyia-nyiakan amalan seseorang, bahkan Allah subhanahu wata'ala membalasnya dengan jauh lebih baik dari apa yang ia kerjakan, sebagaimana hadits di atas.<br />
<br />
http://assalafy.org/artikel.php?kategori=aqidah7<br />
<br />
</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107707680289358732.post-47374013081640230842011-04-17T04:53:00.000-07:002011-04-17T05:13:26.738-07:00Perayaan Maulid Nabi dalam Sorotan<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">Hari itu istri-istri Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam kedatangan tiga shahabat menanyakan perihal ibadah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Sesampainya mereka disana diceritakanlah kepada mereka seperti apa ibadah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, selesai mereka menyimak keterangan para pendamping Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam seolah-olah mereka masih menganggapnya belum seberapa. Maka berkatalah salah seorang dari mereka; "Saya akan shalat malam selama-lamanya". Kata yang kedua; "Kalau saya, saya akan berpuasa dan tidak berbuka". Yang terakhir menyela; "Dan saya, saya akan menjauhi wanita-wanita dan tidak akan menikah".<br />
<br />
Tidak lama, sampailah kepada beliau laporan ucapan-ucapan ketiga shahabatnya tadi. Maka beliau pun berkata lantang dihadapan mereka; "Kenapa masih ada orang-orang yang mengatakan ini dan itu, sungguh demi Allah, ketahuilah; saya adalah orang yang paling bertakwa dan paling takut kepada Allah dari pada kalian, tapi saya shalat malam dan saya juga tidur, saya puasa dan saya juga berbuka dan saya menikahi wanita-wanita…barangsiapa yang tidak suka dengan ajaranku maka dia bukan dari golonganku".<br />
<br />
Demikianlah makna hadist Anas radiyallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dalam Shahihnya. Hadits ini seolah-olah terus menegur dan mengingatkan kita, bahwa ada satu hal dari sunnah nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang sering kali luput dari pengamatan yaitu yang dinamakan para ulama dengan sunnah tarkiyyah. Sunnah Tarkiyyah adalah semua yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulllah Shallallahu 'Alaihi Wasallam semasa hidupnya, maka Sunnah bagi kita untuk meninggalkannya.<br />
<br />
Karena sunnah ada dua; sunnah fi'liyyah dan sunnah tarkiyyah. Yang pertama; setiap yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dimasa hidupnya adalah sunnah bagi kita untuk melakukannya. Dan yang kedua; setiap yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dimasa hidupnya adalah sunnah bagi kita untuk tidak melakukannya.<br />
<br />
Diantara contoh sunnah tarkiyah adalah hadist Anas radiyallahu 'anhu diatas. Karena itu Al Hafidz Ibnu Rajab berkata; "…adapun hal-hal yang telah disepakati oleh Salaf untuk ditinggalkan, maka tidak boleh mengamalkannya, karena mereka meninggalkannya atas dasar ilmu bahwa hal tersebut tidak disyariatkan".<br />
<br />
Di hari-hari ini, di bulan Rabi'ul Awal, umumnya kaum muslimin merayakan perayaan ritual tahunan yang biasa dikenal dengan Maulid Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam atau Mauludan (di Jogja dikenal dengan perayaan Sekaten, red). Tidak sedikit harta yang dinafkahkan pada perayaan ini, sampai-sampai dibeberapa tempat dana yang dihabiskan untuk mensukseskannya terkadang mencapai puluhan juta. Tapi harus kita akui bersama, hanya sedikit –dari sekian besar dana yang dibelanjakan untuk acara ini- yang manfaatnya kembali kepada kaum muslimin apabila ditinjau dari perbaikan akhlak dan sikap beragama mereka, kalau tidak boleh mengatakan; "Tidak ada manfaatnya". Bukti akan hal ini terlalu banyak untuk disebutkan. Dan setiap kita cukup sebagai saksi dari gagalnya seremonial tahunan ini dalam mengangkat moral ummat dan mengembalikan kesadaran beragama mereka.<br />
<br />
Apa yang salah dari perayaan maulid Nabi, bukankah acara tersebut merupakan ungkapan kegembiraan kita dengan Nabi kita sendiri?! Dengannya kita bisa melakukan napak tilas sejarah kehidupan beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam?! Mempelajari sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam?! Semua ini adalah niatan baik yang melatar belakangi perayaan tersebut, tapi seperti yang dikatakan oleh Ibnu Mas'ud radiyallahu 'anhu kepada orang-orang yang didapatinya di masjid Kufah, ketika itu mereka terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok majlis dzikir, majlis memuji dan mengingat Allah Ta'ala, kata Ibnu Mas'ud radiyallahu 'anhu , "Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi tidak mendapatkannya". Hal ini karena mereka melakukan suatu yang tidak pernah dikerjakan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam semasa hidupnya, ini juga yang hampir dilakukan oleh tiga orang shahabat nabi dalam kisah di atas.<br />
<br />
Ungkapan kegembiraan yang tepat, yakni napak tilas kehidupan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan mempelajari sunnah-sunnah beliau caranya dengan menerapkan ajarannya dalam kehidupan kita, dengan belajar ilmu agama diantaranya sirah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bukan dengan cara-cara yang baru yang hanya dikenal setelah berlalunya tiga generasi yang mulia, shahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in.<br />
<br />
Adapun perayaan Maulid ini tidak dikenal di masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, generasi pertama ummat ini dan tidak dikenal dalam mazhab yang empat, Hanafiah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hambaliyah. Lantas siapa orang yang menanggung dosa pertama dari bid'ah maulid ini? Orang yang pertama kali mengadakan perayaan ini adalah kelompok Fatimiyyun disebut juga Ubaidiyyun ajaran mereka adalah kebatinan. Adapun perkataan bahwa yang pertama kali mengadakan perayaan tersebut adalah seorang raja yang adil yang alim yaitu Raja Mudhofir, penguasa Ibril adalah pernyataan yang salah. Abu Syamah menjelaskan bahwa Raja Al Mudhofir (hanya) mengikuti jejak Asy-Syaikh Umar bin Muhammad Al Mulaa tokoh kebatinan dan dialah orang yang pertama kali mengadakan perayaan tersebut.<br />
<br />
Kelompok yang membolehkan Maulid Nabi beralasan;<br />
1- Perayaan Maulid merupakan ekspresi kebahagiaan dan kegembiraan dengan diutusnya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan hal ini termasuk perkara yang diharuskan karena Al-Qur’an memerintahkannya sebagaimana yang terdapat di dalam firman Allah Ta’ala :<br />
"Katakanlah, dengan karunia Allah dan rahmat-Nya hendaklah dengan itu mereka bergembira" (Qs. Yunus; 58).<br />
Ayat ini memerintahkan kita untuk bergembira disebabkan rahmat-Nya, sedangkan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah rahmat Allah yang paling agung, Allah Ta’ala berfirman :<br />
"Dan tidaklah kami utus kamu melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam" (Qs. Al Anbiya'; 107)<br />
<br />
Sanggahannya :<br />
Bergembira dengan beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam, kelahirannya, syariat-syariatnya pada umumnya adalah wajib. Dan penerapannya di setiap situasi, waktu dan tempat, bukan pada malam-malam tertentu.<br />
Kedua, pengambilan dalil surat Yunus ayat ke 58 untuk melegalkan acara Maulid nyata sangat dipaksakan. Karena para ahli tafsir seperti Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, Al Baghawi, Al Qurthubi dan Ibnul Arabi serta yang lainnya tidak seorangpun dari mereka yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kata rahmat pada ayat tersebut adalah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, namun yang dimaksud dengan rahmat adalah Al Qur’an. Seperti yang diterangkan dalam ayat sebelumnya.<br />
"Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman". (Qs. Yunus; 57).<br />
<br />
Ibnu Katsir menerangkan; "Firman Allah Ta’ala "rahmat dan petunjuk bagi orang-orang yang beriman" maksudnya dengan Al-Qur’an, petunjuk dan rahmat bisa didapatkan dari Allah Ta’ala. Ini hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang beriman dengan Al-Qur'an dan membenarkannya serta meyakini kandungannya. Hal ini senada dengan firman Allah Ta’ala;<br />
"Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman" (Qs. Al Israa'; 82).<br />
<br />
2- Syubhat kedua, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sendiri mengagungkan hari kelahirannya, beliau mengekspresikan hal itu dengan berpuasa, seperti diriwayatkan dari Abu Qatadahradiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ditanya tentang puasa hari senin, beliau menjawab; "Pada hari itu aku dilahirkan, aku diutus atau diwahyukan kepadaku".<br />
<br />
Sanggahannya :<br />
Hadist Abu Qatadah radiyallahu 'anha di atas adalah hadits yang shahih, tapi menjadikannya sebagai dalil bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam merayakan sendiri kelahirannya, ini yang salah. Kesimpulannya dalilnya shahih, pendalilannya salah. Dikarenakan beberapa alasan;<br />
1- Diriwayatkan dalam hadits yang lain, bahwa puasa beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam di hari Senin, karena amalan di hari itu diperlihatkan kepada Allah Ta'ala.<br />
2- Kalau ucapan mereka benar, kenapa tidak ada seorang pun dari shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang memahami sabda diatas dengan pemahaman demikian. Kemudian datang orang-orang belakangan yang memahami puasa beliau di hari Senin sebagai ekspresi pengagungan terhadap hari kelahirannya, lalu dari situ mereka mengadakan acara yang dinamakan Maulid!! Apakah mereka lebih mengetahui kebenaran dari para shahabat yang mulia?! Dan kebenaran itu luput dari mereka dan hanya diketahui oleh orang yang datang belakangan?! Sungguh ajaib logika orang-orang pintar akhir zaman, hasbunallahu wani'mal wakiil.<br />
<br />
3- Syubhat ketiga, perkataan mereka : Perayaan Maulid memang bid'ah, tapi bid'ah hasanah (baik)."<br />
<br />
Sanggahannya : <br />
Cukup dengan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "Setiap bid'ah adalah sesat". Dan seperti itu pulalah yang disampaikan Ibnu Umar radiyallahu 'anhuma kepada orang-orang yang memiliki anggapan salah ini, kata beliau; "Setiap bid'ah adalah sesat walaupun orang menganggapnya baik".<br />
<br />
Al Imam Malik rahimahullah berkata; "Barangsiapa yang membuat bid'ah di dalam Islam yang dianggapnya baik, ia telah menuduh Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam khianat dalam menyampaikan risalah. Karena Allah Ta'ala berfirman;<br />
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (Qs. Al Maidah; 3), maka segala sesuatu yang bukan agama dihari itu, bukan pula agama di hari ini.<br />
<br />
Apabila ajaran maulid adalah petunjuk dan kebenaran, kenapa Rasululah SAW dan para shahabatnya, tidak pernah menganjurkannya?! Apakah mereka tidak tahu?! Kemungkinan yang lain, mereka tahu tapi menyembunyikan kebenaran. Dua kemungkinan ini sama batilnya!! Alangkah dzalim apa yang mereka perbuat kepada nabinya dengan alasan cinta kepadanya?!</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
Dikirim via email oleh Al Akh Fajar Wuryanto, Jakarta </span><span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107707680289358732.post-45353544685304347932011-04-17T04:52:00.000-07:002011-04-17T05:13:04.736-07:00Sifat-Sifat Penghuni Al Jannah<div style="font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif; line-height: 150%;">Para pembaca yang mulia, pada edisi ke 2 th. ke 5, 1427, telah kami angkat sebuah tema tamasya ke surga, maka edisi kali ini akan melanjutkan tamasya kita untuk menikmati keindahan sifat-sifat penghuni al jannah (surga).<br />
<br />
Sungguh kenikmatan-kenikmatan dalam al jannah tidak akan dicapai oleh indera manusia. Belum pernah dilihat oleh penglihatan siapa pun, belum pernah didengar oleh pendengaran siapa pun, dan belum pula terbetik dalam hati siapa pun. Demikianlah yang dikhabarkan Baginda Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu: <br />
"Allah berfirman (artinya): ''Aku telah sediakan bagi hamba-hamba-Ku yang shalih (kenikmatan Al jannah) yang belum pernah dilihat mata, didengar telinga, serta terlintas di hati manusia. (HR. Muslim no. 2824)<br />
<br />
Kenikmatan-kenikmatan itu menggambarkan, rahmat Allah subhanahu wata'ala itu betapa luas tanpa batas, bagaikan hamparan tiada bertepi. Yang Allah subhanahu wata'ala sedialam bagi hamban-hamba-Nya yang shalih. Tapi itu bukan semata-mata hasil amal shalih yang dilakukan oleh seorang hamba, sekalipun ia seorang nabi. Bahkan Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam sebagai Imamul Anbiya' (pemimpin para nabi), ia adalah orang yang pertama kali mengetuk pintu al jannah, hal itu bukan semata disebabkan amal shalih yang ia usahakan, namun berkat rahmat Allah subhanahu wata'ala. <br />
<br />
فَإِنَّهُ لَنْ يُدْخِلَ الْجَنَّةَ أَحَدًا عَمَلُهُ قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ: وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ مِنْهُ بِرَحْمَةٍ <br />
<br />
"Sungguh bukanlah seseorang itu masuk al jannah karena amalannya. Para shahabat bertanya: "Demikian juga engkau wahai Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam Beliau berkata: "Demikian juga saya, melainkan Allah subhanahu wata'ala melimpahkan rahmat-Nya kepadaku. (HR. Al Bukhari no. 6463 dan Muslim no. 2816) <br />
<br />
Ciri Fisik Penghuni Al Jannah<br />
Penghuni al jannah memiliki ciri-ciri khusus. Diantaranya;<br />
Berperawakan seperti Adam. Dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:<br />
<br />
فَكُلُّ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ آدَمَ وَطُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا فَلَمْ يَزَلْ الْخَلْقُ يَنْقُصُ بَعْدَهُ حَتَّى اْلآنَ<br />
<br />
"Maka setiap orang yang masuk al jannah wajahnya seperti Adam dan tingginya 60 hasta, setelah Adam manusia terus mengecil hingga sampai sekarang." (Muttafaqun 'alaihi)<br />
Berusia masih muda. Dari shahabat Syahr bin Husyab radhiallahu 'anhu, Rasulullah bersabda: <br />
<br />
يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ جُرْدًا مُرْدًا مُكَحَّلِينَ أَبْنَاءَ ثَلاَثِينَ أَوْ ثَلاَثٍ وَثَلاَثِينَ سَنَةً <br />
<br />
"Penghuni al jannah akan masuk ke dalam al jannah dengan keadaan rambut pendek, jenggot belum tumbuh, mata bercelak, dan berusia tiga puluh tahun atau tiga pulu tiga tahun." (HR. At Tirmidzi no. 2468, dihasankan Asy Syaikh Al Albani. Keraguan ini berasal dari perawi, namun dalam riwayat Ahmad, Ibnu Abi Dunya, Ath Thabarani dan Al Baihaqi dengan riwayat tegas tanpa ada keraguan yaitu berusia 33 tahun. Lihat Tuhfatul Ahwadzi 7/215) <br />
<br />
Orang Yang Pertama Mengetuk Pintu Al Jannah<br />
Orang pertama kali yang mengetuk pintu al jannah, lalu membukanya dan kemudian memasukinya adalah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Dari shahabat Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: <br />
<br />
أَنَا أَكْثَرُ اْلأَنْبِيَاءِ تَبَعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَنَا أَوَّلُ مَنْ يَقْرَعُ بَابَ الْجَنَّةِ<br />
<br />
"Saya adalah orang yang paling banyak pengikutnya pada Hari Kiamat dan saya adalah orang yang pertama kali mengetuk pintu Al Jannah." (HR. Muslim no. 196)<br />
Masih dari shahabat Anas bin Malik namun dalam riwayat At Tirmidzi, dengan lafadz:<br />
"Saya adalah orang yang pertama kali keluar jika mereka dibangkitkan. Saya adalah orang pertama kali bicara, jika mereka diam. Saya adalah pemimpin mereka, jika mereka dikirim. Saya adalah pemberi syafaat kepada mereka, jika mereka tertahan. Saya adalah pemberi berita gembira, jika mereka putus asa. Panji pujian ada digenggaman tanganku. Kunci-kunci al jannah ada ditanganku. Saya adalah keturunan Adam yang paling mulia di sisi Rabb-ku dan tidak ada kebanggaan melebihi hal ini. Saya dikelilingi seribu pelayan setia laksana mutiara yang tersimpan." <br />
<br />
Umat Yang Pertama Kali Masuk Al Jannah Dan Ciri-Cirinya<br />
Sekalipun umat Islam ini adalah umat terakhir, namun Allah subhanahu wata'ala (dengan rahmat-Nya yang luas) memilihnya sebagai umat yang pertama kali masuk al jannah. Dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:<br />
<br />
نَحْنُ اْلآخِرُونَ اْلأَوَّلُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَنَحْنُ أَوَّلُ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ بَيْدَ أَنَّهُمْ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِنَا وَأُوتِينَاهُ مِنْ بَعْدِهِمْ<br />
<br />
"Kita adalah umat terakhir namun paling awal pada hari kiamat. Kita adalah umat yang pertama kali masuk al jannah, meskipun mereka diberi kitab sebelum kita, dan kita diberi kitab sesudah mereka." (HR. Muslim no. 855)<br />
<br />
Selain itu, Allah subhanahu wata'ala pun menampilkan umat Islam dengan penampilan yang amat indah. Masih dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: <br />
<br />
إِنَّ أَوَّلَ زُمْرَةٍ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ عَلَى أَشَدِّ كَوْكَبٍ دُرِّيٍّ فِي السَّمَاءِ إِضَاءَةً <br />
<br />
"Rombongan pertama yang masuk Al Jannah laksana bulan purnama, sedangkan rombongan berikutnya bagaikan bintang yang paling berkilau di langit." <br />
(HR. Al Bukhari no. 3327, Muslim no. 2824)<br />
<br />
Orang Fakir Miskin Lebih Dahulu Masuk Al Jannah<br />
Lalu siapakah diantara umat Islam yang pertama kali masuk al jannah? Hal yang sama pernah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam tanyakan kepada para shahabatnya. Seraya mereka menjawab: "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu." Barulah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menjelaskan: "Mereka adalah kaum faqir Muhajirin yang terlindungi dari hal-hal yang dibenci. Salah seorang dari mereka meninggal dunia sementara kebutuhannya masih ada di dadanya namun ia tidak mampu menunaikannya. Para Malaikat berkata: " Ya Rabb-kami, kami adalah para malaikat-Mu, penjaga-Mu, dan penghuni langit-Mu, janganlah Engkau dahulukan mereka daripada kami memasuki jannah-Mu! Allah subhanahu wata'ala berfirman: "Mereka adalah hamba-hamba-Ku yang tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu apapun. Mereka terlindungi dari hal-hal yang dibenci. Ada salah seorang diantara mereka meninggal dunia sementara kebutuhannya masih ada di dadanya yang tidak mampu ia tunaikan. Mendengar jawaban Allah seperti itu, para malaikat segera masuk ketempat mereka dari semua pintu seraya berkata," Salam sejahtera untuk kalian atas kesabaran kalian. Ini adalah sebaik-baik tempat tinggal." (HR. Ahmad dan At Thabarabi, dari shahabat Abdullah bin Umar)<br />
<br />
Sementara dalam riwayat Al Imam Muslim dan At Tirmidzi menjelaskan selisih waktu antara rombongan orang-orang fakir dengan orang-orang kaya masuk ke dalam al jannah. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: <br />
<br />
إِنَّ فُقَرَاءَ الْمُهَاجِرِينَ يَسْبِقُونَ اْلأَغْنِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى الْجَنَّةِ بِأَرْبَعِينَ خَرِيفًا<br />
<br />
"Orang-orang fakir kaum Muhajirin masuk Al Jannah mendahului orang-orang kaya dari mereka, dengan selisih waktu 40 tahun." (HR. Muslim no. 2979) <br />
<br />
Istri-istri Penghuni Al Jannah, Pesona, Ciri-Ciri Dan Kecantikannya<br />
Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya):<br />
"Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya". (Al Baqarah: 25)<br />
Pada ayat di atas Allah subhanahu wata'ala memadukan antara kenikmatan fisik berupa al jannah beserta taman-taman dan sungai-sungai di dalamnya, dengan kebahagian jiwa berupa bidadari-bidadari sebagai istri-istri yang suci lagi penyejuk mata bagi mereka. Dan Allah subhanahu wata'ala memastikan bagi mereka keberlangsungan kehidupan yang abadi tiada pernah terputus sedikitpun. <br />
Mereka dipingit di kemah-kemah dalam keadaan putih bersih nan jelita. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya): "(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam kemah." (Ar Rahman: 72)<br />
<br />
Mereka memiliki akhlak yang bagus nan indah sebagaimana kecantikan pesona wajah-wajah mereka. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya): "Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang (berakhlak) baik-baik lagi cantik-cantik." (Ar Rahman: 70)<br />
Mereka berusia sebaya, selalu tampil dalam keadaan perawan, penuh pesona dan cinta. Allah subhanahu wata'ala berifirman (artinya): "Dan Kami jadikan bidadari-bidadari itu perawan. Penuh cinta kasih lagi sebaya umurnya. Kami ciptakan mereka untuk golongan kanan." (Al Waqi'ah: 36-38) <br />
<br />
Penghuni Yang Masuk Al Jannah Paling Akhir<br />
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: <br />
"Sesungguhnya aku tahu penghuni neraka yang paling akhir keluar dari neraka dan penghuni al jannah yang paling akhir masuk al jannah. Dia keluar dari neraka dengan merangkak. Allah berfirman kepadanya, 'Pergilah ke al jannah (surga) dan masuklah ke dalamnya!' Orang tersebut bergegas pergi ke jannah dan tergambar dalam pikirannya bahwa al jannah itu telah penuh sesak. Maka ia pun kembali dan berkata kepada Allah, 'Wahai Rabbku, aku dapati al jannah telah penuh!' Allah pun berfirman kepadanya, 'Pergilah ke al jannah dan masuklah ke dalamnya! Sesungguhnya engkau berhak atas nikmat sebesar dunia dan sepuluh kali lipatnya.' Orang tersebut berkata, 'Wahai Rabbku, apakah Engkau mengejekku dan menertawakanku, karena Engkau Sang Raja Penguasa?" <br />
Abdullah bin Mas'ud berkata: "Kulihat Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya." Beliau bersabda: "Itulah derajat penghuni al jannah yang paling rendah." (HR. Al Bukhari no. 6571 dan Muslim no. 186)<br />
<br />
Penghuni Al Jannah Melihat Rabb Mereka Dengan Mata Kepalanya<br />
Kenikmatan tertinggi di dalam al jannah adalah melihat wajah Rabbul 'alamin. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya):<br />
"Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaikb berupa surga dan ada tambahannya. Dan wajah mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) dengan kehinaan. Mereka Itulah penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya." (Yunus: 25-26)<br />
<br />
Yang dimaksud dengan ada tambahannya pada ayat di atas yaitu berupa kenikmatan melihat Allah subhanahu wata'ala. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dalam sabdanya: "Jika telah masuk penduduk al jannah ke dalam al jannah. Allah subhanahu wata'ala berkata: "Apakah kalian ingin tambahan dari-Ku. Mereka seraya menjawab: "Bukankah Engkau telah menjadikan wajah-wajah kami bercahaya? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam al jannah (surga) dan menyelamatkan dari an nar (neraka). Kemudian Allah subhanahu wata'ala membuka hijab-Nya. Maka tidaklah mereka diberi nikmat yang lebih mereka sukai dibanding dengan melihat Allah subhanahu wata'ala. (HR. Muslim no. 181) <br />
<br />
Akhir kata, demikianlah tamasya kita untuk menengok sebagian keindahan para penghuni al jannah. Dengan sebuah harapan dapat mendorong kita untuk selalu berpacu dalam beramal shalih. Tuk meraih tamasya yang hakiki yang penuh dengan kenikmatan yang abadi. Amien, Ya Rabbal 'alamin.<br />
<br />
Do'a Mohon Dimasukkan Al Jannah dan Dijauhkan dari An Naar<br />
Diriwayatkan dari Ummul Mukminin 'Aisyah, bahwasanya Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam berdo'a:<br />
<br />
اللهم إِنِّي أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَمَا يُقَرِّبُ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ وَعَمَلٍ, وَأَعُوذُبِكَ مِنَ النَّارِ وَمَا يُقَرِّبُ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ وَعَمَلٍ <br />
<br />
"Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu al jannah (surga) beserta segala sesuatu yang bisa mendekatkan kepadanya dari perkataan dan perbuatan, dan aku berlindung kepada-Mu dari an nar (neraka) beserta segala sesuatu yang bisa mendekatkan kepadanya dari perkataan dan perbuatan". (HR. Ahmad, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no.1542)<br />
<br />
http://assalafy.org/artikel.php?kategori=akhlaq=7 </div><div align="right"><a class="pn-normal" href="http://www.darussalaf.or.id/myprint.php?id=657" target="_blank" title="printer-friendly page"><img src="http://www.darussalaf.or.id/images/print.gif" title="" /></a></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107707680289358732.post-45085594503254939322011-04-17T04:49:00.000-07:002011-04-17T05:12:40.687-07:00Wahai Muslimah....., Raihlah Kemuliaanmu Dari Islam<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">Pada masa jahiliyah, yakni sebelum datangnya Islam, kaum wanita tidak mendapatkan tempat yang semestinya di tengah masyarakat, bahkan lebih banyak dihinakan dan dinistakan. Kelahiran mereka tidak dikehendaki oleh orang tuanya. Kalaulah terlahir ke dunia maka laksana buah simalakama bagi orang tuanya, dikubur hidup-hidup atau dibiarkan berumur panjang dengan menanggung kehinaan. <br />
<br />
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: <br />
<br />
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدّاً وَهُوَ كَظِيمٌ يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ <br />
Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepada nya, apakah dia akan memelihara nya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkan nya ke dalam tanah (hidup-hidup) Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (An-Nahl: 58-59) <br />
<br />
Dan seandainya si mungil ini dibiarkan hidup dan beranjak dewasa berarti ia menyongsong penderitaan dan kesengsaraan yang telah menanti. Masih panjang dan terjal jalan kehidupan yang mesti dilalui. Yaitu, tatkala menginjak jenjang pernikahan, di mana timbul permasalahan yang tidak kalah pelik dan menyengsarakan nya. Status dan nasib seorang istri banyak digantungkan oleh suaminya, karena suami berhak menceraikan nya beberapa kali tanpa ada masa iddah, dan boleh saja merujuknya kembali -setiap saat- kapan saja dia mau. Laki-laki juga berhak berpoligami tanpa batas jumlah, bahkan boleh menikahi sekaligus dua perempuan bersaudara. Dan lebih keji lagi, seorang perempuan boleh dinikahi oleh beberapa orang lelaki dalam satu waktu. Perempuan di masa itu tidak berhak mendapatkan waris meski dia dalam keadaan sangat melarat. Bila suaminya meninggal dunia, isteri tidak mendapatkan warisan, malahan dia bisa diwariskan -layaknya harta- kepada anak-anak lelakinya. <br />
<br />
Hal serupa juga dialami kaum wanita selain bangsa Arab. Di kalangan bangsa Yunani, perempuan dianggap seperti barang yang paling murah, tidak memiliki hak-hak dalam keluarga dan bisa diperjual-belikan di pasar. Di kalangan bangsa Romawi, orang lelaki memiliki wewenang mutlak dalam keluarga dan memegang hak-hak keluarga secara absolut. Dia berhak menghukum mati istrinya untuk alasan yang sangat remeh, dan dia juga berhak membunuh atau menyiksa anak-anaknya tanpa pertanggungjawaban sedikitpun. Di kalangan orang-orang Hindu dan Budha, perempuan sangat terhina dan sengsara. Hanya kematian yang dapat membebaskan dari kesengsaraannya sepanjang hidup. Dan itu merupakan puncak dari penderitaannya. Yakni, bila suaminya meninggal dunia, ia harus dibakar di dekat jasad suaminya. Di kalangan orang Yahudi, perempuan dianggap laknat, karena perempuan telah menyesatkan Adam. Bahkan sebagian sekte mereka membolehkan bapak untuk menjual anak perempuannya. Anggota keluarganya yang sedang haidh dianggap najis, sehingga tidak boleh menyentuh wadah makanan dan minuman mereka, bahkan tidak boleh duduk dan makan bersama mereka. Orang-orang Kristen dahulu menganggap bahwa pernikahan adalah najis, wajib dijauhi. Dan mereka menyatakan terang-terangan bahwa perempuan adalah pintu syetan, dan berhubungan dengan nya adalah najis. <br />
<br />
Setelah kedatangan Islam, kaum perempuan ini dimuliakan semulia-mulianya. Kedudukan mereka sederajat dengan kaum laki-laki. Hanya ketaqwaan saja yang dapat membedakan mereka - baik laki-laki maupun perempuan- di mata Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hal ini dinyatakan melalui firman-NYA: <br />
<br />
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ <br />
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi ALLAH ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya ALLAH Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al Hujuraat: 13) <br />
<br />
Seorang lelaki bisa jadi sangat hina dan nista dengan sebab tidak adanya ketaqwaan pada dirinya, begitu pula dengan perempuan. Sebaliknya, seseorang lelaki bisa menjadi sangat mulia dan berwibawa karena ketaqwaannya, begitu pula dengan perempuan. <br />
<br />
Islam telah menghapuskan penindasan terhadap kaum perempuan sebagaimana melenyapkannya terhadap sesama manusia. Dan kaum perempuan di dalam agama yang haq ini diberi banyak kemulian dan kehormatan yang tidak diberikan oleh agama atau ideologi lainnya. <br />
<br />
Di antaranya : <br />
<br />
1. Sama dengan kaum lelaki dalam mendapatkan pahala atas amal ibadahnya. <br />
<br />
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: <br />
<br />
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ <br />
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepada nya kehidupan yang baik. Dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. ( An-Nahl: 97) <br />
<br />
2. Mendapatkan hak waris bagi mereka. <br />
<br />
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: <br />
<br />
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيباً مَفْرُوضاً <br />
(Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya -baik sedikit atau banyak-` menurut bahagian yang telah ditetapkan.) (An-Nisaa : 7) <br />
<br />
3. Tidak dapat diwariskan layaknya harta. <br />
<br />
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: <br />
<br />
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهاً <br />
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewariskan wanita dengan jalan paksa. (An-Nisaa: 19) <br />
<br />
4. Jiwanya dilindungi sejak dilahirkan. <br />
<br />
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : <br />
<br />
وَإِذَا الْمَوْؤُودَةُ سُئِلَتْ (8) بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ <br />
Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh. (At-Tawiir: 8-9) <br />
<br />
5. Mendapatkan perlindungan dari gangguan dan fitnah. <br />
<br />
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: <br />
<br />
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَاناً وَإِثْماً مُبِيناً <br />
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu'min dan mu'minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (Al Ahzaab: 58) <br />
<br />
Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman: <br />
<br />
إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ <br />
Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang mukmin -laki-laki dan perempuan- kemudian mereka tidak bertobat, maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar. (Al Buruuj: 10) <br />
<br />
6. Kemulian dalam pernikahan dan kehidupan keluarga: <br />
<br />
a. Islam mendudukkan kaum perempuan -dalam kehidupan suami-istri- sebagai pihak yang sangat berperan membahagiankan dan menenangkan orang lelaki. <br />
<br />
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآياتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ <br />
<br />
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-NYA ialah Dia menciptakan untuk mu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepada nya. Dan dijadikan-NYA di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Ar-Ruum: 21) <br />
<br />
b. Seorang perempuan berhak memilih calonnya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: <br />
<br />
لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمُرَ وَ لَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ <br />
<br />
Jangan nikahkan anak perempuan kecuali atas musyawarah. Dan jangan nikahkan anak gadis kecuali atas ijinnya. (HR:Al Bukhari) <br />
<br />
c. Berhak mendapatkan mahar dari suami. <br />
<br />
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: <br />
<br />
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً <br />
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian - dengan penuh kerelaan-. (An-Nisaa: 4) <br />
<br />
d. Wajib mendapatkan perlakuan baik dari suami, dan mendapatkan kecukupan materi dengan baik. <br />
<br />
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ <br />
<br />
Dan pergaulihah mereka dengan baik. (An-Nisaa: 19) <br />
<br />
e. Berhak menuntut pisah (khulu') bila ada sebab-sebab yang membolehkannya. (-seperti keadaan suami yang tidak taat menjalankan ibadah dan banyak melakukan kemaksiatan padahal sudah sering kali dinasihati atau karena sebab-sebab lainnya-) <br />
<br />
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: <br />
<br />
فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ <br />
Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri utuk menebus dirinya. (Al Baqarah: 29) <br />
<br />
7. Ditunjukkan jalan-jalan dan kiat-kiat agar tetap terhormat, berwibawa, serta mulia di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala: <br />
<br />
a. Mereka diperintahkan menutup aurat dan menghindari perbuatan yang dapat mengundang pelecehan terhadap dirinya. <br />
<br />
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : <br />
<br />
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا <br />
<br />
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ <br />
أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا <br />
<br />
مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْأِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى <br />
<br />
عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ <br />
Katakanlah kepada wanita yang beriman:"Hendaklah mereka menahan pandangan dan memelihara kemaluan mereka. Dan janganlah menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka.Dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka, putera-putera mereka, putera- putera suami mereka, saudara-saudara mereka, putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, wanita-wanita Islam, budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak- anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. (An-Nuur: 31) <br />
<br />
<br />
b. Mereka diperintahkan untuk tetap tinggal di dalam rumah (-dan kalau terpaksa keluar tidak dengan mengumbar aurat-) agar aman dari fitnah dan tidak menjadi penyebab kejahatan seksual terhadap dirinya maupun terhadap perempuan lain. <br />
<br />
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى <br />
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah dahulu. (Al Ahzaab: 33) <br />
<br />
c. Mereka diberi tanggung jawab untuk mengurus anak-anak serta mengelola dan mengatur rumahnya. <br />
<br />
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: <br />
<br />
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِهَا وَهِيَ مَسْؤُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا <br />
<br />
Orang perempuan adalah pemimpin di dalam rumahnya dan akan dimintai pertanggungjawabannya. (HR. Muttafaqun 'alaih) <br />
<br />
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga bersabda: <br />
<br />
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ <br />
<br />
Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Kedua orang tuanyalah yang menjadikan nya yahudi, nasrani atau majusi. (HR. Bukhari 1385 dan Muslim 2658) <br />
<br />
Demikianlah Islam memandang kaum wanita serta meletakkan kedudukannya di tempat yang terhormat dan sesuai dengan fitrahnya. Sedangkan apa yang terjadi di “barat” dan di negeri-negeri pengekornya dewasa ini lebih buruk dari pada sebelum datangnya Islam. Kalau orang arab jahiliyah dahulu mengubur anak perempuan yang masih kecil, yang masih suci tanpa dosa, orang-orang kafir sekarang membiarkan mereka hidup sampai dewasa, lalu mengantarkan mereka ke dalam kehinaan di dunia dan kesengsaraan tiada henti di akhirat nanti. Adalah suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa di sana -sejak dahulu hingga sekarang- perempuan tak lebih dari barang dagangan yang bebas diperjualbelikan. Bahkan di dalam statusnya sebagai isteri pun ia boleh dipinjam dan dipertukarkan, sebagaimana manusia memperlakukan barang yang dipakai sehari-hari. <br />
<br />
Namun sungguh aneh jika orang-orang kafir dan munafik di zaman kita gencar mengkampayekan gerakan kebebasan dan persamaan hak dengan slogan emansipasi. Pada hakikatnya apa yang mereka teriakkan -dengan istilah dan kemasan yang indah- menyimpan ambisi untuk melanggengkan bentuk-bentuk -dengan variasi baru- eksploitasi terhadap wanita. Dan bagi muslimah gerakan -dengan menggunakan cara-cara yang digandrungi wanita dan menjebak- ini tak lebih dari ajakan untuk kembali kepada keadaan sebelum Islam mengeluarkan dan mengangkat nya dari lembah kenistaan. Sayangnya, tidak sedikit wanita beriman, disebabkan kelalaian dan kebodohannya, menyambut seruan itu serta sangat antusias untuk ikut menjadi agen-agen dan corong-corong mereka. <br />
<br />
Wahai kaum wanita, ketahuilah sesungguhnya kemulian yang hakiki hanya akan kalian dapatkan di dalam Islam dan melalui Islam, bukan selain nya. Tinggal kalian raih dengan mempelajari sungguh-sungguh agama ini dan mengamalkan nya. <br />
http://ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=12 </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107707680289358732.post-85523735211216495912011-04-17T04:47:00.000-07:002011-04-17T05:12:23.702-07:00Ta’aruf Syar’i, Solusi Pengganti Pacaran<div style="font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif; line-height: 150%;">Pertanyaan:<br />
1. Apabila seorang muslim ingin menikah, bagaimana syariat mengatur cara mengenal seorang muslimah sementara pacaran terlarang dalam Islam?<br />
2. Bagaimana hukum berkunjung ke rumah akhwat (wanita) yang hendak dinikahi dengan tujuan untuk saling mengenal karakter dan sifat masing-masing?<br />
3. Bagaimana hukum seorang ikhwan (lelaki) mengungkapkan perasaannya (sayang atau cinta) kepada akhwat (wanita) calon istrinya?<br />
<br />
Dijawab oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari:<br />
<br />
بِسْمِ اللهِ، الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ<br />
<br />
Benar sekali pernyataan anda bahwa pacaran adalah haram dalam Islam. Pacaran adalah budaya dan peradaban jahiliah yang dilestarikan oleh orang-orang kafir negeri Barat dan lainnya, kemudian diikuti oleh sebagian umat Islam (kecuali orang-orang yang dijaga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala), dengan dalih mengikuti perkembangan jaman dan sebagai cara untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Syariat Islam yang agung ini datang dari Rabb semesta alam Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, dengan tujuan untuk membimbing manusia meraih maslahat-maslahat kehidupan dan menjauhkan mereka dari mafsadah-mafsadah yang akan merusak dan menghancurkan kehidupan mereka sendiri.<br />
Ikhtilath (campur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram), pergaulan bebas, dan pacaran adalah fitnah (cobaan) dan mafsadah bagi umat manusia secara umum, dan umat Islam secara khusus, maka perkara tersebut tidak bisa ditolerir. Bukankah kehancuran Bani Israil –bangsa yang terlaknat– berawal dari fitnah (godaan) wanita? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br />
<br />
لُعِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُوْنَ. كَانُوا لاَ يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوْهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُوْنَ<br />
<br />
“Telah terlaknat orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil melalui lisan Nabi Dawud dan Nabi ‘Isa bin Maryam. Hal itu dikarenakan mereka bermaksiat dan melampaui batas. Adalah mereka tidak saling melarang dari kemungkaran yang mereka lakukan. Sangatlah jelek apa yang mereka lakukan.” (Al-Ma`idah: 79-78)<br />
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ<br />
<br />
“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (indah memesona), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kalian sebagai khalifah (penghuni) di atasnya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerhatikan amalan kalian. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan wanita, karena sesungguhnya awal fitnah (kehancuran) Bani Israil dari kaum wanita.” (HR. Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)<br />
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan umatnya untuk berhati-hati dari fitnah wanita, dengan sabda beliau:<br />
<br />
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلىَ الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ<br />
<br />
“Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya terhadap kaum lelaki dari fitnah (godaan) wanita.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma)<br />
Maka, pacaran berarti menjerumuskan diri dalam fitnah yang menghancurkan dan menghinakan, padahal semestinya setiap orang memelihara dan menjauhkan diri darinya. Hal itu karena dalam pacaran terdapat berbagai kemungkaran dan pelanggaran syariat sebagai berikut:<br />
1. Ikhtilath, yaitu bercampur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjauhkan umatnya dari ikhtilath, sekalipun dalam pelaksanaan shalat. Kaum wanita yang hadir pada shalat berjamaah di Masjid Nabawi ditempatkan di bagian belakang masjid. Dan seusai shalat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiam sejenak, tidak bergeser dari tempatnya agar kaum lelaki tetap di tempat dan tidak beranjak meninggalkan masjid, untuk memberi kesempatan jamaah wanita meninggalkan masjid terlebih dahulu sehingga tidak berpapasan dengan jamaah lelaki. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam Shahih Al-Bukhari. Begitu pula pada hari Ied, kaum wanita disunnahkan untuk keluar ke mushalla (tanah lapang) menghadiri shalat Ied, namun mereka ditempatkan di mushalla bagian belakang, jauh dari shaf kaum lelaki. Sehingga ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam usai menyampaikan khutbah, beliau perlu mendatangi shaf mereka untuk memberikan khutbah khusus karena mereka tidak mendengar khutbah tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim.<br />
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرِهَا، وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا<br />
<br />
“Sebaik-baik shaf lelaki adalah shaf terdepan dan sejelek-jeleknya adalah shaf terakhir. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf terakhir, dan sejelek-jeleknya adalah shaf terdepan.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)<br />
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal itu dikarenakan dekatnya shaf terdepan wanita dari shaf terakhir lelaki sehingga merupakan shaf terjelek, dan jauhnya shaf terakhir wanita dari shaf terdepan lelaki sehingga merupakan shaf terbaik. Apabila pada ibadah shalat yang disyariatkan secara berjamaah, maka bagaimana kiranya jika di luar ibadah? Kita mengetahui bersama, dalam keadaan dan suasana ibadah tentunya seseorang lebih jauh dari perkara-perkara yang berhubungan dengan syahwat. Maka bagaimana sekiranya ikhtilath itu terjadi di luar ibadah? Sedangkan setan bergerak dalam tubuh Bani Adam begitu cepatnya mengikuti peredaran darah . Bukankah sangat ditakutkan terjadinya fitnah dan kerusakan besar karenanya?” (Lihat Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 45)<br />
Subhanallah. Padahal wanita para shahabat keluar menghadiri shalat dalam keadaan berhijab syar’i dengan menutup seluruh tubuhnya –karena seluruh tubuh wanita adalah aurat– sesuai perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Ahzab ayat 59 dan An-Nur ayat 31, tanpa melakukan tabarruj karena Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang mereka melakukan hal itu dalam surat Al-Ahzab ayat 33, juga tanpa memakai wewangian berdasarkan larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, dan yang lainnya :<br />
<br />
وَلْيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ<br />
<br />
“Hendaklah mereka keluar tanpa memakai wewangian.”<br />
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang siapa saja dari mereka yang berbau harum karena terkena bakhur untuk untuk hadir shalat berjamaah sebagaimana dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.<br />
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 53:<br />
<br />
وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ<br />
<br />
“Dan jika kalian (para shahabat) meminta suatu hajat (kebutuhan) kepada mereka (istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka mintalah dari balik hijab. Hal itu lebih bersih (suci) bagi kalbu kalian dan kalbu mereka.”<br />
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka berinteraksi sesuai tuntutan hajat dari balik hijab dan tidak boleh masuk menemui mereka secara langsung. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Maka tidak dibenarkan seseorang mengatakan bahwa lebih bersih dan lebih suci bagi para shahabat dan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan bagi generasi-generasi setelahnya tidaklah demikian. Tidak diragukan lagi bahwa generasi-generasi setelah shahabat justru lebih butuh terhadap hijab dibandingkan para shahabat, karena perbedaan yang sangat jauh antara mereka dalam hal kekuatan iman dan ilmu. Juga karena persaksian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para shahabat, baik lelaki maupun wanita, termasuk istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bahwa mereka adalah generasi terbaik setelah para nabi dan rasul, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Demikian pula, dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah menunjukkan berlakunya suatu hukum secara umum meliputi seluruh umat dan tidak boleh mengkhususkannya untuk pihak tertentu saja tanpa dalil.” (Lihat Fatawa An-Nazhar, hal. 11-10)<br />
Pada saat yang sama, ikhtilath itu sendiri menjadi sebab yang menjerumuskan mereka untuk berpacaran, sebagaimana fakta yang kita saksikan berupa akibat ikhtilath yang terjadi di sekolah, instansi-instansi pemerintah dan swasta, atau tempat-tempat yang lainnya. Wa ilallahil musytaka (Dan hanya kepada Allah kita mengadu)<br />
2. Khalwat, yaitu berduaannya lelaki dan wanita tanpa mahram. Padahal Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلىَ النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ<br />
<br />
“Hati-hatilah kalian dari masuk menemui wanita.” Seorang lelaki dari kalangan Anshar berkata: “Bagaimana pendapatmu dengan kerabat suami? ” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mereka adalah kebinasaan.” (Muttafaq ‘alaih, dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu)<br />
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:<br />
<br />
لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ<br />
<br />
“Jangan sekali-kali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali bersama mahram.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)<br />
Hal itu karena tidaklah terjadi khalwat kecuali setan bersama keduanya sebagai pihak ketiga, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma:<br />
<br />
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ<br />
<br />
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa disertai mahramnya, karena setan akan menyertai keduanya.” (HR. Ahmad) <br />
3. Berbagai bentuk perzinaan anggota tubuh yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:<br />
<br />
كُتِبَ عَلىَ ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ: الْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا اْلاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهُ الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهُ الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ<br />
<br />
“Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah(lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara kalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluan lah yang membenarkan atau mendustakan.”<br />
Hadits ini menunjukkan bahwa memandang wanita yang tidak halal untuk dipandang meskipun tanpa syahwat adalah zina mata . Mendengar ucapan wanita (selain istri) dalam bentuk menikmati adalah zina telinga. Berbicara dengan wanita (selain istrinya) dalam bentuk menikmati atau menggoda dan merayunya adalah zina lisan. Menyentuh wanita yang tidak dihalalkan untuk disentuh baik dengan memegang atau yang lainnya adalah zina tangan. Mengayunkan langkah menuju wanita yang menarik hatinya atau menuju tempat perzinaan adalah zina kaki. Sementara kalbu berkeinginan dan mengangan-angankan wanita yang memikatnya, maka itulah zina kalbu. Kemudian boleh jadi kemaluannya mengikuti dengan melakukan perzinaan yang berarti kemaluannya telah membenarkan; atau dia selamat dari zina kemaluan yang berarti kemaluannya telah mendustakan. (Lihat Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, pada syarah hadits no. 16 22)<br />
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br />
<br />
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً<br />
<br />
“Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan nista dan sejelek-jelek jalan.” (Al-Isra`: 32)<br />
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:<br />
<br />
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حِدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ<br />
<br />
“Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum dari besi, maka itu lebih baik dari menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 226)<br />
Meskipun sentuhan itu hanya sebatas berjabat tangan maka tetap tidak boleh. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:<br />
<br />
وَلاَ وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ غَيْرَ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ<br />
<br />
“Tidak. Demi Allah, tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh tangan wanita (selain mahramnya), melainkan beliau membai’at mereka dengan ucapan (tanpa jabat tangan).” (HR. Muslim)<br />
Demikian pula dengan pandangan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam surat An-Nur ayat 31-30:<br />
<br />
قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوْجَهُمْ – إِلَى قَوْلِهِ تَعَلَى – وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ ...<br />
<br />
“Katakan (wahai Nabi) kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari halhal yang diharamkan) –hingga firman-Nya- Dan katakan pula kepada kaum mukminat, hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari hal-hal yang diharamkan)….”<br />
Dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:<br />
<br />
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرِ الْفَجْأَةِ؟ فَقَالَ: اصْرِفْ بَصَرَكَ<br />
<br />
“Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja)? Maka beliau bersabda: ‘Palingkan pandanganmu’.”<br />
Adapun suara dan ucapan wanita, pada asalnya bukanlah aurat yang terlarang. Namun tidak boleh bagi seorang wanita bersuara dan berbicara lebih dari tuntutan hajat (kebutuhan), dan tidak boleh melembutkan suara. Demikian juga dengan isi pembicaraan, tidak boleh berupa perkara-perkara yang membangkitkan syahwat dan mengundang fitnah. Karena bila demikian maka suara dan ucapannya menjadi aurat dan fitnah yang terlarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br />
<br />
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفًا<br />
<br />
“Maka janganlah kalian (para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berbicara dengan suara yang lembut, sehingga lelaki yang memiliki penyakit dalam kalbunya menjadi tergoda dan ucapkanlah perkataan yang ma’ruf (baik).” (Al-Ahzab: 32)<br />
Adalah para wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di sekitar beliau hadir para shahabatnya, lalu wanita itu berbicara kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepentingannya dan para shahabat ikut mendengarkan. Tapi mereka tidak berbicara lebih dari tuntutan hajat dan tanpa melembutkan suara.<br />
Dengan demikian jelaslah bahwa pacaran bukanlah alternatif yang ditolerir dalam Islam untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Menjadi jelas pula bahwa tidak boleh mengungkapkan perasaan sayang atau cinta kepada calon istri selama belum resmi menjadi istri. Baik ungkapan itu secara langsung atau lewat telepon, ataupun melalui surat. Karena saling mengungkapkan perasaan cinta dan sayang adalah hubungan asmara yang mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Demikian pula halnya berkunjung ke rumah calon istri atau wanita yang ingin dilamar dan bergaul dengannya dalam rangka saling mengenal karakter dan sifat masing-masing, karena perbuatan seperti ini juga mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Wallahul musta’an (Allah-lah tempat meminta pertolongan).<br />
Adapun cara yang ditunjukkan oleh syariat untuk mengenal wanita yang hendak dilamar adalah dengan mencari keterangan tentang yang bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya, baik tentang biografi (riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal lainnya yang dibutuhkan untuk diketahui demi maslahat pernikahan. Bisa pula dengan cara meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang seperti istri teman atau yang lainnya. Dan pihak yang dimintai keterangan berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin, meskipun harus membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam kategori ghibah yang tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara yang dikecualikan dari ghibah, meskipun menyebutkan aib seseorang. Demikian pula sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara yang sama.<br />
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Fathimah bintu Qais ketika dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia minta nasehat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau bersabda:<br />
<br />
أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ<br />
<br />
“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya . Adapun Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim)<br />
Para ulama juga menyatakan bolehnya berbicara secara langsung dengan calon istri yang dilamar sesuai dengan tuntunan hajat dan maslahat. Akan tetapi tentunya tanpa khalwat dan dari balik hijab. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (130-129/5 cetakan Darul Atsar) berkata: “Bolehnya berbicara dengan calon istri yang dilamar wajib dibatasi dengan syarat tidak membangkitkan syahwat atau tanpa disertai dengan menikmati percakapan tersebut. Jika hal itu terjadi maka hukumnya haram, karena setiap orang wajib menghindar dan menjauh dari fitnah.”<br />
Perkara ini diistilahkan dengan ta’aruf. Adapun terkait dengan hal-hal yang lebih spesifik yaitu organ tubuh, maka cara yang diajarkan adalah dengan melakukan nazhor, yaitu melihat wanita yang hendak dilamar. Nazhor memiliki aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan yang membutuhkan pembahasan khusus .<br />
Wallahu a’lam.<br />
<br />
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=425 </div><div align="right"><a class="pn-normal" href="http://www.darussalaf.or.id/myprint.php?id=660" target="_blank" title="printer-friendly page"><img src="http://www.darussalaf.or.id/images/print.gif" title="" /></a></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107707680289358732.post-69320412822268735212011-04-17T04:44:00.000-07:002011-04-17T05:12:02.554-07:00Bergaul dengan Akhlak yang Baik<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">Mungkin engkau pernah mendengar atau membaca hadits Abu Dzar Al-Ghifari radhiyAllahu ‘anhu yang menyebutkan sabda sang Rasul ShallAllahu ‘alaihi wa sallam:<br />
اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ<br />
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Susullah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskan kejelekan tersebut, dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad 5/135, 158, 177, At-Tirmidzi no. 1987, dan selain keduanya. Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahihul Jami’ no. 97 dan di kitab lainnya)</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
Hadits ini, kata Asy-Syaikh Al-Allamah Abdurrahman ibnu Nashir As Sa’di rahimahullahu, merupakan hadits yang agung. Di dalamnya, Rasul yang mulia ShallAllahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hak hamba-hamba-Nya. Hak Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-Nya adalah agar mereka bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benar takwa. Mereka berhati-hati dan menjaga diri agar tidak mendapatkan kemurkaan dan azab-Nya, dengan menjauhi perkara-perkara yang dilarang dan menunaikan kewajiban-kewajiban. Wasiat takwa ini merupakan wasiat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada orang-orang terdahulu maupun belakangan. Sebagaimana takwa merupakan wasiat setiap rasul kepada kaumnya, di mana sang rasul menyerukan:</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاتَّقُوهُ</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
“Beribadahlah kalian kepada Allah dan bertakwalah kepada-Nya.” (Nuh: 3)<br />
Tentang perangai orang yang bertakwa ini, </span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan antara lain dalam firman-Nya berikut ini:</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"> وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَءَاتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَءَاتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
“Bukanlah menghadapkan wajah kalian ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil, dan orang-orang yang meminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang orang yang benar imannya dan mereka itulah orang orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 177)</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ. الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanyà, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali ‘Imran: 133-134)</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan sifat orang-orang yang bertakwa sebagai orang yang beriman dengan pokok-pokok keimanan (rukun iman), keyakinan-keyakinan, dan amal-amalnya, baik secara zhahir maupun batin, dengan menunaikan ibadah-ibadah badaniyah (yang dilakukan tubuh) dan maliyah (ibadah dengan harta). Orang yang beriman adalah orang yang sabar dalam kesulitan dan kesempitan, memaafkan manusia, menanggung gangguan dari mereka dengan tabah dan justru berbuat baik kepada mereka. Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang bersegera meminta ampun dan taubat manakala mereka terjatuh dalam perbuatan keji atau menzalimi diri mereka sendiri.<br />
Dalam hadits Abu Dzar radhiyAllahu ‘anhu di atas, Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan agar seorang hamba terus-menerus bertakwa di mana saja dia berada, di setiap waktu dan setiap tempat, serta dalam segala keadaannya. Kenapa demikian? Karena si hamba sangat butuh kepada takwa, tak pernah bisa lepas darinya. Bila sampai lepas, ia akan binasa.</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
Namun yang namanya manusia mesti ada kekurangannya dalam menjalankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban takwa. Maka Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melakukan perkara yang dapat membersihkan cacat tersebut dan menghilangkannya. Yaitu, bila sampai si hamba jatuh dalam kejelekan maka ia bersegera menyusulnya dengan hasanah (kebaikan).</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
Hasanah sendiri adalah nama dari segala perbuatan yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hasanah yang paling agung yang dapat menolak kejelekan adalah taubat nashuha, istighfar, dan inabah (kembali) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mengingat dan mencintai-Nya, takut dan berharap kepada-Nya, serta berambisi untuk meraih keutamaan-Nya pada setiap waktu.</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
Termasuk hasanah yang dapat menolak kejelekan adalah memaafkan manusia, berbuat baik kepada makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala, menolong orang yang sedang ditimpa musibah, memberikan kemudahan bagi orang yang kesulitan, menghilangkan kemadharatan dan kesempitan dari hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ<br />
</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">“Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu akan menghapuskan kesalahan-kesalahan.” (Hud: 114)</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
“Shalat yang lima, Jum’at ke Jum’at, dan Ramadhan ke Ramadhan, merupakan penghapus kesalahan yang dilakukan di antaranya, selama dijauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 233)</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
Banyak lagi dalil lain yang menunjukkan diperolehnya ampunan berkat amalan ketaatan.<br />
Musibah yang menimpa seorang hamba juga merupakan penghapus kesalahan. Karena tidaklah seorang mukmin ditimpa kesedihan, gundah gulana, sakit bahkan sekadar tertusuk duri melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya. Sebagaimana dikabarkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyAllahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 5641) dan Muslim (no. 2753).</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
Musibah itu bisa berupa hilangnya sesuatu yang dicintai, atau terkena sesuatu yang dibenci pada tubuh, hati ataupun harta, baik yang sifatnya di dalam ataupun di luar. Musibah ini bukan sengaja dilakukan hamba terhadap dirinya. Karena itulah Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang yang tertimpa musibah untuk melakukan amalan yang merupakan perbuatannya, dilakukan dengan kesadarannya, yaitu menyusul kejelekan yang terlanjur dilakukan atau kejelekan yang menimpa dirinya dengan kebaikan.<br />
Pada akhirnya Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam berpesan, “Bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.”<br />
Akhlak baik terhadap manusia yang pertama adalah menahan diri dari mengganggu mereka dari segala sisi. Memaafkan keburukan mereka dan gangguan mereka terhadapmu, kemudian engkau bermuamalah dengan mereka dengan muamalah yang baik dalam ucapan maupun perbuatan. Termasuk akhlak baik yang paling khusus adalah sabar menghadapi mereka, tidak jenuh dengan mereka, berwajah cerah, berkata lembut, berucap indah yang menyenangkan teman duduk, memberikan kegembiraan pada teman, menghilangkan rasa tidak enak di hati mereka, dan terkadang memberikan gurauan jika memang ada maslahat. Akan tetapi tidak sepantasnya banyak bergurau atau guyonan. Karena bercanda dalam ucapan seperti garam pada makanan. Kalau tidak ada garam, makanan terasa hambar, namun bila terlalu banyak makanan menjadi asin. Dengan demikian, bila bercanda ini tidak ada atau sebaliknya melebihi batasan, maka menjadi tercela.<br />
Termasuk akhlak yang baik adalah bergaul kepada manusia dengan apa yang pantas bagi mereka dan sesuai dengan keadaannya, dengan memandang apakah orang yang diajak bergaul itu masih kecil atau sudah besar, berakal atau terbelakang, seorang alim ataukah orang yang jahil/bodoh.</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
Sungguh, siapa yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, merealisasikan takwanya dan bergaul baik kepada manusia dengan perbedaan tingkatan mereka berarti ia telah mencapai kebaikan secara keseluruhan, karena ia telah menegakkan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hak para hamba. Juga karena ia termasuk orang yang berbuat ihsan dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berbuat ihsan terhadap hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala.<br />
WAllahu ta’ala a’lam bish-shawab.</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
(Dinukil Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Bahjatu Qulubil Abrar wa Qurratu ‘Uyunil Akhyar fi Syarhi Jawami’il Akhbar, karya Al-’Allamah Abdurrahman ibnu Sa'di rahimahullahu, hal. 48-50)<br />
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=874 </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107707680289358732.post-7026131402573681752011-04-17T04:40:00.000-07:002011-04-17T05:03:05.119-07:00Permata Umat<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">WAHAI SAUDARIKU MUSLIMAH <br />
SELAMATKAN DIRIMU DARI SIKSAAN NERAKA<br />
<br />
Nabi Shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda : <br />
<br />
قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَكَانَ عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا الْمَسَاكِينَ وَأَصْحَابُ الْجَدِّ مَحْبُوسُونَ غَيْرَ أَنَّ أَصْحَابَ النَّارِ قَدْ أُمِرَ بِهِمْ إِلَى النَّارِ وَقُمْتُ عَلَى بَابِ النَّارِ فَإِذَا عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا النِّسَاءُ<br />
<br />
" Aku pernah berdiri di pintu sorga , maka keumuman orang yang memasukinya adalah orang-orang yang miskin , dan orang-orang yang berharta tertahan ( untuk di hisab ) kecuali yang menjadi penduduk neraka , mereka diperintahkan memasuki neraka , dan aku pernah berdiri di pintu neraka , ternyata keumuman orang yang memasukinya adalah kaum wanita " . (1)<br />
<br />
Rasulullah Shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda :<br />
<br />
اطَّلَعْتُ فِي الْجَنَّةِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا الْفُقَرَاءَ وَاطَّلَعْتُ فِي النَّارِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ <br />
" Aku pernah memperhatikan surga , maka aku lihat kebanyakan penduduknya adalah kaum fakir , dan aku pernah memperhatikan neraka , maka aku lihat kebanyakan penduduknya adalah kaum wanita " . (2)<br />
<br />
كَانَ لِمُطَرِّفِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ امْرَأَتَانِ فَجَاءَ مِنْ عِنْدِ إِحْدَاهُمَا فَقَالَتْ الْأُخْرَى جِئْتَ مِنْ عِنْدِ فُلَانَةَ فَقَالَ جِئْتُ مِنْ عِنْدِ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ فَحَدَّثَنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَقَلَّ سَاكِنِي الْجَنَّةِ النِّسَاءُ <br />
<br />
Bahwasanya Mutharrif bin Abdullah memiliki dua istri , ketika dia datang dari sisi salah satu dari keduanya , maka istri yang lain berkata ; engkau datang dari sisi Fulanah , maka dia berkata ; saya datang dari sisi Imron bin Husain , dia telah mengabarkan kepada kami bahwasanya rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda ; " Sesungguhnya penduduk surga yang paling sedikit adalah kaum wanita " .(3)<br />
<br />
Kaum wanita menjadi mayoritas penduduk neraka hanyalah disebabkan perbuatan-perbuatan mereka .<br />
<br />
وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا <br />
<br />
Artinya : " Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun". (QS Al Kahfi : 49) <br />
<br />
Al Imam Al Qurthubi berkata : " Sesungguhnya kaum wanita sebagai minoritas penduduk surga karena dikuasai oleh hawa nafsu , cenderung kepada perhiasan dunia yang sementara , dan berpaling dari akhirat dikarenakan kurangnya akal mereka serta cepat tertipu " .<br />
<br />
Beliau Shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda :<br />
<br />
يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي أُرِيتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ , فَقُلْنَ : وَبِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ , وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ , مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ , قُلْنَ : وَمَا نُقْصَانُ دِينِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ ؟ قُلْنَ : بَلَى . قَالَ : فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا. أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ ؟ قُلْنَ : بَلَى . قَالَ : فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا. <br />
<br />
" Wahai kaum wanita bersedekahlah kalian , sesungguhnya telah diperlihatkan kepadaku bahwa kalian sebagai mayoritas penduduk neraka . Maka mereka ( kaum wanita ) berkata : Disebabkan apa wahai rasulullah ? Beliau berkata : Kalian banyak melaknat , mengingkari kebaikan keluarga ( suami ) , aku tidaklah melihat kaum yang kurang akal dan agamanya, yang dapat menghilangkan akal seorang laki-laki yang kokoh hatinya, selain salah seorang dari kalian . Mereka berkata : apa yang dimaksud dengan kurang agama dan akalnya wahai rasulullah ? Beliau berkata : Bukankah persaksian seorang wanita seperti setengah persaksian seorang laki-laki ? Mereka berkata : benar , maka beliau katakan ; Demikianlah yang menunjukkan kekurangan akalnya . Bukankah jika dia haidh tidak sholat dan tidak puasa ? Mereka berkata ; benar . Beliau berkata : Demikianlah yang menunjukkan kekurangan agamanya ". (4)<br />
<br />
Di dalam hadis ini beliau shalallahu alaihi wasallam memberitakan kepada kita tentang beberapa perbuatan kaum wanita yang menyebabkan mereka menjadi mayoritas penduduk neraka , yaitu :<br />
<br />
- Banyak berkata dengan perkataan yang jelek seperti melaknat dan mencela , dan ini tergolong perbuatan dosa besar .<br />
- Mengingkari kebaikan-kebaikan yang diberikan oleh suami kepadanya yang berarti dia telah kufur nikmat, dan mengkufuri nikmat adalah diharamkan .<br />
- Menjadikan hilangnya akal seorang laki-laki sehingga dia berkata dan berbuat yang tidak pantas untuk menyenangkannya, maka wanita tersebut ikut mendapatkan dosanya .<br />
<br />
Beberapa perbuatan dosa yang lain yang dilakukan banyak kaum wanita di masa kini , diantaranya :<br />
<br />
- Menyerupai kaum laki-laki dalam berpakaian dan berhias , dan ini adalah perbuatan dosa besar karena rasulullah shalallahu alaihi wasallam telah melaknat kaum wanita yang menyerupai kaum laki-laki dan sebaliknya ;<br />
<br />
Beliau Shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda :<br />
<br />
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ<br />
<br />
Rasulullah Shalallahu ‘alahi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai kaum wanita dan wanita yang menyerupai kaum laki-laki (5)<br />
<br />
- Memakai parfum , kemudian melewati majlis kaum laki-laki , sehingga membangkitkan syahwat kaum laki-laki untuk menzina-inya ;<br />
Beliau Shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda :<br />
<br />
كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِالْمَجْلِسِ فَهِيَ كَذَا وَكَذَا يَعْنِي زَانِيَةً <br />
" Setiap mata itu berzina , seorang perempuan yang memakai parfum lalu dia melewati majlis ( laki-laki ) maka dia demikian dan demikian yaitu wanita yang berzina " .(6)<br />
<br />
- Sombong karena fisiknya terlihat indah dan cantik ketika memakai pakaian yang mewah ;<br />
<br />
Nabi Shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda :<br />
<br />
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ <br />
" Tidaklah masuk sorga seseorang yang di dalam hatinya ada sifat kesombongan sebesar biji sawi " .<br />
<br />
- Suka menggibahi saudaranya yang lain , ini termasuk perbuatan dosa besar , sebagaimana yang Allah Ta'ala firmankan :<br />
- <br />
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ <br />
<br />
" Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang " . (QS Al Hujurat : 12)<br />
<br />
- Talawwun ( bermuka dua ) yaitu mendatangi satu kelompok manusia dengan menunjukkan bahwa dirinya bersama mereka dan menyelisihi lawan mereka , dengan maksud membuat kerusakan di antara mereka dan meraih kuntungan untuk dirinya sendiri; lalu mendatangi kelompok yang lain dan menunjukan bahwa dirinya bersama mereka dengan maksud yang sama.<br />
<br />
Nabi Shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda :<br />
<br />
إِنَّ شَرَّ النَّاسِ ذُو الْوَجْهَيْنِ الَّذِي يَأْتِي هَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ وَهَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ<br />
<br />
" Sesungguhnya manusia yang paling jahat adalah seseorang yang memiliki dua muka , yaitu yang mendatangi mereka dengan satu muka dan mendatangi yang lain dengan muka ( yang lain ) " .(7)<br />
<br />
- Bepergian ( safar ) tanpa mahrom , dengan safar demikian ini dirinya tidak aman dari fitnah .<br />
Beliau Shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda :<br />
<br />
لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ , وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ , فَقَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِي جَيْشِ كَذَا وَكَذَا وَامْرَأَتِي تُرِيدُ الْحَجَّ , فَقَالَ : اخْرُجْ مَعَهَا.<br />
<br />
" Janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahromnya , maka ada seorang laki-laki berkata : Wahai rasulullah sesungguhnya saya ingin keluar bergabung dengan tentara ini dan itu , sedangkan istri saya hendak menunaikan haji , maka beliau katakan : " Keluarlah kamu bersamanya (istri)" .<br />
<br />
- Sering masuk ke pasar-pasar padahal tidak ada keperluan ( hajat ) yang mendesak , lalu dia banyak bicara dengan para penjual dan selainnya dari kaum laki-laki sehingga terjadilah fitnah ;<br />
Rasulullah Shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda :<br />
<br />
<br />
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ<br />
<br />
" Wanita adalah aurat , maka jika dia keluar ( dari rumahnya ) syetan menampakkannya indah ( di hadapan laki-laki ) " . (8)<br />
<br />
- Berbaur dengan laki-laki yang bukan mahromnya ( ikhtilath ) dalam suatu ruangan , demikian ini mendatangkan fitnah dan kebinasaan dalam agamanya .<br />
Rasulullah Shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda :<br />
<br />
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ<br />
<br />
" Hati-hatilah kalian dari memasuki kaum wanita , ada seorang laki-laki dari kaum Anshar berkata ; Wahai rasulullah bagaimana pendapat anda tentang ipar . Maka beliau berabda : " Ipar adalah membinasakan " . <br />
<br />
Masih banyak kemungkaran yang lain yang dilakukan oleh kebanyakan kaum wanita yang menyebabkan mereka terjerumus ke dalam neraka. Maka kaum wanita yang menghendaki keselamatan dari adzab Allah Ta'ala, hendaklah menyerahkan diri mereka kepada syariat-Nya , janganlah ikut melakukan kebodohan meskipun banyak wanita yang melakukannya , janganlah ikut melakukan kemaksiatan meskipun banyak kaum wanita berbuat maksiat , janganlah tertipu dengan kebanyakan kaum wanita yang melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.<br />
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :<br />
<br />
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ<br />
<br />
Artinya :" Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) " . (QS Al An'am : 116).<br />
<br />
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ (103) <br />
<br />
Artinya :" Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman - walaupun kamu sangat menginginkannya- " (QS Yusuf : 103 )<br />
<br />
وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ <br />
<br />
Artinya :" Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih".(QS Saba : 13) .<br />
<br />
Jika engkau ( wahai wanita muslimah ) menginginkan kemuliaan di dunia dan di akhirat , yakni keberuntungan dengan meraih surga dan jauh dari adzab neraka , maka laksanakanlah perintah-perintah Allah , jauhilah larangan-larangannya , dan pegangilah Al Kitab dan As Sunnah di atas pemahaman salaf ( pendahulu kita ) yang shalih .<br />
<br />
Dia, Allah Ta'ala berfirman :<br />
<br />
وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ <br />
<br />
Artinya :" Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, Maka Sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus " . (QS Ali Imron : 101 .)<br />
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ (52) <br />
<br />
Artinya : " Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, Maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan " . (QS An Nur : 52)<br />
<br />
وَالَّذِينَ يُمَسِّكُونَ بِالْكِتَابِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ الْمُصْلِحِينَ (170) <br />
<br />
Artinya :" Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan Al kitab ( Al Qur'an ) serta mendirikan shalat, (akan diberi pahala) karena Sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengadakan perbaikan " . (QS Al A'raf : 170 )<br />
<br />
Allah Ta'ala berfirman :<br />
<br />
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ <br />
<br />
Artinya :"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih " . (QS An Nur : 63 )<br />
<br />
Rasulullah Shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda :<br />
<br />
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى<br />
<br />
" Setiap umatku akan masuk sorga kecuali yang enggan memasukinya. Mereka ( para sahabat ) berkata : Wahai rasulullah siapa yang enggan memasukinya ? Beliau berkata : Siapa yang mentaatiku maka dia masuk sorga , dan siapa yang bermaksiat kepadaku berarti dia enggan memasukinya " .(9)<br />
<br />
مَثَلِي وَمَثَلُكُمْ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَوْقَدَ نَارًا فَجَعَلَ الْجَنَادِبُ وَالْفَرَاشُ يَقَعْنَ فِيهَا وَهُوَ يَذُبُّهُنَّ عَنْهَا وَأَنَا آخِذٌ بِحُجَزِكُمْ عَنْ النَّارِ وَأَنْتُمْ تَفَلَّتُونَ مِنْ يَدِي<br />
<br />
" Perumpamaan aku dan kalian seperti seseorang yang menyalakan api , lalu belalang-belalang akan jatuh di dalamnya dan dia berupaya menolaknya dari api ( agar tidak terjatuh ke dalamnya ) . Sementara aku memegangi pinggang kalian dari api neraka ( agar tidak terjatuh ke dalamnya ) , sedangkan kalian terlepas dari pegangan tanganku " .(10)<br />
<br />
وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ <br />
<br />
“Saya tinggalkan dua perkara yang berat(11) kepada kalian, yang pertama dari keduanya adalah Kitab Allah yang mengandung petunjuk dan cahaya, maka ambillah kitab Allah dan pegangilah ia…"(12)<br />
<br />
وَإِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَحَدُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ حَبْلُ اللَّهِ مَنْ اتَّبَعَهُ كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ تَرَكَهُ كَانَ عَلَى ضَلَالَةٍ <br />
<br />
“Ingat dan sesungguhnya saya meninggalkan kepada kalian dua perkara yang berat, yang salah satunya adalah Kitab Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang mana ia adalah tali Allah, barangsiapa yang mengikutinya maka dia di atas petunjuk, dan barangsiapa yang meninggalkannya maka dia di atas kesesatan”.<br />
<br />
Saya memohon kepada Allah agar nasihat ini berguna bagi setiap yang membacanya , sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia .<br />
Shalawat dan salam yang banyak semoga tetap tercurah atas nabi kita Muhamad , atas keluarganya dan sahabatnya .<br />
<br />
سبحانك اللهم وبحمدك , لا إله إلا أنت , أستغفرك و أتوب إليك .<br />
<br />
<br />
<br />
Footnote :<br />
<br />
1 Dikeluarkan oleh Bukhori dan Muslim di dalam " Shahih Keduanya " dari sahabat Utsamah bin Zaid .<br />
<br />
2 Dikeluarkan oleh Bukhori dan Muslim di dalam " Shahih Keduanya " dari sahabat Ibnu Abbas .<br />
<br />
3 Dikeluarkan oleh Muslim di dalam " Shohihnya "<br />
<br />
4 Dikeluarkan oleh Bukhori di dalam " Shohihnya " dari sahabat Abu Sa'id Al Khudri rodhiyallahu anhu , dan Muslim di dalam " Shohihnya " dari sahabat Abdullah bin Umar .<br />
<br />
5Dikeluarkan oleh Bukhori di dalam " Shohihnya " dari Ibnu Abbas rodhiyallahu anhuma .<br />
<br />
6 Diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad , Tirmidzi , Nasai dan Abu Dawud dari sahabat Abu Musa Al Asy'ari , dan Tirmidzi mengatakan hadis hasan sohih dan disohihkan juga oleh Al Imam Ibnu Hibban dan Hakim .<br />
<br />
7 Dkeluarkan oleh Bukhori dan Muslim di dalam " Shohih Keduanya " dari sahabat Abu Hurhairoh radhiyallahu anhu.<br />
<br />
8 Diriwayatkan oleh Tirmidzi di dalam " Sunannya " , dan dia mengatakan hadis hasan yang asing , dan dishohihkan oleh Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah , dan di dalam lafadz keduanya terdapat tambahan pada akhirnya ; " Dan dirinya sangat dekat dengan Wajah Tuhannya ketika di dalam rumahnya " .<br />
<br />
9 Dikeluarkan oleh Bukhori dan Muslim di dalam " Shohih Keduanya " dari sahabat Abu Hurhairoh rhadhiyallahu anhu dengan lafadz yang sedikit berbeda .<br />
<br />
10Dikeluarkan oleh Muslim di dalam " Shahihnya " , dan Al Imam Ahmad di dalam " Musnadnya " dari sahabat Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma .<br />
<br />
1 Kedua perkara ini dinamakan sesuatu yang berat karena agung dan besarnya perkara keduanya atau karena beratnya pengamalan keduanya, Syarah Shohih Muslim An Nawawi.<br />
<br />
2 Dikeluarkan oleh Muslim di dalam " Shahihnya " dari sahabat Zaid bin Arqam rodhiyallahu anhu .<br />
<br />
REFERENSI :<br />
<br />
1- Al Qur'an Al Karim<br />
2- Shohih Bukhori dengan syarahnya Fathul Bari<br />
3- Shohih Muslim dengan syarahnya An Nawawi<br />
4- Sunan Tirmidzi dengan syarahnya Tuhfatul Ahfadzi<br />
5- Sunan Abu Dawud dengan syarahnya Aunul Ma'bud<br />
6- Sunan Nasai<br />
7- Musnad Al Imam Ahmad<br />
8- Shohih Ibnu Hibban<br />
9- Shohih Ibnu Huzaimah<br />
10- Nasihati Linnisa karya Umu Abdillah Al Wadi'iyyah<br />
11- Sab'un Mukholafatan Taqa'u fihan Nisa.</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107707680289358732.post-47912778015154968832011-04-17T04:38:00.001-07:002011-04-17T05:03:46.616-07:00Membasahi Lisan, Menyejukkan Hati<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">Kedamaian hati adalah dambaan setiap jiwa. Ketika hati seseorang terasa tenang dan tentram, maka jiwanya terasa ingin terbang jauh ke angkasa melintasi awan putih, lalu rebah di atasnya dengan penuh rasa bahagia. Dadanya terasa lega dan longgar tanpa ada beban sama sekali. Alangkah bahagianya si pemilik hati yang tentram dan damai.<br />
<br />
Namun kedamaian hati itu bukanlah menghambur-hamburkan uang, mencari ketenangan di tempat-tempat wisata yang terkenal, bar-bar, discotik, mall, dan hotel-hotel yang berbintang. Bukanlah kedamaian itu dengan bersenandung, melantunkan lagu yang bernuansa romantis atau pula mengingat para artis, bintang sepak bola dan para pelawak yang kerjanya Cuma ngelaba di depan lensa cembung.<br />
<br />
Betapa banyak selebritis-selebritis dunia yang mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis, yaitu membunuh dirinya sendiri. Padahal bersamaan dengan hal itu, mereka memiliki kekuasaan, ketenaran dan harta yang melimpah. Namun semua itu tidak dapat memberi kebahagiaan bagi jiwa mereka. Hati mereka meronta ingin lepas dari belenggu –belenggu kehidupan yang fana dan jiwanya terasa kering kerontang tanpa ada setetes embun keimanan yang menyiraminya. Mereka merasa hampa di tengah ramainya kerumunan para penggemarnya. Hal ini disebabkan karena tebalnya dosa yang telah menyelimuti hati. Sebagaimana firman Allah -Azza wa Jalla- ,<br />
<br />
"Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka". (QS. Al-Muthoffifin: 14 ).<br />
<br />
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-,<br />
<br />
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيْئَةً نُكْتَتْ فِيْ قَلْبِهِ نُكْتَةً سَوْدَاءَ, فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيْدَ فِيْهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ<br />
<br />
"Sesungguhnya seorang hamba jika melakukan suatu dosa, maka dosa itu menjadi titik hitam di dalam hatinya. Jika dia bertaubat dan mencabut serta berpaling (dari perbuatannya) maka mengkilaplah hatinya. Jika ia mengulanginya, maka titik hitam itupun bertambah hingga memenuhi hatinya." [HR. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya (3334), dan Ibnu Majah Sunan-nya (4244). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (1620)]<br />
<br />
Allah Yang Maha Penyayang telah memberikan solusi kepada para hamba-Nya untuk membersihkan noda-noda maksiat yang menutupi hati mereka, sehingga hati mereka menjadi suci dan tenang. Kesucian dan kedamaian hati itu akan didapatkan dengan ber-dzikir (ingat) kepada Allah -Subhanahu wa Ta’la-, baik dengan lisan, hati, dan anggota badan.<br />
<br />
Dengan cara inilah seseorang akan merasakan manisnya iman, kebahagiaan hidup dan kedamaian yang tiada taranya. Dimana kedamaian tersebut akan menjadi istana yang megah di dalam hatinya saat suka maupun duka, senang maupun susah, resah dan gelisah; hatinya senantiasa tertambatkan hanya untuk mengingat Allah -Subhanahu wa Ta’la- dan lisannya selalu basah melantunkan lafazh-lafazh yang mulia dengan penuh rasa harap dan takut hanya kepada-Nya. Allah -Subhanahu wa Ta’la- berfirman,<br />
<br />
“(Yaitu) orang -orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah .Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” ((QS. Ar-Ra’d:28 ).<br />
<br />
Dengan senantiasa ber-dzikir (ingat) kepada Allah, maka ketentraman hati, keutamaan dan pahala yang besar telah menanti di depan mata. Inilah amalan yang banyak dilalaikan oleh kebanyakan manusia pada hari ini. Mereka telah disibukkan oleh dunia, pekerjaan dan keluarganya. Padahal amalan ini sangat ringan di lidah namun memiliki keutamaan yang luar biasa.<br />
<br />
Allah –Ta’ala- berfirman,<br />
<br />
“L aki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (mengingat) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” ( QS. Al-Ahzab: 35)<br />
<br />
Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam- bersabda,<br />
<br />
كَلِمَتَانِ خَفِيْفَتَانِ عَلَى اْللِسَانِ ، ثَقِيْلَتَانِ فِيْ المِيْزَانِ ، حَبِيْبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ : سُبْحَانَ اللهِ وَ بِحَمْدِهِ ، سُبْحَانَ اللهِ اْلعَظِيْم<br />
<br />
“Ada dua kalimat yang ringan bagi lisan, tapi berat dalam timbangan, dan dicintai oleh Ar- Rahman (Allah), yaitu subhanallahu wa bihamdihi dan subhanallahil ‘adzhim.”[HR. Al-Bukhari (6404 dan Muslim (6786)].<br />
<br />
Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam- juga bersabda,<br />
<br />
أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ وَ أَزْكَاهَا عِنْدَ مََلِيْكِكُمْ وَ أَرْفَعِهَا فِيْ دَرَجَاتِكُمْ وَ خَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ اْلذَّهَبِ وَ اْلفِضَّةِ وَ خَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوْا أَعْنَاقَهُمْ وَ يَضْرِبُوْا أَعْنَاقَكُمْ؟ قَالُوْا : بَلَى . قَالَ: ذِكْرُ اللهِ تَعَالَى .<br />
<br />
“Maukah kalian aku tunjukkan pada suatu amalan, yang paling baik dan paling suci di sisi Pemilik kalian (yakni, Allah), paling tinggi dalam mengangkat derajat kalian dan lebih baik bagi kalian daripada menginfakkan emas dan perak, serta lebih baik bagi kalian daripada kalian bertemu dengan musuh kalian, lalu kalian memenggal leher-leher mereka dan mereka memenggal leher-leher kalian???” Para sahabat menjawab, ”Tentu, wahai Rasulullah!” Beliau -Shallallahu ‘ Alaih Wa Sallam- bersabda, “(Amalan itu adalah) dzikir kepada Allah.” [HR. At-Tirmidzi (3377) dan Ibnu majah (3790) dan di-shohih-kan oleh syaikh Albaniy dalam Shohihul Jami’ (no. 2629)]<br />
<br />
Dikatakan kepada Abu Darda’ -radhiyallahu anhu-, ”Seorang lelaki telah membebaskan seratus budak.” Beliau -radhiyallahu anhu- mengomentari, ”Seratus budak dari harta seseorang adalah sesuatu yang banyak. Yang lebih utama dari itu adalah keimanan yang senantiasa ada di malam dan siang hari, dan lisan salah seorang diantara kalian yang senantiasa basah karena berdzikir (mengingat) Allah -Azza wa Jalla-”.<br />
<br />
Ibnu Mas’ud-radhiyallahu anhu- berkata, ”Aku bertasbih menyucikan Allah -Azza wa Jalla- beberapa kali lebih aku sukai daripada aku menginfakkan dinar sejumlah itu di jalan Allah”.<br />
<br />
Salman Al-Farisi-radhiyallahu anhu- pernah ditanya, ”Amal apakah yang paling Afdhal?” Beliau -radhiyallahu anhu- menjawab, ”Tidakkah engkau membaca Al-Qur’an:<br />
<br />
“Dan sesungguhnya dzikrullah (mengingat Allah) adalah lebih besar” (QS. Al-Ankabut: 45) . [Lihat Fiqhul Ad’iyah wal Adzkar, karya Syaikh Abdur Razzaq bin Abdil Muhsin Al-Badr (hal. 33-34, dan 38) sebagaimana dalam majalah Asy-Syariah (vol.IV/no.42/1429H/2008)]<br />
<br />
Demikianlah kemurahan dan kemudahan dari Allah bagi umat Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam-. Allah - Subhana Wa Ta’ala- memberi mereka umur yang pendek dibandingkan dengan umat-umat terdahulu, namun mereka diberi amalan yang ringan dan mudah. Amalan yang mudah dan ringan tersebut diberi balasan dengan pahala yang sangat besar. Mereka adalah umat yang terakhir, namun yang pertama masuk ke dalam surga.<br />
<br />
Walaupun keistimewaan umat Islam besarnya seperti ini, tapi banyak orang yang tak menjadikannya sebagai motivasi dalam menambah kesyukuran. Jangankan ber-dzikir, sholat saja ditinggalkan demi dunia yang fana!! Kehidupan dunia terlalu memikat kebanyakan dari mereka. Mata mereka tersilaukan dengan keindahan dan gemerlapnya kehidupan dunia, sehingga membuat mereka lupa dari mengingat Allah yang telah menciptakan, memelihara dan melimpahkan nikmat-Nya yang tak terhitung kepada mereka. Padahal Allah -Azza wa Jalla- telah mengingatkan dalam firman-Nya,<br />
<br />
“ Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi. ” (QS. Al-Munafiqun: 9)<br />
<br />
Ayat di atas dengan jelas mengabarkan bahwa orang yang lalai dari mengingat Allah, ia akan merugi di dunia terlebih lagi di akhirat. Ia akan sangat menyesali waktu yang ia sia-siakan dari berdzikir kepada Allah -Azza wa Jalla- sebagaimana Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam- juga telah mengingatkan,<br />
<br />
مَا مِنْ سَاعَةٍ تَمُرُّ بِابْنِ آدَمَ لاَ يَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى فِيْهَا إِلاَّ تَحَسَّرَ عَلَيْهَا يَوْمَ اْلقِيَامَةِ<br />
<br />
“Tidak ada suatu waktu pun yang terluputkan dari anak adam untuk berdzikir kepada Allah kecuali ia akan menyesali waktu tersebut pada hari kiamat” . [HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (508). Di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam ShahihulJami’ (5720)].<br />
<br />
Pembaca yang mulia, ingatlah bahwa kehidupan dunia akan berakhir dan hari pembalasan kan menjelang. Siapkanlah amal kebaikanmu sebanyak-sebanyaknya selama engkau di dunia ini. Sebab, amal kebaikan itu akan menjadi bekalmu yang akan membantumu dalam meniti perjalanan yang panjang dan berat di akhirat. Janganlah engkau terlena dengan gemerlapnya kehidupan dunia dan janji-janji kosong setan hingga engkau pun termasuk dalam deretan orang-orang yang merugi lagi menyesal. Oleh karenanya, Allah dan Rasul-Nya telah memperingatkan kita untuk memperbanyak amalan shalih selama di dunia. Allah -Azza wa Jalla- telah mengingatkannya dalam firman-Nya,<br />
<br />
“ Supaya jangan ada orang yang mengatakan: "Amat besar penyesalanku atas kelalaianku terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah ). ” (QS. Az-Zumar: 56).<br />
<br />
Ketahuilah, orang yang berpaling dari berdzikir (mengingat) Allah -Subhanahu wa Ta’la-, ia bagaikan mayat yang berjalan di muka bumi; setan akan menjadi pendampingnya serta akan mematikan hatinya. Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda,<br />
<br />
مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ<br />
<br />
”Perumpamaan orang-orang yang berdzikir (mengingat) Rabbnya, dan orang-orang yang tidak berdzikir (mengingat) Rabbnya adalah seperti (orang) yang hidup dan mati." [HR. Al-Bukhari dalam Kitab Ad-Da'awaat (6407)].<br />
<br />
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,<br />
<br />
“ Barangsiapa yang berpaling dari berdzikir kepada Allah yang Maha Pemurah, kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan), maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. ” (QS. Az-Zukhruf: 36).<br />
<br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah-rahimahullah- berkata, ”perandaian dzikir bagi hati adalah seperti air bagi ikan. Apa jadinya keadaan ikan tanpa air ?? ” [Lihat Al-Wabilus Shayyib hal. 84. cet. Daar Ibnul Jauzy].<br />
<br />
Oleh karenanya, seyogyanya bagi kita untuk memperhatikan perkara ini. Sebab, waktu berjalan terus dan catatan amalanpun takkan berhenti. Barangsiapa yang banyak catatan kebaikannya, maka ia adalah orang yang bahagia. Barangsiapa yang banyak catatan amalan kejelekannya, maka ia orang yang merugi lagi celaka. Jika seseorang senantiasa berdzikir, maka Allah tidak akan meninggalkan dan membiarkannya. Sebab Allah -Azza wa Jalla- berfirman,<br />
<br />
“ Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. ” (QS. Qoof: 18).<br />
<br />
Al-Hafizh Ibnu Katsir-rahimahullah- menukilkan perkataan Ibnu Abbas -radhiyallahu anhu- tentang ayat diatas, “Malaikat itu mencatat setiap apa yang di ucapkannya berupa kebaikan ataupun kejelekan.”[Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim (7/308)]<br />
<br />
Marilah kita membasahi lisan-lisan kita dengan dzikrullah agar ketentraman, kedamaian dan keberuntungan senantiasa menyertai kita baik di dunia, maupun di akhirat kelak. Sebab Allah -Azza wa Jalla- berfirman,<br />
<br />
“ Dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung .” (QS. Al-Anfal: 45)<br />
<br />
Ingatlah Allah, niscaya Allah akan mengingatmu. Ingatlah Allah di waktu senangmu, niscaya Allah akan mengingatmu dikala susahmu. Janganlah engkau ragu kepada janji Allah. Sebab, Allah sudah memastikannya dalam firman-Nya,<br />
<br />
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152).<br />
<br />
Pembaca yang budiman, tentunya untuk mengamalkan dzikir-dzikir dalam kehidupan sehari-hari harus yang warid (datang) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah (hadits yang shahih), karena betapa banyak orang-orang yang berdzikir sampai terisak-isak, meraung-raung sambil berlinang air matanya, akan tetapi amalannya sia-sia belaka. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,<br />
<br />
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ<br />
<br />
"Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak pernah kami perintahkan, maka amalan tersebut tertolak". [HR. Muslim]<br />
<br />
<br />
http://almakassari.com/artikel-islam/akhlak/membasahi-lisan-menyejukkan-hati.html</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107707680289358732.post-68842528092041853582011-04-17T04:37:00.001-07:002011-04-17T05:03:05.120-07:00Apa Lagi yang Engkau Tuntut Wahai Wanita?<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">Kehancuran sebuah rumah tangga karena salah satu di antara suami atau istri berbuat selingkuh, rasanya telah menjadi berita yang amat biasa. Bukan hanya terjadi di kalangan selebritis, namun juga banyak terjadi di rumah tangga sekitar kita. Fenomena ini merupakan secuil dari petaka yang muncul karena wanita muslimah tergoda dengan slogan-slogan emansipasi.<br />
<br />
Ibarat sebuah permata yang sangat berharga, ditempatkan di tempat yang bagus, yang tak gampang terjamah. Itulah wanita dalam Islam. Bukan sekedar omong kosong bila kita katakan bahwa wanita benar-benar mendapatkan kemuliaannya dalam Islam. Pembicaraan tentang hal ini telah kita lewati dalam edisi yang lalu. Namun sayangnya banyak orang yang tidak mau menoleh kepada perlakuan istimewa dari agama yang mulia ini, sehingga mereka menengok ke Barat, ingin beroleh konsep bagaimana mengangkat harkat dan martabat wanita ala Barat.<br />
Orang-orang seperti ini biasanya sudah tertular penyakit minder jadi orang Islam. Atau lebih parahnya, fobi bahkan anti terhadap semua yang berbau Islam namun kagum kepada semua yang datang dari Barat, walaupun itu adalah kesesatan yang dipoles dengan bungkus warna-warni. Timbullah kekaguman mereka kepada wanita-wanita di Barat yang bebas berkeliaran mengejar karir di luar rumah sebagaimana lelaki. Berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan lelaki. Diteriakkanlah kepada para wanita agar meniru wanita-wanita Barat, hingga tampaklah akibatnya yang mengerikan ketika gayung bersambut.<br />
Dan hari ini maupun hari-hari sebelumnya, kita telah melihat hasil teriakan tersebut…<br />
Para wanita berseliweran di setiap tempat keramaian, di kantor, di lapangan… Dan ini adalah pemandangan yang biasa setiap harinya. Para wanita itu mengejar dunianya dengan menjunjung setinggi-tingginya slogan emansipasi. <br />
Kalau dulu, para lelaki baik itu ayah, kakek, suami, paman, ataupun saudara laki-laki, demikian cemburu dengan wanitanya bila sampai terlihat oleh lelaki yang bukan mahramnya, namun kita dapati pada hari ini, di zaman kemajuan ini, rasa cemburu sudah ketinggalan kereta. Tak ada lagi tempat untuknya, bukan zamannya lagi. Ayah, suami, paman dan saudara laki-laki membukakan pintu rumah selebar-lebarnya bagi si wanita untuk mengepakkan sayap kebebasan, menurut mereka. <br />
Para lelaki tak lagi cemburu, sementara si wanita tak lagi memiliki rasa malu. Lalu, diayunkannya langkahnya sampai melampaui pagar ‘istana’nya. Selanjutnya dapat kita duga kerusakan apa yang bakal terjadi bila jalan-jalan dan tempat-tempat di luar rumah dipenuhi wanita, bercampur baur dengan lelaki. Ini semua akibat kebodohan dan jauhnya mereka dari agama, kemudian akibat termakan emansipasi.<br />
<br />
Apa itu Emansipasi?<br />
Kami tak bermaksud berbicara panjang lebar tentang emansipasi, karena materi ini akan dibahas secara meluas di majalah kesayangan kita ini dalam edisi-edisi mendatang, Insya Allah. Namun tidak mengapa, kami sedikit menyentil permasalahan ini karena berkaitan dengan pembahasan kami di rubrik ini dalam edisi yang telah lalu.<br />
Kalau ada yang bertanya, apa itu emansipasi? Maka secara praktis kita katakan bahwa yang dimaukan dengan emansipasi oleh para penyerunya adalah upaya mempersamakan wanita dengan lelaki dalam segala bidang kehidupan, baik secara intelektual maupun fisik.<br />
Emansipasi dipandang sebagai kemajuan bagi kaum wanita, yang berarti kebebasan bagi wanita untuk melakukan apa saja yang diinginkan dan menjalani profesi apa saja. Bukan lagi pemandangan aneh bila kita dapati seorang wanita menjadi sopir truk, kondektur, kuli bangunan, tukang parkir, satpam…. Jangan heran bila wanita bisa menjadi perdana menteri, pilot, jenderal bahkan presiden. Walhasil, kalau lelaki bisa unjuk otak dan ototnya dalam segala lapangan penghidupan maka wanita pun dituntut harus bisa dan harus diberi porsi yang sama. Kalau tidak seperti itu, berarti merendahkan wanita dan menginjak hak asasinya!!! Demikian lolongan mereka.<br />
Sesuai atau tidak defenisi emansipasi yang disebutkan di sini dengan defenisi palsu yang mereka –kaum feminis– berikan, tidaklah jadi soal. Yang penting demikianlah kenyataan praktik emansipasi di masyarakat kita. Wallahu a’lam.<br />
<br />
Kapan Muncul Emansipasi?<br />
Tidak terlalu penting untuk kita sebutkan di sini kapan gerakan emansipasi ini muncul untuk pertama kalinya. Yang jelas, gerakan ini pertama kali berbentuk slogan pendidikan akademis bagi kaum wanita. Slogan-slogan itu pada awalnya nampak menarik karena mengusahakan peningkatan kecerdasan dan pengetahuan kaum wanita, agar dapat melahirkan generasi baru yang lebih cakap dan lebih berkualitas.<br />
Tetapi, di kemudian hari setelah tercapainya tujuan pertama, gerakan ini mulai melakukan tipu daya baru yang tentu saja dibungkus dengan kata-kata indah nan menawan, yakni persamaan hak pria dan wanita secara mutlak dan kebebasan karir wanita di segala bidang.<br />
Dengan iming-iming yang menarik ini, tak pelak lagi banyak kaum hawa yang tertipu dan terbawa arus gelombang emansipasi. Bahkan hembusan emansipasi seolah angin sejuk bagi masa depan mereka.<br />
Terlahir di negeri Eropa Barat, emanisipasi jelas mewakili pemikiran bangsa yang sangat jauh dari tuntunan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala ini. Bahkan mereka adalah budak-budak hawa nafsu, kesyirikan, dan kekufuran. Kaum wanita dalam masyarakat penyembah salib tersebut sama sekali tidak mendapatkan perlakuan yang semestinya. Mereka diibaratkan barang yang dapat diperjualbelikan di pasaran, dianggap sebagai sampah dan budak pemuas hawa nafsu. <br />
Para pemuka agama mereka bahkan menyimpulkan bahwa wanita adalah makhluk pembawa kejahatan, musuh keselamatan, penunggu neraka, semata-mata dicipta untuk melayani lelaki, dianggap sejenis hewan yang harus dipukul, dan merupakan tangan dari tangan-tangan setan. Dan masih banyak lagi sebutan dan gelar-gelar jelek yang mereka berikan kepada kaum wanita. Dalam kenyataan buruk seperti itulah dihembuskan ‘angin segar’ emansipasi, agar wanita terlepas dari perbudakan dan perlakuan buruk kaum lelaki. Agar wanita mendapatkan hak asasinya sebagai manusia yang selama ini telah diinjak-injak oleh lelaki.<br />
Bila demikian kenyataan yang melatarbelakangi lahirnya emansipasi, apakah pantas wanita muslimah ikut-ikutan menjayakan gerakan ini sementara ia telah dimuliakan dalam Islam, diberikan perlindungan dan kedudukan mulia? Sungguh kebodohan telah meracuninya. Andai ia tahu kemuliaan yang diberikan Islam padanya…. Kemuliaan yang membuat iri wanita-wanita Barat !!!.<br />
<br />
Racun Emansipasi <br />
Propaganda yang laris manis ini banyak menebarkan racun di tengah masyarakat. Kaum wanita berbondong-bondong menyerbu tiap bidang kehidupan dan lapangan pekerjaan. Tak peduli apakah hal itu sesuai dengan fitrahnya atau tidak. Akibatnya, jumlah pengangguran di kalangan lelaki meningkat karena lapangan pekerjaannya telah direbut oleh wanita.<br />
Dewasa ini tak jarang wanita memasuki bidang-bidang yang ‘berotot’, yang tentunya standar yang dipakai adalah standar yang biasa berlaku pada kaum lelaki, karena memang demikian kebutuhannya. Wanita yang masuk ke bidang ini berarti harus menyesuaikan diri dengan standar yang ada, sementara wanita diciptakan dengan struktur tubuh yang berbeda dengan lelaki. Lalu pekerjaan apa yang dapat diselesaikannya dengan baik? <br />
Sementara itu, di tempat kerjanya wanita tidak jarang menjadi korban pelecehan -lisan maupun tindakan- dari lawan jenisnya, baik dari rekan kerja ataupun atasannya. Nilai wanita jadi begitu rendah, tak lebih sebagai obyek dari pandangan mata-mata nakal. Kehadirannya di tempat kerja tak jarang hanya sebagai ‘penyegar’ suasana. <br />
Kemerosotan akhlak terjadi di kalangan masyarakat dengan lepasnya wanita dari rumahnya. Lelaki jadi terfitnah1 dengan bebasnya wanita berkeliaran di sekitarnya. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: <br />
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ<br />
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnah wanita.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)<br />
Wanita dan lelaki bebas bercampur baur dalam satu tempat tanpa adanya pemisah (ikhtilath). Padahal Islam telah melarang hal ini karena ikhtilath merupakan pintu yang mengantarkan pada perbuatan keji dan mungkar, mendekatkan pada perbuatan zina. Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan: <br />
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً<br />
“Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang amat buruk.” (Al-Isra`: 32)<br />
Gejala lain yang kini terlihat di kalangan mereka yang menjadi korban emansipasi adalah sepinya ikatan pernikahan. Wanita yang sibuk dengan karirnya lebih suka hidup sendiri daripada harus terikat dengan tanggung jawab mengurus suami, rumah dan anak. Terkadang si wanita lebih memilih hidup bebas, dan bergaul dengan lelaki mana saja yang ia inginkan. Na’udzubillah min dzalik (kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari hal itu).<br />
Tuntutan agar wanita meraih pendidikan formal yang tinggi ternyata mengharuskan si wanita mempraktikkan ilmunya di lapangan, walau ia harus meninggalkan suami, anak, dan rumahnya. Karena tuntutan ekonomi yang semakin meningkat, semangat cinta kehidupan dunia berikut perhiasannya semakin meninggi, akhirnya para wanita merasa harus bekerja di luar rumah untuk menambah penghasilan keluarga. Timbullah dilema antara mengurus rumah tangga dengan kepentingan pekerjaannya. Tak jarang mereka menyisihkan urusan rumah tangga. “Bisa diserahkan kepada pembantu,” kata mereka. <br />
Saat ini, terlalu banyak kita dapati anak-anak yang dibesarkan oleh pembantunya, sementara ibunya hanya menjadi pengawas dari jauh. Berbagai masalah timbul karenanya. Anak-anak menjadi nakal karena kurang perhatian. Mereka lari keluar rumah untuk mencari kompensasi, mengais-ngais kasih sayang yang mungkin masih tersisa. <br />
Rumah tangga terbengkalai, suami pun menyeleweng. Si wanita itu sendiri mendapatkan godaan dari kawan sekerja yang lebih tampan menawan daripada suami di rumah. Akibatnya si wanita pun terdorong untuk berbuat serong. Dan akhirnya…. pernikahan berakhir dengan perceraian. Tinggallah anak-anak sebagai korbannya.<br />
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ<br />
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka mau kembali ke jalan yang benar.” (Ar-Rum: 41)<br />
Sebenarnya terlalu banyak dampak emansipasi untuk disebutkan di sini. Cukuplah apa yang telah kami sebutkan sebagai contoh. Yang perlu diingat oleh setiap wanita, bahwa emansipasi sama sekali bukanlah solusi untuk mendapatkan pengakuan masyarakat terhadap dirinya. Karena emansipasi yang lebih dahulu telah diperjuangkan oleh wanita Barat hanya menghasilkan penderitaan yang lebih parah bagi kaum wanita. <br />
Setelah tercapai apa yang menjadi tujuan ternyata timbul akibat yang buruk bagi individu, masyarakat dan generasi penerus. Dilanggarnya tuntunan Islam tanpa rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, dicampakkannya hijab, dibuangnya rasa malu, lahirnya anak yang tak diketahui siapa orang tuanya, perpecahan keluarga, mudahnya kawin cerai, kebebasan hubungan lelaki dan wanita, dan sebagainya menjadikan kehidupan para pelaku serta korban emansipasi dipenuhi stres dan depresi. Wallahul musta’an.<br />
Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari akibat yang diperbuat oleh orang-orang yang jahil dan zalim di antara kita. <br />
Bila sudah seperti ini keadaannya, tidak ada solusi yang lebih tepat kecuali kembali kepada ajaran Islam yang benar. Kembali kepada tuntunan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. <br />
Kembalilah engkau wahai wanita kepada fitrahmu! Lihatlah bagaimana Islam telah memuliakanmu! Pegangilah apa yang diajarkan Nabimu, niscaya kebahagiaan di dua negeri akan kau raih. <br />
Wallahu a’lam.<br />
<br />
1 Yang dimaksud dengan fitnah di sini adalah sesuatu yang membawa kepada ujian, bala, dan adzab.<br />
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=477 </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107707680289358732.post-5940946020295799262011-04-17T04:33:00.000-07:002011-04-17T05:02:36.496-07:00Antara Penghargaan dan HukumanBerhasil mendidik anak, tentu sangat diharapkan oleh orangtua, pengajar, ataupun setiap individu yang berkompeten dalam masalah pendidikan anak. Berbagai kiat ditempuh. Di antaranya dengan memberikan penghargaan dalam keberhasilan dan hukuman dalam kesalahan yang dilakukannya. Namun, sejauh mana langkah ini akan menunjang keberhasilan, kita perlu mendapat bimbingan dari orang-orang yang berilmu. Nukilan tulisan Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hafizhahullah tentang permasalahan ini dari kitab beliau, Nida` ilal Murabbiyyin wal Murabbiyyat, memberikan penjelasan dan faedah yang sangat berharga bagi kita.<br />
<br />
Keberhasilan kita sebagai seorang pendidik tidaklah bersandar pada hukuman fisik. Bahkan hal itu dilakukan seminimal mungkin, sesuai dengan kebutuhan. Pemberian penghargaan justru lebih dikedepankan daripada pemberian hukuman, karena hal ini akan lebih memotivasi anak untuk belajar serta menyemaikan keinginan untuk mendapat tambahan pendidikan dan pengajaran.<br />
<br />
Beda halnya dengan hukuman. Hukuman akan meninggalkan pengaruh buruk dalam jiwa si anak, yang akhirnya justru menjadi penghalang baginya untuk memahami serta mencerna ilmu yang diberikan. Selain itu juga akan mengubur optimisme dan keberaniannya. Betapa banyak terjadi, seorang anak keluar dari sekolah karena melihat beragam kekasaran dan kezhaliman yang dilakukan oleh sebagian gurunya. Lebih dari itu, mereka biasa menyebut gurunya yang keras dan kasar dengan sebutan ‘orang zhalim’.<br />
<br />
Karena itu, hendaknya kita dahulukan segala bentuk pemberian penghargaan sebelum memberikan hukuman, karena sebenarnya inilah asalnya.<br />
<br />
Berbagai Bentuk Penghargaan<br />
<br />
1. Pujian<br />
<br />
Sewajarnya kita memuji anak bila melihatnya berperilaku baik atau bersungguh-sungguh. Kita bisa sampaikan, misalnya, “Bagus, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan berkah kepadamu!” atau “Memang Fulan ini anak yang paling baik!” ataupun ucapan-ucapan baik yang sejenis. Ucapan ini akan memotivasi anak, menguatkan jiwanya, juga memberikan pengaruh yang sangat baik dalam dirinya. Hal ini akan mendorongnya untuk mencintai orang yang mendidiknya. Terbuka pula pikirannya untuk terus belajar.<br />
<br />
Di samping itu, dalam waktu yang sama akan memotivasi anak lain untuk mencontoh si anak yang dipuji dalam adab, perilaku, atau kesungguhannya, agar memperoleh pujian pula. Ini lebih baik daripada memberikan hukuman fisik pada mereka.<br />
<br />
2. Penghargaan secara materi<br />
<br />
Anak memiliki tabiat menyukai hadiah. Biasanya mereka begitu ingin mendapatkannya. Karena itu, layak kiranya jika kita berikan apa yang mereka sukai ini pada kesempatan tertentu.<br />
<br />
Anak yang rajin, berakhlak baik, melaksanakan kewajiban shalat atau perbuatan baik lainnya, kemudian mendapat hadiah, akan merasa gembira dan puas dengan apa yang didapatkannya.<br />
<br />
3. Doa<br />
<br />
Semestinya pula kita berikan motivasi kepada anak yang rajin, beradab atau rajin menegakkan shalat dengan mendoakannya, misalnya kita doakan:<br />
<br />
وَفَّقَكَ اللهُ، أَرْجُو لَكَ مُسْتَقْبَلاً بَاهِرًا<br />
<br />
“Semoga Allah memberikan taufik kepadamu, mudah-mudahan masa depanmu cerah.”<br />
<br />
Kepada seorang anak yang biasa lalai atau berperilaku jelek, kita bisa mendoakan:<br />
<br />
أَصْلَحَكَ اللهُ وَهَدَاكَ <br />
<br />
“Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memperbaiki dirimu dan memberi petunjuk kepadamu.”<br />
<br />
4. Menuliskan namanya di papan<br />
<br />
Jika kita seorang pendidik di sebuah sekolah, kita bisa pula memasang semacam papan pengumuman di tempat yang mudah dilihat. Di situ ditulis nama-nama anak sesuai kelebihannya, baik dalam perilaku, kesungguhan, kebersihan, dan yang lainnya. Pengumuman semacam ini akan menjadi motivasi bagi yang lainnya untuk mencontoh mereka, sehingga nama mereka juga akan ditulis di papan tersebut.<br />
<br />
5. Menunjukkan kebaikannya<br />
<br />
Ketika anak mampu dengan baik menerangkan suatu pelajaran di depan kelas, menyampaikan hafalan, memecahkan suatu soal, atau membacakan salah satu surat Al-Qur`an, kita bisa menepuk bahunya untuk memotivasinya sambil mengatakan:<br />
<br />
بَارَكَ اللهُ فِيْكَ <br />
<br />
“Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi berkah kepadamu!”<br />
<br />
6. Menganggap diri kita bagian dari mereka<br />
<br />
Bila kita ingin memberikan penghargaan pada anak-anak yang memiliki kelebihan, bisa pula dengan menyatakan bahwa kita merupakan bagian dari mereka. Ini akan menjadi penghargaan besar bagi mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:<br />
<br />
لَوْ لاَ الْهِجْرَةُ لَكُنْتُ امْرَأً مِنَ اْلأَنْصَارِ <br />
<br />
“Seandainya bukan karena hijrah, tentu aku akan menjadi salah seorang dari kaum Anshar.” (HR. Al-Bukhari no. 7244)<br />
<br />
7. Wejangan<br />
<br />
Penghargaan pada seorang anak yang baik bisa pula berupa wejangan kepada anak-anak dan pendidik yang lain untuk berbuat baik pada si anak. Ini merupakan motivasi bagi anak itu sendiri maupun bagi anak-anak yang lain, sehingga mereka pun akan mencontoh kesungguhan dan akhlaknya.<br />
<br />
8. Wejangan pada keluarga si anak<br />
<br />
Kita bisa pula menulis surat untuk keluarga anak yang ingin kita berikan penghargaan, berisi kebaikan-kebaikan si anak dan pujian untuknya. Ini akan mendorong keluarganya untuk memperlakukan si anak dengan baik, serta mendorong si anak untuk terus berperilaku terpuji.<br />
<br />
Semestinya pula kita menanyakan, bagaimana akhlak dan perilaku anak-anak di rumahnya, dan penjagaan mereka terhadap shalat lima waktu. Bagi anak laki-laki, tentunya bisa dengan membuat lembaran yang diisi oleh walinya maupun imam masjid, sehingga dapat diketahui penunaian shalat jamaah mereka.<br />
<br />
9. Membantu anak yang kekurangan<br />
<br />
Cara lain yang dapat kita tempuh adalah menyeleksi beberapa anak untuk mengumpulkan sedekah bagi anak lain yang membutuhkan pakaian, bahan makanan, buku-buku, atau alat sekolah. Kita sendiri turut ambil bagian dalam kegiatan ini, agar anak-anak mau mengikuti. Lalu kita sampaikan ucapan terima kasih kepada anak-anak yang telah memberikan bantuan di depan teman-teman mereka untuk memotivasi mereka semuanya, agar nantinya mereka tergerak untuk bersedekah dan memperoleh pahala di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengganti harta yang mereka infakkan. Kita ingatkan pada mereka firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:<br />
<br />
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يًخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ<br />
<br />
“Dan segala sesuatu yang kalian infakkan, maka Allah akan menggantinya, dan Dia sebaik-baik Pemberi rizki.” (Saba`: 39)<br />
<br />
Bisa pula kita sisihkan sebagian infak untuk membeli hadiah bagi anak yang rajin, yang taat pada pengajar maupun orangtuanya, yang bersih pakaiannya, ataupun anak yang baik perilakunya.<br />
<br />
Hukuman Fisik<br />
<br />
Sebaliknya, kita hendaknya menjauhi bentuk-bentuk hukuman fisik, karena ini membahayakan, baik bagi diri si anak ataupun bagi diri kita sendiri. Selain itu juga membuang-buang waktu. Terkadang malah si anak mendapat mudarat karena pukulan yang mengenainya, yang membuahkan ketakutan si anak pada diri kita. Bahkan kadang permasalahannya berkembang lebih jauh, sehingga pendidik yang melakukan hukuman fisik itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan pengadilan serta wali si anak. Semua ini berawal dari hukuman fisik.<br />
<br />
Oleh karena itu, penggunaan hukuman fisik hendaknya dijauhi, kecuali dalam keadaan yang benar-benar memaksa. Misalnya mendidik anak-anak bandel yang tidak mempan dengan cara selain hukuman fisik, atau untuk menjaga kewibawaan serta kelancaran jalannya kegiatan belajar mengajar. Tentu saja setelah didahului dengan nasihat dan pengarahan kepada anak-anak, namun mereka tak juga berhenti. Ini ibarat pepatah Arab, “Obat yang paling akhir diberikan adalah kay1.”<br />
<br />
Bentuk-bentuk Hukuman yang Dilarang<br />
<br />
Jika kita suatu waktu merasa perlu memberikan hukuman pada anak, kita harus menghindari bentuk-bentuk hukuman seperti di bawah ini:<br />
<br />
1. Tamparan<br />
<br />
Tamparan atau pukulan di wajah bisa mengenai mata atau telinga. Bahkan kadang menyebabkan rusaknya salah satu indera. Akibatnya terkadang si pengajar harus menanggung akibat perbuatannya di pengadilan serta membayar ganti rugi. Oleh karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memukul wajah:<br />
<br />
إِذَا ضَرَبَ أَحَدُكُمْ خَادِمَهُ فَلْيَتَّقِ الْوَجْهَ <br />
<br />
“Bila salah seorang di antara kalian memukul pembantunya, hendaknya menghindari memukul wajah.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 130)<br />
<br />
2. Kekerasan yang melampaui batas<br />
<br />
Pengajar yang biasa memberikan pukulan keras bisa jadi akan dijuluki ‘pengajar yang zhalim’ oleh murid-muridnya. Ini cukup menjadi kejelekan bagi dirinya.<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:<br />
<br />
مَنْ يُحْرَمِ الرِّفْقَ يُحْرَمِ الْخَيْرَ <br />
<br />
“Barangsiapa terhalang dari kelembutan, dia akan terhalang dari seluruh kebaikan.” (HR. Muslim no. 2592)<br />
<br />
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ، وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ <br />
<br />
“Sesungguhnya tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu, kecuali pasti menghiasinya. Dan tidaklah kelembutan itu hilang dari sesuatu, kecuali akan menjelekkannya.” (HR. Muslim no. 2594)<br />
<br />
3. Caci-makian<br />
<br />
Caci-makian justru akan membuat anak semakin jauh dan menyimpang. Bahkan bisa jadi nantinya membuat si anak semakin senang berbuat dosa. Anak juga akan ‘belajar’ mencaci-maki, lalu dipraktikkan di hadapan teman sekolahnya atau saudaranya di rumah. Kitalah yang akan bertanggung jawab bila terjadi demikian. Dalam hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ <br />
<br />
“Barangsiapa membuat suatu sunnah yang jelek, maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang ikut melakukannya, tanpa terkurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim no. 1017)<br />
<br />
4. Memukul saat emosi meluap<br />
<br />
Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah mengisahkan, “Aku pernah mencambuk budakku. Tiba-tiba kudengar suara di belakangku, “Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!” Namun aku tak bisa memahami ucapan itu karena emosi. Ketika mendekat, tahulah aku, ternyata itu suara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengatakan, “Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!” Segera kulemparkan cambuk di tanganku. Beliau pun berkata:<br />
<br />
اعْلَمْ أَبَا مَسْعُوْدٍ، أَنَّ اللهَ أَقْدَرُ عَلَيْكَ مِنْكَ عَلَى هَذَا الْغُلاَمِ <br />
<br />
“Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Sesungguhnya Allah lebih mampu memberikan hukuman kepadamu daripada dirimu terhadap budak ini!”<br />
<br />
Aku pun mengatakan, “Aku tak akan lagi memukul budak setelah ini selama-lamanya.” (HR. Muslim no. 1659)<br />
<br />
5. Menendang<br />
<br />
Kadang tendangan mengenai organ tubuh yang penting sehingga membahayakan jiwa anak. Pertanggungjawaban pun dituntut. Akhirnya kesudahannya hanyalah penyesalan di saat tak ada gunanya lagi penyesalan, sementara kita pun tahu bahwa menendang itu bukan perangai manusia.<br />
<br />
6. Kemurkaan<br />
<br />
Kita harus bisa mengendalikan emosi dan memahami kekhasan masa kanak-kanak, sehingga kita bisa memaklumi segala tingkah mereka. Kita pun harus ingat, bagaimana tingkah kita semasa kanak-kanak dulu yang mungkin malah lebih jelek lagi. Dengan begitu, amarah pun akan reda dan kita akan bisa menahan diri.<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:<br />
<br />
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ <br />
<br />
“Orang yang kuat itu bukanlah orang yang menang bergulat, namun orang yang kuat itu yang mampu menguasai dirinya ketika marah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim no. 2609)<br />
<br />
Jangan pula kita menghukum anak ketika amarah memuncak agar tidak menyakiti si anak sehingga berbuntut akibat yang buruk.<br />
<br />
Hukuman yang Mendidik<br />
<br />
Di sana ada bentuk-bentuk hukuman yang mendidik, yang layak kita terapkan. Di antaranya:<br />
<br />
1. Nasihat dan bimbingan<br />
<br />
Ini merupakan metode dasar dalam mendidik dan mengajari anak yang tak dapat ditinggalkan. Metode ini telah ditempuh oleh sang pendidik yang agung (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen.) terhadap anak-anak kecil maupun orang dewasa.<br />
<br />
Penerapan metode ini pada anak-anak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat seorang anak yang tangannya menjelajahi makanan yang terhidang saat itu. Lalu beliau pun mengajarinya tata-cara makan yang benar:<br />
<br />
يَا غُلاَمُ، سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ <br />
<br />
“Nak, sebutlah dulu nama Allah, makan dengan tangan kananmu, dan makan dari makanan yang dekat denganmu.” (HR. Al-Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022)<br />
<br />
Tak seorang pun mengatakan, metode ini hanya memberikan pengaruh yang minim pada anak-anak.<br />
<br />
Adapun nasihat dan bimbingan beliau pada orang-orang yang telah dewasa lebih banyak lagi contoh yang menunjukkan pengaruhnya. Seperti kisah A’rabi yang diceritakan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu: Suatu ketika, kami sedang berada di masjid bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba datang seorang A’rabi, lalu dia berdiri dan buang air kecil di dalam masjid. Para shahabat menyergah, “Hus! Hus!”<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Jangan kalian putuskan kencingnya! Biarkan dia dulu!” Para shahabat pun membiarkannya sampai selesai buang air. Setelah itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil dan menasihatinya:<br />
<br />
إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لاَ تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلاَ القَذَرِ، إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ القُرْآنِ- أَوْ كَمَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.<br />
<br />
“Sesungguhnya masjid-masjid ini tidak pantas untuk buang air kecil ataupun buang kotoran. Masjid-masjid ini hanyalah untuk dzikir kepada Allah, untuk shalat, dan membaca Al-Qur`an.” Atau sebagaimana yang beliau katakan.<br />
<br />
Kemudian beliau menyuruh seseorang untuk mengambil setimba air, lalu dituangkan pada bekas kencing tersebut. (HR. Al-Bukhari no. 219 dan Muslim no. 285)<br />
<br />
2. Wajah masam<br />
<br />
Kadangkala boleh pula kita menunjukkan wajah masam pada anak-anak bila melihat mereka gaduh. Ini lebih baik daripada membiarkan mereka berbuat gaduh, setelah keterlaluan baru memberi hukuman kepada mereka.<br />
<br />
3. Teguran keras<br />
<br />
Biasanya bila kita menegur dengan keras anak yang berbuat salah, dia akan berhenti berbuat kesalahan dan duduk kembali dengan penuh adab. Metode ini diterapkan pula oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat melihat seseorang yang menggiring unta hadyu (hewan kurban bagi jamaah haji) dalam perjalanannya berhaji dan tidak mau menungganginya. Beliau mengatakan, “Tunggangi hewan itu!” Orang itu menyangka bahwa hewan hadyu tidak boleh ditunggangi, hingga ia pun menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini hewan hadyu!” Setelah dua atau tiga kali, akhirnya beliau menghardiknya, “Tunggangi hewan itu! Celaka kamu!” (HR. Al-Bukhari no. 6160 dan Muslim no. 1322)<br />
<br />
4. Menghentikan perbuatan anak<br />
<br />
Jika anak ribut berbicara dalam pelajaran, kita bisa menghentikannya dengan suara keras. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada seseorang yang bersendawa di hadapan beliau:<br />
<br />
كُفَّ عَنَّا جُشَاءَكَ <br />
<br />
“Hentikan sendawamu di hadapan kami!” (HR. At-Tirmidzi no. 2478, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)<br />
<br />
5. Memalingkan wajah<br />
<br />
Ketika anak berbohong, memaksa minta sesuatu yang tak layak, atau berbuat kesalahan yang lain, boleh kita palingkan wajah darinya, agar si anak tahu kemarahan kita dan menghentikan perbuatannya.<br />
<br />
6. Mendiamkan<br />
<br />
Boleh pula kita mendiamkan (tidak berbicara dengan) anak yang melakukan kesalahan seperti meninggalkan shalat, menonton film, atau perbuatan-perbuatan yang tidak beradab lain. Paling lama waktunya tiga hari, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ <br />
<br />
“Tidak halal bagi seorang muslim jika ia mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR. Al-Bukhari no. 6064 dan Muslim no. 2559)<br />
<br />
7. Cercaan<br />
<br />
Jika anak melakukan dosa besar, kita boleh mencercanya bila nasihat dan bimbingan tidak lagi berpengaruh.<br />
<br />
8. Duduk qurfusha`2<br />
<br />
Anak yang malas atau bandel bisa dihukum dengan menyuruhnya duduk qurfusha` sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Posisi seperti ini akan membuatnya capai dan menjadi hukuman baginya. Ini jauh lebih baik daripada kita memukulnya dengan tangan atau tongkat.<br />
<br />
9. Hukuman orangtua<br />
<br />
Bila murid terus-menerus mengulang kesalahannya setelah diberi nasihat, kita bisa menulis surat untuk walinya dan menyerahkan kepada wali untuk menghukumnya. Dengan cara ini, akan sempurna kerjasama antara sekolah dengan keluarga dalam mendidik anak.<br />
<br />
10. Menggantungkan cambuk<br />
<br />
Bisa pula kita gantungkan cambuk di dinding, sehingga anak mudah melihatnya dan merasa takut mendapatkan hukuman. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:<br />
<br />
عَلِّقُوا السَّوْطَ حَيْثُ يَرَاهُ أَهْلُ الْبَيْتِ، فَإِنَّهُ لَهُمْ أَدَبٌ<br />
<br />
“Gantungkanlah cambuk di tempat yang mudah dilihat anggota keluarga, karena demikian ini merupakan pendidikan bagi mereka.” (HR. Ath-Thabarani, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 1447)<br />
<br />
Namun bukanlah yang diinginkan di sini untuk memukul, karena beliau tidak memerintahkan demikian.<br />
<br />
11. Pukulan ringan<br />
<br />
Bila metode lain tidak membuahkan hasil, kita boleh memukul dengan pukulan ringan, terutama ketika memerintahkan mereka menunaikan shalat jika telah berumur sepuluh tahun. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
مُرُوا أُوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ <br />
<br />
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah mereka bila enggan melakukannya pada usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur di antara mereka.” (HR. Ahmad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ish Shaghir no. 5744: “Hadits ini hasan.”)<br />
<br />
Inilah catatan penting bagi kita dalam memberikan hukuman dan penghargaan pada anak. Diiringi doa dan permohonan pada Rabb semesta alam, semoga terwujud keinginan kita agar anak-anak menjadi penyejuk mata.<br />
<br />
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.<br />
<br />
(Dinukil dengan beberapa perubahan dari kitab Nida` ilal Murabbiyyin wal Murabbiyat li Taujihil Banin wal Banat, hal. 83-98)<br />
<br />
1 Kay adalah cara pengobatan menggunakan besi panas yang ditempelkan pada tempat yang sakit.<br />
<br />
2 Duduk qurfusha` adalah duduk dengan menekuk kedua kaki, telapak kaki menempel di tanah dan paha menempel ke perut.<br />
<br />
Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=604Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107707680289358732.post-69605990450672008922011-04-17T04:31:00.001-07:002011-04-17T05:02:36.496-07:00Pukulan Dalam Rangka MendidikMemukul istri tak mesti harus diterjemahkan sebagai “kekerasan dalam rumah tangga”. Karena hal itu kadang justru diperlukan dalam rangka mendidik. Tentu saja di sini tetap diperhatikan batasannya agar tidak melampaui batas.<br />
<br />
Ada kalanya perbaikan satu kesalahan membutuhkan sedikit sikap keras, karena dalam hal ini memang ada tipe manusia yang tidak mau lurus dari penyimpangannya kecuali bila disikapi dengan keras. Ada istri yang tidak mempan dengan nasihat, ia tak jua mau kembali dari kebengkokannya, tetap dalam pembangkangan dan nusyuznya. Tidak pula hajr membawa perubahan pada dirinya. Di saat seperti inilah dibutuhkan cara lain untuk memperbaikinya, yaitu dengan pukulan.<br />
<br />
Dan perbaikan istri dengan cara pukulan ini bukanlah sebagai penghinaan atasnya, bukan pula balas dendam atau penyiksaan. Tapi yang diinginkan di sini adalah pukulan dalam rangka mendidik, memperbaiki dan meluruskan. Pukulan yang dibarengi rasa kasih sayang suami kepada sang istri. Bukan pukulan yang keras hingga membuat istri lari dari suaminya, menumbuhkan kebencian, dan memupus rasa cinta. Sekalipun pukulan ini pahit, namun bagi seorang wanita hancurnya rumah tangga lebih terasa pahit dan menyakitkan.<br />
<br />
Pukulan yang dalam bahasa Arabnya disebut Adh-Dharb dimaknakan oleh para fuqaha dengan makna yang umum, yaitu nama dari suatu perbuatan yang menyakitkan yang ditujukan pada tubuh, baik meninggalkan bekas ataupun tidak, tanpa memerhatikan alat pukul yang digunakan. (Tabyinul Haqa`iq Syarhu Kanzud Daqa`iq, Az-Zailaghi, 3/156)<br />
<br />
Pukulan itu ada yang diistilahkan dharb mubarrih dan ada dharb ghairu mubarrih.<br />
<br />
1. Dharb mubarrih, adalah pukulan yang keras hingga dikhawatirkan akan mematahkan tulang, menghilangkan nyawa, atau mencacati anggota tubuh serta memburukkannya. Pukulan yang seperti ini dilarang oleh syariat dan termasuk perkara yang diharamkan.<br />
<br />
2. Dharb ghairu mubarrih, adalah pukulan ringan yang tidak mengucurkan darah serta tidak dikhawatirkan menimbulkan kebinasaan jiwa atau cacat pada tubuh, patah tulang, dan sebagainya.<br />
<br />
Pukulan jenis kedua ini menurut syariat boleh diberikan kepada istri yang berbuat nusyuz, bermaksiat, dan melakukan pelanggaran syariat, setelah dilakukan mau’izhah dan hajr. (An-Nusyuz, Asy-Syaikh Shalih bin Ghanim As Sadlan, hal. 42)<br />
<br />
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu menjelaskan, bila seorang suami terpaksa memukul istri hendaklah ia memukul dengan pukulan yang ringan sehingga tidak membuat si istri menjauh ataupun dendam kepada suaminya. (Fathul Bari, 9/377)<br />
<br />
Dalil Bolehnya Pukulan<br />
<br />
Dibolehkannya memukul istri yang tidak taat setelah ditempuh cara nasihat dan hajr ini ditunjukkan oleh Al-Qur`an, As Sunnah, ijma’, dan akal.<br />
<br />
Dalam Al-Qur`an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br />
<br />
وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ<br />
<br />
“Dan istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuz mereka maka berilah mau’izhah kepada mereka, boikotlah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka….” (An-Nisa`: 34)<br />
<br />
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar perbaikan istri dimulai pertama kali dengan mau’izhah kemudian dengan hujran. Bila kedua cara ini tidak manjur maka dilakukan pukulan, karena pukulan inilah yang dapat memperbaiki si istri serta membawanya untuk memenuhi hak suami. Pukulan dalam ayat ini adalah pukulan dalam rangka mendidik, bukan pukulan mubarrih. Pukulan yang tidak memecahkan tulang dan tidak menjelekkan anggota tubuh seperti dengan meninju dan semisalnya. Karena tujuan dari pukulan di sini adalah untuk perbaikan, bukan yang selainnya. Sehingga tidak disangsikan lagi, bila pukulan yang dilakukan oleh sang suami mengantarkan kepada kebinasaan istrinya, wajib baginya menanggungnya.” (Tafsir Al-Qurthubi, 5/112)<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda saat menyampaikan khutbah dalam haji Wada`:<br />
<br />
فَاتَّقُوا اللهَ فِي النِّسَاءِ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ، وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ، وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُوْنَهُ، فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ<br />
<br />
“Bertakwalah kalian kepada Allah dalam perkara para wanita (istri), karena kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seseorang yang kalian benci untuk menginjak (menapak) di hamparan (permadani) kalian. Jika mereka melakukan hal tersebut1 maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras.” (HR. Muslim no. 2941)<br />
<br />
Semula, Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertitah:<br />
<br />
لاَ تَضْرِبُوا إِمَاءَ اللهِ<br />
<br />
“Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah.”<br />
<br />
Datanglah Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu menghadap beliau sembari mengadu:<br />
<br />
ياَ رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ النِّسَاءَ ذَئِرْنَ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ<br />
<br />
“Wahai Rasulullah! Sungguh para istri telah berbuat durhaka kepada suami-suami mereka.”<br />
<br />
Mendengar pengaduan ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi izin kepada para suami untuk memukul istri mereka. Namun ternyata setelahnya banyak wanita datang menemui istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam guna mengadukan suami-suami mereka. Maka kata beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:<br />
<br />
لَقَدْ طَافَ بِآلِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيْرٌ يَشْكُوْنَ أَزْوَاجَهُنَّ، لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ<br />
<br />
“Sungguh banyak wanita berkeliling di keluarga Muhammad guna mengadukan suami-suami mereka. Bukanlah para suami yang memukul istri dengan keras itu orang yang terbaik di antara kalian.” (HR. Abu Dawud no. 2145, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)<br />
<br />
Kata Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka bukanlah orang yang terbaik, karena suami yang terbaik tidak akan memukul istrinya. Justru ia bersabar dengan kekurangan yang ada pada istrinya. Kalaupun ia ingin memberi (pukulan) “pendidikan” kepada istrinya, ia tidak akan memukulnya dengan keras yang akan membuatnya mengadu/mengeluh. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fi Dharbin Nisa`)<br />
<br />
Dalam Al-Ifshah disebutkan bahwa ulama sepakat tentang bolehnya seorang suami memukul istrinya bila berbuat nusyuz setelah sebelumnya dinasihati dan di-hajr.<br />
<br />
Dengan demikian, pensyariatan memukul istri bukan perkara yang diingkari oleh akal atau fitrah. Bahkan pukulan diperlukan manakala terjadi kerusakan dalam rumah tangga dan terjadi pelanggaran akhlak. Namun pukulan dilakukan hanyalah bila suami memandang si istri akan menyesal dan bertaubat dari kesalahannya bila dipukul. Dan yang perlu diingat selalu, seorang suami diperintah untuk berlaku lembut kepada istrinya, tidak menzhaliminya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br />
<br />
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا<br />
<br />
“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut. Bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan:<br />
<br />
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ<br />
<br />
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284)<br />
<br />
Yang Patut Jadi Perhatian!<br />
<br />
Islam menetapkan batasan-batasan dan syarat-syarat dalam pelaksanaan pukulan sehingga tidak keluar dari tujuan pembolehannya yaitu untuk memperbaiki, meluruskan, dan mendidik. Bukan untuk membalas dendam, menghinakan dan merendahkan. Pukulannya pun harus pukulan yang tidak keras. Dengan menggunakan sapu tangan misalnya, atau dengan siwak2, dengan tangan ataupun dengan tongkat yang ringan. Tidak boleh melampaui batas, tidak boleh sampai mengucurkan darah, mematahkan tulang, merusak anggota tubuh dan tidak diperkenankan memukul bagian tubuh yang merupakan tempat kebagusan, keindahan, dan kecantikan si istri seperti daerah wajahnya.<br />
<br />
Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
لاَ يَجْلِدْ أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ جِلْدَ الْعَبْدِ ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِي آخِرِ الْيَوْمِ<br />
<br />
“Janganlah salah seorang dari kalian mencambuk istrinya seperti mencambuk seorang budak, kemudian ternyata di akhir hari ia menggauli istrinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5204 dan Muslim no. 7120)<br />
<br />
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Dalam hadits ini ada larangan memukul istri tanpa alasan terpaksa untuk memberi ‘pendidikan’.” (Al-Minhaj, 17/186)<br />
<br />
Dengan demikian, seorang suami yang berakal tidak akan berlebih-lebihan dalam memukul istrinya, kemudian beberapa waktu setelahnya ia menggaulinya. Karena jima’ hanyalah baik dilakukan bila disertai kecondongan jiwa dan keinginan untuk bergaul dengan baik. Sementara orang yang dipukul secara umum akan menjauh dari orang yang memukulnya. (Fathul Bari, 9/377)<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan kepada shahabatnya, Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu, ketika mengadukan kejelekan lisan istrinya:<br />
<br />
لاَ تَضْرِبْ ظَعِيْنَتَكَ كَضَرْبِكَ أُمَيَّتَكَ<br />
<br />
“Janganlah engkau memukul istrimu seperti memukul budak perempuanmu.” (Penggalan dari hadits yang diriwayatkan Abu Dawud no. 142, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)<br />
<br />
Larangan memukul wajah disebutkan dalam hadits berikut ini:<br />
<br />
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ<br />
<br />
“Janganlah engkau memukul wajah (istrimu), jangan menjelekkannya3, dan jangan memboikotnya (mendiamkannya) kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud no. 2142 dan selainnya, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/86)<br />
<br />
Demikian juga hadits:<br />
<br />
إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ أَخاَهُ فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ<br />
<br />
“Apabila salah seorang dari kalian memukul saudaranya4 maka hendaknya ia menjauhi wajah.” (HR. Muslim no. 6594)<br />
<br />
Dalam riwayat lain:<br />
<br />
فلاَ يَلْطِمَنَّ الْوَجْهَ<br />
<br />
“…maka jangan sekali-kali ia menampar wajah.” (HR. Muslim no. 6597)<br />
<br />
Al-Imam Al-Qasimi rahimahullahu berkata, “Para fuqaha mengatakan, ‘Dharban ghaira mubarrih adalah pukulan yang tidak melukai si istri, tidak mematahkan tulangnya, tidak membuat bekas yang jelek pada tubuhnya dan tidak boleh diarahkan pada wajah karena wajah tempat terkumpulnya kecantikan. Pukulan tersebut juga harus berpencar pada tubuhnya (tidak diarahkan hanya pada satu tempat, pent.). Tidak boleh satu tempat dipukul terus menerus, agar tidak menimbulkan bahaya yang besar pada bagian tubuh tersebut. Di antara fuqaha ada yang menyatakan, ‘Sepantasnya pukulan dilakukan dengan menggunakan sapu tangan yang dililit atau dengan tangan si suami, tidak boleh dengan cambuk dan tongkat.’ ‘Atha` berkata, ‘Pukulan dengan siwak (ranting)’.” (Tafsir Al-Qasimi, 3/104)<br />
<br />
Bila si istri telah menaati suaminya, tak ada celah bagi sang suami untuk menyakiti istrinya.<br />
<br />
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا<br />
<br />
“Namun bila kemudian mereka menaati kalian, tidak boleh bagi kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (An-Nisa`: 34)<br />
<br />
Maksudnya, bila mereka tidak lagi berbuat nusyuz setelah diberikan “pendidikan” ini dengan kembali taat dalam seluruh perkara yang diinginkan dari mereka sebatas yang dibolehkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka setelah itu tidak ada jalan bagi para suami untuk mencela mereka dan menyakiti dengan pukulan dan hujran.<br />
<br />
إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا<br />
<br />
“Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”, maka hati-hatilah kalian, takutlah kepada-Nya. Ayat ini merupakan ancaman kepada para suami dari melakukan kezhaliman terhadap para istri tanpa ada sebab. Karena para wanita tidak punya kemampuan untuk menolak kezhaliman kalian dan lemah untuk membela diri terhadap kalian. Karenanya, ingatlah Allah Maha Tinggi, Maha Memaksa, Maha Besar, dan Maha Mampu untuk bisa memberikan balasan kepada orang yang menzhalimi para wanita dan berbuat melampaui batas terhadap mereka. Maka janganlah kalian tertipu dengan keberadaan kalian yang lebih tinggi/lebih berkuasa daripada mereka dan lebih besar derajatnya dibanding mereka. Karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih tinggi dan lebih mampu daripada kalian terhadap mereka. Ditutupnya ayat yang mulia ini dengan dua nama, العَلِيُّ الْكَبِيْرُ, Maha Tinggi dan Maha Besar, sangatlah tepat. (Tafsir Al-Qasimi, 3/105)<br />
<br />
Cukuplah seorang suami meluruskan istrinya dengan jiwa yang bersih, terlepas dari hawa nafsu dan kebencian. Terlepas dari pembalasan dendam dan permusuhan. Yang demikian itu dapat menjadi penjamin hilangnya “penyakit” dan cepatnya “kesembuhan.” (An-Nusyuz, hal. 46)<br />
<br />
Syubhat dan Bantahan<br />
<br />
Musuh-musuh Islam tak henti-hentinya melekatkan citra buruk terhadap Islam karena agama ini membolehkan memukul istri di mana mereka menganggap hal itu sebagai penghinaan kepada kaum wanita. Maka kita katakan kepada mereka, “Memang syariat Islam membolehkan memukul istri. Akan tetapi perlu ditanyakan kapan pukulan dibolehkan? Dan kepada siapa?”<br />
<br />
Tentunya pukulan dilakukan bila tidak didapatkan lagi cara lain. Nasihat dan hajr sudah tidak bisa mengembalikan si istri dari maksiatnya. Bila demikian, manakah yang lebih baik: membiarkan si istri dalam penyimpangannya, berbolak balik dalam kerusakan dan kemungkaran, yang pada akhirnya akan menggoncangkan rumah tangga dan memecah belah keutuhannya? Ataukah mengambil tangannya untuk dituntun kepada kebaikan? Bila tidak bisa dinasihati dengan baik-baik maka di-hajr. Jika tidak berpengaruh juga maka barulah ‘diobati’ dengan pukulan. Manakah yang lebih baik, si istri dipukul dengan pukulan ringan untuk mengembalikannya kepada kelurusan, ataukah membiarkannya hingga akhirnya diambil keputusan cerai yang dengannya akan tercerai berailah keutuhan keluarga? (An-Nusyuz, hal. 47)<br />
<br />
Wallahul musta’an, jawabannya tentu jelas bagi orang yang berpandangan lurus dan dapat berpikir dengan sehat.<br />
<br />
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.<br />
<br />
1 Mempersilakan orang yang tidak kalian sukai masuk dan duduk di dalam rumah kalian, baik orang itu laki-laki ajnabi (bukan mahram istri), atau wanita, atau salah seorang dari mahram istri. Hukum masalah ini menurut fuqaha, kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, adalah tidak halal bagi istri mengizinkan seorang lelaki atau seorang wanita, seorang mahram ataupun bukan mahramnya, untuk masuk ke rumah suaminya, kecuali orang yang sepengetahuannya atau menurut keyakinannya tidak dibenci oleh suaminya. Karena memang hukum asal dalam hal ini adalah haramnya masuk ke rumah seseorang hingga ada izin/perkenan dari yang punya rumah atau orang yang diberi kepercayaan untuk memberi izin, atau diketahui bahwa si empunya rumah ridha menurut kebiasaan yang ada dan semisalnya. Kalau timbul keraguan, apakah si empunya ridha atau tidak serta tidak bisa dikuatkan salah satunya, tidak pula didapatkan tanda-tanda atau petunjuk, maka tidak halal masuk ke rumahnya dan tidak boleh pula diberikan izin. Wallahu a’lam. (Al-Minhaj, 8/413)<br />
<br />
2 ‘Atha` rahimahullahu berkata, “Aku berkata kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Apa yang dimaksud pukulan ghairul mubarrih?” Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjawab, “Memukul dengan siwak dan semisalnya.” (Tafsir Al-Qurthubi, 5/113)<br />
<br />
3 Yakni mengucapkan pada istri ucapan yang buruk, mencaci makinya atau mengatakan padanya, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelekkanmu”, atau yang semisalnya. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fi Haqqil Mar`ah ‘ala Zaujiha)<br />
<br />
4 Memukul anaknya atau istrinya atau orang lain karena suatu sebab yang dibolehkan.<br />
<br />
<br />
Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=603Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107707680289358732.post-38721405787735948382011-03-18T08:20:00.001-07:002011-03-18T08:22:36.038-07:00Prinsip-Prinsip Mengkaji Agama<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">Menuntut ilmu agama tidak cukup bermodal semangat saja. Harus tahu pula rambu-rambu yang telah digariskan syariat. Tujuannya agar tidak bingung menghadapi seruan dari banyak kelompok dakwah. Dan yang paling penting, tidak terjatuh kepada pemahaman yang menyimpang! <br />
<br />
Dewasa ini banyak sekali ‘jalan’ yang ditawarkan untuk mempelajari dienul Islam. Masing-masing pihak sudah pasti mengklaim jalannya sebagai yang terbaik dan benar. Melalui berbagai cara mereka berusaha meraih pengikut sebanyak-banyaknya. Lihatlah sekeliling kita. Ada yang menawarkan jalan dengan memenej qalbunya, ada yang mengajak untuk ikut hura-huranya politik, ada yang menyeru umat untuk segera mendirikan Khilafah Islamiyah, ada pula yang berkelana dari daerah satu ke daerah lain mengajak manusia ramai-ramai ke masjid. <br />
<br />
Namun lihat pula sekeliling kita. Kondisi umat Islam masih begini-begini saja. Kebodohan dan ketidakberdayaan masih menyelimuti. Bahkan sepertinya makin bertambah parah. <br />
Adakah yang salah dari tindakan mereka? Ya, bila melihat kondisi umat yang semakin jatuh dalam kegelapan, sudah pasti ada yang salah. Mengapa mereka tidak mengajak umat untuk kembali mempelajari agamanya saja? Mengapa mereka justru menyibukkan umat dengan sesuatu yang berujung kesia-siaan? <br />
<br />
Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai pewaris Nabi selalu berusaha mengamalkan apa yang diwasiatkan Rasulullah untuk mengajak umat kembali mempelajari agamanya. Dalam berbagai hal, Ahlussunnah tidak akan pernah keluar dari jalan yang telah digariskan oleh Nabi . Lebih-lebih dalam mengambil dan memahami agama di mana hal itu merupakan sesuatu yang sangat asasi pada kehidupan. Inilah yang sebenarnya sangat dibutuhkan umat. <br />
<br />
Berikut kami akan menguraikan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah dalam mengkaji agama, namun kami hanya akan menyebutkan hal-hal yang sangat pokok dan mendesak untuk diungkapkan. Tidak mungkin kita menyebut semuanya karena banyaknya sementara ruang yang ada terbatas. <br />
<br />
Makna Manhaj <br />
<br />
Manhaj dalam bahasa Arab adalah sebuah jalan terang yang ditempuh. Sebagaimana dalam firman Allah: <br />
<br />
“Dan kami jadikan untuk masing-masing kalian syariat dan minhaj.” (Al-Maidah: 48) <br />
<br />
Kata minhaj , sama dengan kata manhaj . Kata minhaj dalam ayat tersebut diterangkan oleh Imam ahli tafsir Ibnu Abbas, maknanya adalah sunnah. Sedang sunnah artinya jalan yang ditempuh dan sangat terang. Demikian pula Ibnu Katsir menjelaskan (lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/67-68 dan Mu’jamul Wasith). <br />
<br />
Yang diinginkan dengan pembahasan ini adalah untuk menjelaskan jalan yang ditempuh Ahlussunnah dalam mendapatkan ilmu agama. Dengan jalan itulah, insya Allah kita akan selamat dari berbagai kesalahan atau kerancuan dalam mendapatkan ilmu agama. Inilah rambu-rambu yang harus dipegang dalam mencari ilmu agama: <br />
<br />
1. Mengambil ilmu agama dari sumber aslinya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. Allah berfirman: <br />
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan jangan kalian mengikuti para pimpinan selain-Nya. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya.” (Al-A’raf: 3) <br />
Dan Rasulullah bersabda: <br />
“Ketahuilah bahwasanya aku diberi Al Qur’an dan yang serupa dengannya bersamanya.” (Shahih, HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Miqdam bin Ma’di Karib. Lihat Shahihul Jami’ N0. 2643) <br />
<br />
2. Memahami Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih yakni para sahabat dan yang mengikuti mereka dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sebagaimana sabda Nabi : <br />
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian yang setelah mereka kemudian yang setelah mereka.” (Shahih, HR Bukhari dan Muslim) <br />
<br />
Kebaikan yang berada pada mereka adalah kebaikan yang mencakup segala hal yang berkaitan dengan agama, baik ilmu, pemahaman, pengamalan dan dakwah. <br />
<br />
Ibnul Qayyim berkata: “Nabi mengabarkan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasinya secara mutlak. Itu berarti bahwa merekalah yang paling utama dalam segala pintu-pintu kebaikan. Kalau tidak demikian, yakni mereka baik dalam sebagian sisi saja maka mereka bukan sebaik-baik generasi secara mutlak.” (lihat Bashair Dzawis Syaraf: 62) <br />
Dengan demikian, pemahaman mereka terhadap agama ini sudah dijamin oleh Nabi. Sehingga, kita tidak meragukannya lagi bahwa kebenaran itu pasti bersama mereka dan itu sangat wajar karena mereka adalah orang yang paling tahu setelah Nabi. Mereka menyaksikan di mana dan kapan turunnya wahyu dan mereka tahu di saat apa Nabi mengucapkan hadits. Keadaan yang semacam ini tentu sangat mendukung terhadap pemahaman agama. Oleh karenanya, para ulama mengatakan bahwa ketika para shahabat bersepakat terhadap sesuatu, kita tidak boleh menyelisihi mereka. Dan tatkala mereka berselisih, maka tidak boleh kita keluar dari perselisihan mereka. Artinya kita harus memilih salah satu dari pendapat mereka dan tidak boleh membuat pendapat baru di luar pendapat mereka. <br />
<br />
Imam Syafi’i mengatakan: “Mereka (para shahabat) di atas kita dalam segala ilmu, ijtihad, wara’ (sikap hati-hati), akal dan pada perkara yang mendatangkan ilmu atau diambil darinya ilmu. Pendapat mereka lebih terpuji dan lebih utama buat kita dari pendapat kita sendiri -wallahu a’lam- … Demikian kami katakan. Jika mereka bersepakat, kami mengambil kesepakatan mereka. Jika seorang dari mereka memiliki sebuah pendapat yang tidak diselisihi yang lain maka kita mengambil pendapatnya dan jika mereka berbeda pendapat maka kami mengambil sebagian pendapat mereka. Kami tidak akan keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan.” (Al-Madkhal Ilas Sunan Al-Kubra: 110 dari Intishar li Ahlil Hadits: 78]. <br />
<br />
Begitu pula Muhammad bin Al Hasan mengatakan: “Ilmu itu empat macam, pertama apa yang terdapat dalam kitab Allah atau yang serupa dengannya, kedua apa yang terdapat dalam Sunnah Rasulullah atau yang semacamnya, ketiga apa yang disepakati oleh para shahabat Nabi atau yang serupa dengannya dan jika mereka berselisih padanya, kita tidak boleh keluar dari perselisihan mereka …, keempat apa yang diangap baik oleh para ahli fikih atau yang serupa dengannya. Ilmu itu tidak keluar dari empat macam ini.” (Intishar li Ahlil Hadits: 31) <br />
<br />
Oleh karenanya Ibnu Taimiyyah berkata: “Setiap pendapat yang dikatakan hanya oleh seseorang yang hidup di masa ini dan tidak pernah dikatakan oleh seorangpun yang terdahulu, maka itu salah.” Imam Ahmad mengatakan: “Jangan sampai engkau mengeluarkan sebuah pendapat dalam sebuah masalah yang engkau tidak punya pendahulu padanya.” (Majmu’ Fatawa: 21/291) <br />
<br />
Hal itu -wallahu a’lam- karena Nabi bersabda: <br />
“Sesungguhnya Allah melindungi umatku untuk berkumpul di atas kesesatan.” (Hasan, HR Abu Dawud no:4253, Ibnu Majah:395, dan Ibnu Abi Ashim dari Ka’b bin Ashim no:82, 83 dihasankan oleh As Syaikh al Albani dalam Silsilah As- Shahihah:1331] <br />
Jadi tidak mungkin dalam sebuah perkara agama yang diperselisihkan oleh mereka, semua pendapat adalah salah. Karena jika demikian berarti mereka telah berkumpul di atas kesalahan. Karenanya pasti kebenaran itu ada pada salah satu pendapat mereka, sehingga kita tidak boleh keluar dari pendapat mereka. Kalau kita keluar dari pendapat mereka, maka dipastikan salah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah di atas. <br />
<br />
3. Tidak melakukan taqlid atau ta’ashshub (fanatik) madzhab. Allah berfirman: <br />
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya).” (Al-A’raf: 3) <br />
<br />
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7) <br />
<br />
Dengan jelas ayat di atas menganjurkan untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah baik berupa Al Qur’an atau hadits. Maka ucapan siapapun yang tidak sesuai dengan keduanya berarti harus ditinggalkan. Imam Syafi’i mengatakan: “Kaum muslimin bersepakat bahwa siapapun yang telah jelas baginya Sunnah Nabi maka dia tidak boleh berpaling darinya kepada ucapan seseorang, siapapun dia.” (Sifat Shalat Nabi: 50) <br />
<br />
Demikian pula kebenaran itu tidak terbatas pada pendapat salah satu dari Imam madzhab yang empat. Selain mereka, masih banyak ulama yang lain, baik yang sezaman atau yang lebih dulu dari mereka. Ibnu Taimiyah mengatakan: “Sesungguhnya tidak seorangpun dari ahlussunnah mengatakan bahwa kesepakatan empat Imam itu adalah hujjah yang tidak mungkin salah. Dan tidak seorangpun dari mereka mengatakan bahwa kebenaran itu terbatas padanya dan bahwa yang keluar darinya berarti batil. Bahkan jika seorang yang bukan dari pengikut Imam-imam itu seperti Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’i, Al Laits bin Sa’ad dan yang sebelum mereka atau Ahlul Ijtihadyang setelah mereka mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi pendapat Imam-imam itu, maka perselisihan mereka dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan pendapat yang paling kuat adalah yang berada di atas dalil.” (Minhajus Sunnah: 3/412 dari Al Iqna’: 95). <br />
<br />
Sebaliknya, ta’ashshub (fanatik) pada madzhab akan menghalangi seseorang untuk sampai kepada kebenaran. Tak heran kalau sampai ada dari kalangan ulama madzhab mengatakan: “Setiap hadits yang menyelisihi madzhab kami maka itu mansukh (terhapus hukumnya) atau harus ditakwilkan (yakni diarahkan kepada makna yang lain).” <br />
<br />
Akhirnya madzhablah yang menjadi ukuran kebenaran bukan ayat atau hadits. Bahkan ta’ashub semacam itu membuat kesan jelek terhadap agama Islam sehingga menghalangi masuk Islamnya seseorang sebagaimana terjadi di Tokyo ketika beberapa orang ingin masuk Islam dan ditunjukkan kepada orang-orang India maka mereka menyarankan untuk memilih madzhab Hanafi. Ketika datang kepada orang-orang Jawa atau Indonesia mereka menyarankan untuk memilih madzhab Syafi’i. Mendengar jawaban-jawaban itu mereka sangat keheranan dan bingung sehingga sempat menghambat dari jalan Islam [Lihat Muqaddimah Sifat Shalat Nabi hal: 68 edisi bahasa Arab) <br />
<br />
4. Waspada dari para da’i jahat. Jahat yang dimaksud bukan dari sisi kriminal tapi lebih khusus adalah dari tinjauan keagamaan. Artinya mereka yang membawa ajaran-ajaran yang menyimpang dari aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, sedikit atau banyak. Di antara ciri-ciri mereka adalah yang suka berdalil dengan ayat-ayat yang belum begitu jelas maknanya untuk bisa mereka tafsirkan semau mereka. Dengan itu mereka maksudkan menebar fitnah yakni menyesatkan para pengikutnya. Allah berfirman: <br />
“Adapun yang dalam hatinya terdapat penyelewengan (dari kebenaran) maka mereka mengikuti apa yang belum jelas dari ayat-ayat itu, (mereka) inginkan dengannya fitnah dan ingin mentakwilkannya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah.” (Ali-Imran: 7) <br />
<br />
Ibnu Katsir mengatakan: “Menginginkan fitnah artinya ingin menyesatkan para pengikutnya dengan mengesankan bahwa mereka berhujjah dengan Al Qur’an untuk (membela) bid’ah mereka padahal Al Qur’an itu sendiri menyelisihinya. Ingin mentakwilkannya artinya menyelewengkan maknanya sesuai dengan apa yang mereka inginkan.” (Tafsir Ibnu Katsir: 1/353] <br />
<br />
5. Memilih guru yang dikenal berpegang teguh kepada Sunnah Nabi dalam berakidah, beribadah, berakhlak dan mu’amalah. Hal itu karena urusan ilmu adalah urusan agama sehingga tidak bisa seseorang sembarangan atau asal comot dalam mengambilnya tanpa peduli dari siapa dia dapatkan karena ini akan berakibat fatal sampai di akhirat kelak. Maka ia harus tahu siapa yang akan ia ambil ilmu agamanya. <br />
<br />
Jangan sampai dia ambil agamanya dari orang yang memusuhi Sunnah atau memusuhi Ahlussunnah atau tidak pernah diketahui belajar akidah yang benar karena selama ini yang dipelajari adalah akidah-akidah yang salah atau mendapat ilmu hanya sekedar hasil bacaan tanpa bimbingan para ulama Ahlussunnah. Sangat dikhawatirkan, ia memiliki pemahaman-pemahaman yang salah karena hal tersebut. <br />
<br />
Seorang tabi’in bernama Muhammad bin Sirin mengatakan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” Beliau juga berkata: “Dahulu orang-orang tidak bertanya tentang sanad (rangkaian para rawi yang meriwayatkan) hadits, maka tatkala terjadi fitnah mereka mengatakan: sebutkan kepada kami sanad kalian, sehingga mereka melihat kepada Ahlussunnah lalu mereka menerima haditsnya dan melihat kepada ahlul bid’ah lalu menolak haditsnya.” (Riwayat Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya) <br />
<br />
Nabi bersabda: <br />
“Keberkahan itu berada pada orang-orang besar kalian.” (Shahih, HR. Ibnu Hibban, Al Hakim, Ibnu Abdil Bar dari Ibnu Abbas, dalam kitab Jami’ Bayanul Ilm hal:614 dengan tahqiq Abul Asybal, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’:2887 dan As Shahihah:1778) <br />
<br />
Dalam ucapan Abdullah bin Mas’ud: <br />
“Manusia tetap akan baik selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang besar mereka, jika mereka mengambilnya dari orang-orang kecil dan jahat di antara mereka, maka mereka akan binasa.” Diriwayatkan pula yang semakna dengannya dari shahabat Umar bin Khattab. (Riwayat Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayanul Ilm hal: 615 dan 616, tahqiq Abul Asybal dan dishahihkan olehnya) <br />
<br />
Ibnu Abdil Bar menukilkan dari sebagian ahlul ilmi (ulama) maksud dari hadits di atas: “Bahwa yang dimaksud dengan orang-orang kecil dalam hadits Umar dan hadits-hadits yang semakna dengannya adalah orang yang dimintai fatwa padahal tidak punya ilmu. Dan orang yang besar artinya yang berilmu tentang segala hal. Atau yang mengambil ilmu dari para shahabat.” (Lihat Jami’ Bayanil Ilm: 617). <br />
<br />
6. Tidak mengambil ilmu dari sisi akal atau rasio, karena agama ini adalah wahyu dan bukan hasil penemuan akal. Allah berkata kepada Nabi-Nya: <br />
“Katakanlah (Ya, Muhammad): ‘sesungguhnya aku memberi peringataan kepada kalian dengan wahyu.’.” (Al-Anbiya: 45) <br />
“Dan tidaklah yang diucapkan itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4) <br />
<br />
Sungguh berbeda antara wahyu yang bersumber dari Allah Dzat yang Maha Sempurna yang sudah pasti wahyu tersebut memiliki kesempurnaan, dibanding akal yang berasal dari manusia yang bersifat lemah dan yang dihasilkannya pun lemah. <br />
<br />
Jadi tidak boleh bagi siapapun meninggalkan dalil yang jelas dari Al Qur’an ataupun hadits yang shahih karena tidak sesuai dengan akalnya. Seseorang harus menundukkan akalnya di hadapan keduanya. <br />
<br />
Ali bin Abi Thalib berkata: “Seandainya agama ini dengan akal maka tentunya bagian bawah khuf (semacam kaos kaki yang terbuat dari kulit) lebih utama untuk diusap (pada saat berwudhu-red) daripada bagian atasnya. Dan sungguh aku melihat Rasulullah mengusap bagian atas khuf-nya.” (shahih, HR Abu Dawud dishahihkan As-Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no:162). <br />
Pada ucapan beliau ada keterangan bahwa dibolehkan seseorang mengusap bagian atas khuf-nya atau kaos kaki atau sepatunya ketika berwudhu dan tidak perlu mencopotnya jika terpenuhi syaratnya sebagaimana tersebut dalam buku-buku fikih. Yang jadi bahasan kita disini adalah ternyata yang diusap justru bagian atasnya, bukan bagian bawahnya. Padahal secara akal yang lebih berhak diusap adalah bagian bawahnya karena itulah yang kotor. <br />
<br />
Ini menunjukkan bahwa agama ini murni dari wahyu dan kita yakin tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat dan fitrah yang selamat. Masalahnya, terkadang akal tidak memahami hikmahnya, seperti dalam masalah ini. Bisa jadi syariat melihat dari pertimbangan lain yang belum kita mengerti. <br />
<br />
Jangan sampai ketidakmengertian kita menjadikan kita menolak hadits yang shahih atau ayat Al Qur’an yang datang dari Allah yang pasti membawa kebaikan pada makhluk-Nya. Hendaknya kita mencontoh sikap Ali bin Abi Thalib di atas. <br />
<br />
Abul Mudhaffar As Sam’ani menerangkan Akidah Ahlussunnah, katanya: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka, mencari agama dari keduanya. Adapun apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya mereka terima dan bersyukur kepada Allah yang telah memperlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik. Tapi kalau mereka dapati tidak sesuai dengan keduanya mereka meninggalkannya dan mengambil Kitab dan Sunnah lalu menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang haq (kebenaran), sedangkan pendapat manusia kadang benar kadang salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits: 99) <br />
<br />
Ibnul Qoyyim menyimpulkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam: <br />
a. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah. <br />
b. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash, serta memahami dan mengambil hukum darinya. <br />
c. Pendapat akal yang berakibat menolak asma’ (nama) Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat. <br />
d. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya Sunnah. <br />
e. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik dan prasangka. <br />
Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. (lihat, I’lam Muwaqqi’in: 1/104-106, Al- Intishar: 21,24, dan Al Aql wa Manzilatuhu) <br />
<br />
7. Menghindari perdebatan dalam agama. Nabi bersabda: <br />
“Tidaklah sebuah kaum sesat setelah mereka berada di atas petunjuk kecuali mereka akan diberi sifat jadal (berdebat). Lalu beliau membaca ayat, artinya: ‘Bahkan mereka adalah kaum yang suka berbantah-bantahan’.” (Hasan, HR Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahili, dihasankan oleh As Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no: 5633) <br />
<br />
Ibnu Rajab mengatakan: “Di antara sesuatu yang diingkari para Imam salafus shalih adalah perdebatan, berbantah-bantahan dalam masalah halal dan haram. Itu bukan jalannya para Imam agama ini.” (Fadl Ilm Salaf 57 dari Al-Intishar: 94). <br />
<br />
Ibnu Abil Izz menerangkan makna mira’ (berbantah-bantahan) dalam agama Allah adalah membantah ahlul haq (pemegang kebenaran) dengan menyebutkan syubhat-syubhat ahlul bathil, dengan tujuan membuat keraguan padanya dan menyimpangkannya. Karena perbuatan yang demikian ini mengandung ajakan kepada kebatilan dan menyamarkan yang hak serta merusak agama Islam. (Syarh Aqidah Thahawiyah: 313) <br />
<br />
Oleh karenanya Allah memerintahkan berdebat dengan yang paling baik. Firman-Nya: <br />
“Ajaklah kepada jalan Rabb-Mu dengan hikmah, mau’idhah (nasihat) yang baik dan berdebatlah dengan yang paling baik.” (An-Nahl: 125). <br />
<br />
Para ulama menerangkan bahwa perdebatan yang paling baik bisa terwujud jika niat masing-masing dari dua belah pihak baik. Masalah yang diperdebatkan juga baik dan mungkin dicapai kebenarannya dengan diskusi. Masing-masing beradab dengan adab yang baik, dan memang punya kemampuan ilmu serta siap menerima yang haq jika kebenaran itu muncul dari hasil perdebatan mereka. Juga bersikap adil serta menerima kembalinya orang yang kembali kepada kebenaran. (lihat rinciannya dalam Mauqif Ahlussunnah 2/587-611 dan Ar-Rad ‘Alal Mukhalif hal:56-62). <br />
<br />
Perdebatan para shahabat dalam sebuah masalah adalah perdebatan musyawarah dan nasehat. Bisa jadi mereka berselisih dalam sebuah masalah ilmiah atau amaliah dengan tetap bersatu dan berukhuwwah. (Majmu’ Fatawa 24/172) <br />
<br />
Inilah beberapa rambu-rambu dalam mengambil ilmu agama sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an maupun hadits yang shahih serta keterangan para ulama. Kiranya itu bisa menjadi titik perhatian kita dalam kehidupan beragama ini, sehingga kita berharap bisa beragama sesuai yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107707680289358732.post-71209279115816306452011-03-18T08:19:00.000-07:002011-03-18T08:22:36.039-07:00Sihir Melenyapkan Aqidah<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">Di dalam kitab-kitab aqidah, para ulama telah banyak membahas tentang bahaya sihir terhadap aqidah. Mereka menyebutkan, sihir bahkan bisa membatalkan keislaman seseorang sehingga menjadikan dia tidak beraqidah Islam lagi. Kalau hal ini sampai terjadi maka tidak ada lagi harapan bahagia bagi dirinya. Allah menjelaskan di dalam firman-Nya:<br />
وَلاَ يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى<br />
“Dan tidak akan beruntung tukang sihir dari manapun dia datang.” (Thaha: 69)<br />
<br />
<br />
Menurut Asy-Syinqithi dalam kitab Adhwa Al-Bayan (4/442), makna ayat ini adalah meniadakan seluruh jenis keberuntungan bagi tukang sihir, dan Allah menguatkan hal yang demikian itu dengan firman-Nya: “Dari manapun dia datang.”<br />
Al-Imam Al-Qurthubi mengatakan dalam Tafsir-nya (4/444): “Tidak akan beruntung dan selamat darimana pun dia datang di muka bumi ini.”<br />
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam Tafsir beliau (hal. 458) mengatakan: “Tipu daya mereka tidak mendatangkan hasil sedikitpun bagi mereka dan mereka tidak akan menang.”<br />
Kalau demikian kedudukan tukang sihir, yang ditiadakan pada dirinya segala bentuk kebahagiaan dunia dan akhirat sekaligus diliputi ancaman dan murka Allah, maka jelas sihir ini memiliki kaitan dengan agama. Kerusakan agama seseorang bisa demikian parah akibat perbuatan sihir tersebut. Maka pantas bila Allah melarang dengan keras agar manusia tidak mengerjakan perbuatan sihir ini. Allah tidak akan melarang suatu perkara atau memurkainya melainkan hal tersebut akan membahayakan, baik bagi diri sendiri, agama maupun bagi orang lain.<br />
<br />
Sihir dan Aqidah<br />
Sedikit dari kaum muslimin yang mengetahui bahwa mengerjakan sihir hukumnya adalah haram, termasuk bagian dari perbuatan syirik. Karena persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan mempelajari sihir merupakan perbuatan kufur dan syirik kepada Allah . Dan persyaratan-persyaratan itupun sayangnya tidak diketahui oleh kaum muslimin sebagai sesuatu yang haram dan sebagai wujud kesyirikan kepada Allah. <br />
Asy-Syaikh Shalih Fauzan dalam kitab At-Tauhid (hal. 27) mengatakan: “Dinamakan sihir karena terjadi dengan perkara-perkara yang tersembunyi yang tidak bisa dijangkau oleh penglihatan. Sihir itu berbentuk jimat-jimat, jampi-jampi, mantra-mantra, obat-obat atau kepulan asap-asap. Sihir itu hakiki, di antara hakikatnya adalah pengaruhnya terhadap hati dan badan yang menyebabkan sakit, terbunuh, atau memisahkan antara seorang istri dan suaminya. Pengaruh ini terjadi dengan ketentuan Allah . <br />
Sihir itu adalah perbuatan setan. Kebanyakan dari sihir tersebut tidak bisa dicapai oleh seseorang kecuali ia harus melakukan kesyirikan dan mendekatkan diri kepada ruh-ruh jahat yang persyaratannya adalah syirik kepada Allah. Oleh karena itu Allah menggandengkan sihir dengan kesyirikan sebagaimana sabda Rasulullah :<br />
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ. قَالُوْا: وَمَا هِيَ؟ قَالَ: الإِشْرَاكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ.<br />
“Jauhilah tujuh penghancur! (Para shahabat) berkata: “Apakah itu wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda: “Syirik kepada Allah dan sihir...” (HR. Al-Bukhari, 5/294, Muslim no. 89 dari shahabat Abu Hurairah z).<br />
Sihir termasuk dalam kesyirikan dipandang dari dua sisi:<br />
Pertama, sihir mempergunakan setan, menggantungkan diri kepadanya, mendekatkan diri dengan segala apa yang mereka inginkan dalam rangka berkhidmat kepada tukang sihir. Sihir termasuk pengajaran setan sebagaimana firman Allah :<br />
“Akan tetapi setan-setan itu yang kafir yang mengajarkan manusia sihir.” (Al-Baqarah: 102)<br />
Kedua, di dalam sihir terdapat pengakuan mengetahui perkara ghaib sebagai wujud serikat dengan Allah , dan ini termasuk dari kekufuran dan kesesatan. Allah berfirman:<br />
“Dan sungguh mereka telah mengetahui bahwa bagi orang yang mempelajari (membeli) ilmu sihir tersebut maka dia tidak memiliki bagian di akhirat.” (Al-Baqarah: 102)<br />
Jika demikian kedudukan sihir, sungguh tidak ada keraguan lagi bahwa sihir adalah perbuatan kekafiran dan kesyirikan yang akan membatalkan aqidah, dan wajib membunuh pelakunya sebagaimana para pembesar shahabat telah melakukannya.<br />
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitab beliau Masail Al-Jahiliyyah bagian keduapuluh mengatakan: “(Salah satu dari keyakinan jahiliyyah) adalah meyakini bahwa keluarbiasaan yang terjadi melalui tangan tukang sihir dan sejenis mereka sebagai karamah orang-orang shalih, dan (termasuk keyakinan jahiliyyah juga) mengaitkan ilmu sihir itu dengan pengajaran para nabi sebagaimana mereka katakan tentang Nabi Sulaiman .”<br />
Di dalam kitab At-Tauhid, beliau menulis sebuah bab berjudul Perkara-perkara yang Terkait dengan Sihir lalu mengatakan: “Allah berfirman:<br />
“Dan sungguh mereka telah mengetahui bahwa bagi orang yang mempelajari (membeli) ilmu sihir tersebut maka dia di akhirat tidak memiliki bagian.” (Al-Baqarah: 102)<br />
Dan Allah berfirman: <br />
يُؤْمِنُوْنَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوْتِ<br />
“Mereka beriman kepada Al-Jibti dan thagut.” (An-Nisa: 51)<br />
‘Umar z berkata: “Al-Jibti adalah sihir dan thagut adalah setan.”<br />
Jabir bin Abdullah berkata: “Thaghut adalah para dukun yang setan turun kepada mereka di suatu daerah.” <br />
Kemudian dalam faidah yang diambil dari bab tersebut, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab mengatakan: “Faidah keenam: tukang sihir adalah kafir. Ketujuh: dia dibunuh tanpa dimintai taubat. Kedelapan: kalaulah di masa ‘Umar terjadi hal yang demikian maka apalagi setelahnya.”<br />
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di di dalam kitab Al-Qaul As-Sadid (hal. 93) mengatakan: “Sisi dimasukkannya sihir dalam bab tauhid adalah karena kebanyakan dari pembagian (macam-macam) sihir tidak akan bisa terjadi melainkan dengan kesyirikan, dengan perantara ruh-ruh setan kepada tujuan-tujuan tukang sihir tersebut. Maka tidak sempurna tauhid seseorang hamba sehingga dia meninggalkan sihir secara menyeluruh.”<br />
<br />
Macam-macam Sihir<br />
Kalau kita coba menggali bentuk-bentuk sihir atau lebih cocok dikatakan macam dan jenisnya maka jumlahnya terlalu banyak, terlebih kalau kita melihat prakteknya di masyarakat Islam. Ilmu sihir adalah ilmu yang sangat digandrungi dan dicari oleh banyak orang kecuali mereka yang dirahmati Allah . <br />
Asy-Syinqithi dalam kitab Adhwa Al-Bayan (4/452) mengatakan: “Para ahli ilmu telah membagi jenis-jenis sihir, namun pembagian tersebut semuanya bermuara pada delapan macam (yang telah disebutkan oleh Fakhrurrazi dalam tafsirnya).” Di halaman lain (4/457), beliau mengatakan: “Ilmu-ilmu kejahatan itu banyak sekali, dan kita menyebutkan (macam-macam sihir) bertujuan untuk mengingatkan tentang jelek dan jahatnya (sihir) menurut pandangan syariat. Karena di antara jenisnya ada yang jelas-jelas kufur, dan di antaranya ada yang akan mengantar menuju kekufuran dan yang paling ringan hukumnya adalah haram (dengan keharaman) yang keras.”<br />
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t dalam kitab beliau Al-Qaul Al-Mufid mengatakan: “Macam-macam sihir secara global dibagi menjadi dua, di antaranya ada yang merupakan wujud kekufuran dan ada pula yang merupakan wujud kefasikan.”<br />
1. Al-‘Iyafah<br />
Al-‘Iyafah adalah seseorang mengurungkan niat untuk melakukan sesuatu karena ada perilaku tertentu dari burung. Atau seseorang merasa pesimis atau optimis disebabkan oleh (perilaku) burung. Aqidah orang Arab di masa jahiliyyah yang terkait dengan al-‘iyafah ini bermacam-macam: Pertama, membantu mereka untuk berburu yaitu dengan cara mengajari burung sehingga apabila diperintahkan untuk terbang, dia terbang. Hal ini tidak termasuk sihir. Kedua, menghalau seekor burung sehingga apabila terbang ke arah sebelah kiri maka dia pesimis (lalu tidak jadi melakukan pekerjaan itu –red) dan apabila terbang ke sebelah kanan maka dia optimis (sehingga dia lanjutkan niatnya untuk mengerjakan perbuatan itu –red). Dan bila sang burung terbang ke arah depan, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengatakan: “Saya tidak mengetahui apakah dia berhenti atau mengulangi menghalau burung lagi.” Maka hal yang seperti ini termasuk dari bentuk sihir. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam kitabnya Fathul Majid (hal. 346) mengatakan: “Al-’Iyafah adalah rasa pesimis dan optimis (yang muncul dalam diri seseorang –red) karena seekor burung, baik dengan nama burung tersebut, atau suaranya, atau arah terbangnya. Hal ini merupakan kebiasaan orang Arab, bahkan banyak (penyebutan tentang hal ini –red) di dalam syair-syair mereka.”<br />
2. Ath-Tharqu<br />
‘Auf menafsirkan ath-tharqu sebagai suatu garis yang dibuat di tanah. Abu As-Sa’adat mengatakan: “Menggaris dengan kerikil yang dilakukan oleh kaum wanita.” (An-Nihayah, 2/121). Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengatakan: “Garis yang dimaksud adalah sesuatu yang sudah masyhur di sisi orang Arab, yang digaris dengan kerikil untuk menyihir dan melakukan praktek perdukunan (atau ramalan -red), dan hal ini banyak dilakukan oleh kaum wanita.” Hal ini termasuk perbuatan sihir.<br />
3. Ash-Sharf dan Al-‘Athaf<br />
Ash-Sharf yaitu sihir yang dipergunakan untuk memisahkan antara dua orang yang saling mencintai supaya salah satu dari keduanya atau kedua-duanya menjadi benci kepada yang lain (lihat Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 156). Di Indonesia sihir jenis ini terkenal dengan istilah ilmu pelet. Hal ini adalah perbuatan haram dan syirik kepada Allah .<br />
Al-‘Athaf adalah jenis sihir untuk menjadikan seseorang cinta kepada yang lain, yang sering terjadi antara suami istri. Hukumnya sama dengan ash-sharfu. <br />
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab memasukkan sihir sebagai salah satu pembatal keislaman. Dan masih banyak lagi jenis-jenis sihir yang sekarang berkembang di tengah-tengah kaum muslim baik di negeri Arab atau selainnya, seperti memakan api, masuk ke dalam api, ilmu kebal, jimat-jimat, memakan beling, menggambarkan sesuatu yang bukan aslinya dan selainnya. (Lihat pembahasan macam-macam sihir dalam Adhwa Al-Bayan, 4/444-455, Tath-hir Al-I’tiqad karya Al-Imam Ash-Shan’ani, Fathul Majid hal. 345 dan seterusnya, Al-Qaul Al-Mufid karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/36-57, Al-Qaul Al-Mufid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab Al-Wushshabi, hal. 137-148, dan Al-Qaul As-Sadid, hal. 93-95)<br />
<br />
Ilmu Nujum Termasuk Ilmu Sihir<br />
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitab At-Tauhid mengatakan: “Ilmu nujum termasuk dari ilmu sihir.” Hal ini berdasar sabda Rasulullah :<br />
“Barang siapa yang mencari (mempelajari) sebagian ilmu nujum maka dia telah mencari bagian dari sihir.” (HR. Ahmad, 1/227, 311, Abu Dawud, 2/226, Ibnu Majah, 2/1228, Ath-Thabrani, no. 11278, Al-Baihaqi, 8/138, dari hadits Ibnu ‘Abbas c)<br />
Ilmu nujum yang merupakan bagian dari sihir adalah ilmu yang dipakai untuk mengetahui kejadian-kejadian yang ada di bumi dengan bantuan benda-benda langit seperti bintang. Contohnya, bila muncul bintang ini dan itu maka akan terjadi begini dan begitu. Atau bila muncul bintang ini dan itu, maka akan lahir seseorang yang bahagia di dalam hidupnya atau lahir anak yang akan celaka. Tentang hal ini Ibnu ‘Abbas c berkata, Rasulullah telah bersabda: <br />
مَنِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ النُّجُوْمِ فَقَدِ اقْتَبَسَ مِنَ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ<br />
“Barang siapa mencari sebagian ilmu nujum maka dia telah mencari sebagian ilmu sihir, bertambah dengan bertambahnya.” (Hadits ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Abi Dawud, 2/739 no. 3305 dan di dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, 2/305 no. 3002 dan di dalam Ash-Shahihah no. 793) <br />
Ilmu nujum dengan makna ini adalah jelas-jelas bertentangan dengan aqidah yang dibawa oleh seluruh para nabi dan rasul Allah , juga bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Seorang shahabat, Zaid bin Khalid z, berkata: <br />
صَلىَّ بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَّةِ فِيْ إِثْرِ سَمَاءٍ كَانَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلىَ النَّاسِ فَقَالَ: هَلْ تَدْرُوْنَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوْا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: قَالَ: أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِيْ مُؤْمِنٌ بِيْ وَكَافِرٌ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْناَ بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِيْ كَافِرٌ بِالْكَوَاكِبِ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِيْ مُؤْمِنٌ بِالْكَوَاكِبِ <br />
Kami shalat subuh bersama Rasulullah setelah selesai hujan di suatu malam. Setelah selesai shalat, beliau menghadap manusia dan berkata: “Tahukah kalian apa yang difirmankan oleh Rabb kalian?” Mereka berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah bersabda: “Allah berfirman: ‘Di pagi hari di antara hambaku ada yang beriman dan kafir kepada-Ku. Barangsiapa yang mengatakan bahwa kami diberikan hujan dengan fadhilah (keutamaan) dan rahmat Allah maka dia beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang. Adapun orang yang mengatakan bahwa kita diberikan hujan karena waktu (nau’) ini dan itu, maka dia telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.’” (HR. Al-Bukhari, 2/433-434 dan Muslim, no. 71)<br />
Al-Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm mengatakan: “Barangsiapa mengatakan kita diberi hujan oleh waktu (nau’1) ini dan itu sebagaimana yang telah dilakukan oleh sebagian musyrikin dengan menyandarkan hujan kepada nau’ (waktu), maka hal yang demikian itu adalah kafir sebagaimana sabda Rasulullah . Aqidah yang benar adalah bahwa terjadinya hujan karena ijin Allah I dan taqdir-Nya yang telah ditulis limapuluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi, dan (bahwa hujan) merupakan rahmat dari Allah kepada suatu kaum. Turunnya hujan tidak dipengaruhi munculnya bintang ini dan itu.”<br />
<br />
Hukum Mempelajari Ilmu Nujum<br />
Ilmu nujum oleh para ulama dibagi menjadi dua:<br />
Pertama, apa yang telah disebutkan di atas yaitu ilmu yang dipergunakan untuk menentukan kejadian-kejadian di bumi karena munculnya bintang ini dan itu. Mempelajari ilmu ini adalah haram. Berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas c di atas.<br />
Kedua, mengetahui peredaran bintang untuk menentukan arah kiblat atau waktu. Hal ini diperbolehkan bahkan terkadang hukumnya wajib. Ulama fiqih mengatakan bahwa apabila masuk waktu shalat maka wajib setiap orang untuk mengetahui arah kiblat, baik dengan bintang-bintang, matahari maupun bulan. Allah berfirman:<br />
<br />
“Dan dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu dan dia menciptakan sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk. Dia menciptakan tanda-tanda penunjuk jalan dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapatkan petunjuk...” (An-Nahl: 15-16) [Lihat Al-Qaulul-Mufid, 2/45]<br />
<br />
Tanya Jawab<br />
Tanya: Bila belajar ilmu sihir itu adalah haram, bagaimana dengan hadits Rasulullah :<br />
تَعَلَّمُوا السِّحْرَ وَلاَ تَعْمَلُوْا بِهِ<br />
“Belajarlah kalian ilmu sihir dan jangan kalian mengamalkannya.”<br />
Jawab: Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia) mengatakan: “Kita tidak mengenali hadits ini shahih atau lemah, bahkan hadits ini adalah maudhu’ (palsu).” (1/367-368 no. 6289 dan 6970)<br />
Tanya: Apabila tukang sihir itu hukumnya harus dibunuh, bolehkah individu yang melakukan hal demikian?<br />
Jawab: Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia (ed)). mengatakan: “Yang memiliki hak dan tanggung jawab untuk menetapkan bahwa ini adalah sihir, serta hukuman bagi pelakunya adalah pemerintah yang mengurusi urusan kaum muslimin. Hal ini untuk menutup pintu-pintu meluasnya kerusakan dan agar tidak terjadi kekacauan dan huru-hara.” (1/369 no. 4804).<br />
Tanya: Apa yang dimaksud oleh sabda Rasulullah :<br />
إِنَّ مِنَ الْبَيَانِ لَسِحْرًا<br />
“Sesungguhnya sebagian dari al-bayan (kefasihan) itu adalah sihir.” (HR. Al-Bukhari dari hadits Ibnu ‘Umar c dan Muslim dari shahabat ‘Ammar bin Yasir c)<br />
Jawab: Al-Bayan dari sisi tinjauan bahasa memiliki dua makna:<br />
Pertama, menjelaskan sesuatu yang harus dijelaskan, maka hal ini boleh dilakukan oleh setiap orang. Kedua, kefasihan dalam berbicara sehingga menakjubkan akal bahkan mengubahnya. Makna yang kedua inilah yang dimaksud Rasulullah dengan kefasihan pembicaraan, yang menyebabkan kebenaran dalam pandangan pendengarnya menjadi sesuatu yang bathil dan kebathilan menjadi sesuatu yang benar.” (Al-Qaulul Mufid, 2/54)<br />
Tanya: Bolehkah menghilangkan sihir dari orang yang terkena sihir?<br />
Jawab: Menghilangkan sihir dari orang yang terkena sihir disebut dengan an-nusyrah. Apabila menghilangkan sihir tersebut dengan sihir yang lain maka ini adalah perbuatan setan dan hukumnya haram. Dan apabila menghilangkannya dengan bacaan-bacaan yang disyariatkan, doa, ayat-ayat Al Qur’an maka hal yang demikian disyariatkan. Allah berfirman: <br />
وَتَعَاوَنُوْا عَلىَ الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلىَ اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ<br />
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan janganlah kalian tolong-menolong di dalam dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2)<br />
Rasulullah bersabda: <br />
مَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ<br />
“Barang siapa yang mampu memberikan manfaat kepada saudaranya maka lakukanlah.” (Lihat A’lam As-Sunnah Al-Mansyurah, hal. 155) <br />
Wallahu a’lam bishshawab.<br />
<br />
<br />
1 Nau’ adalah tempat singgahnya bulan di setiap malam (lihat Taisir Al-’Azizil Hamid, hal. 454-455, Al-Qaulul Mufid, 2/141-142, ed)<br />
</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107707680289358732.post-44853613718373885472011-03-18T08:17:00.000-07:002011-03-18T08:22:36.039-07:00CIRI UTAMA PENGIKUT RASULULLAH DAN PARA SHAHABATNYA<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">بسم الله الرحمن الرحيم <br />
<br />
1) Berpegang teguh dengan Al Quran dan As Sunnah dalam segala perkara khususnya ketika terjadi perbedaan pendapat.<br />
Allah berfirman :<br />
“Maka jika kalian berbeda pendapat dalam satu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir”<br />
( QS. An Nisa : 59 )<br />
<br />
2) Memahami Al Quran dan As Sunnah dengan pemahaman para shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dan tidak dipahami sesuai dengan hawa nafsu maupun tokoh tertentu.<br />
Allah berfirman :<br />
“Generasi pertama shahabat muhajirin dan anshor serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah meridloi mereka dan merekapun ridlo kepada Allah dan Allah siapkan untuk mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai mereka kekal di dalamnya itulah keberuntungan yang besar”<br />
( QS. At Taubah : 100 )<br />
<br />
3) Tetap istiqomah di atas kebenaran Al Quran dan As Sunnah walaupun dihina dan dijauhi oleh masyarakatnya, Rasulullah bersabda :<br />
“Akan senantiasa ada sekelompok orang dari umatku yang terang-terangan di atas kebenaran, tidaklah membahayakan mereka orang-orang yang menghina mereka sampai datang perintah Allah (angin dingin yang mencabut nyawa setiap orang yang memiliki keimanan menjelang kiamat)”<br />
( HR. Imam Muslim )<br />
<br />
4) Tidak taqlid kepada madzhab atau tokoh tertentu tetapi melihat dalil yang dipakai. Bila sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah, diterima. Bila tidak, maka ditolak siapapun yang mengucapkannya.<br />
Imam Malik, Rahimahullah berkata :<br />
“Setiap orang bisa diambil ucapannya dan bisa ditolak kecuali Nabi ”<br />
( Minhaj Al Firqoh An Najiyah : 10 )<br />
<br />
5) Tidak pilih-pilih syariat, semua perintah Allah dan Rasul-Nya dilaksanakan semampunya dan semua larangan ditinggalkan tanpa terkecuali.<br />
<br />
Allah berfirman :<br />
“Apa saja yang dibawa oleh Rasul untuk kalian maka ambillah dan apa saja yang dilarang maka tinggalkanlah”<br />
( QS. Al Hasyr : 7 )<br />
<br />
6) Hanya menggunakan hadits - hadits shahih dan tidak menggunakan hadits - hadits dloif ( lemah ) dan maudlu’ ( palsu ), karena yang dloif ( lemah ) dan maudlu’ ( palsu ) itu merupakan bentuk berdusta atas nama Rasulullah . Beliau bersabda :<br />
“Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah menempati tempat duduknya di neraka”<br />
( HR. Imam Muslim dan lainnya )<br />
<br />
7) Menegakkan seluruh jenis tauhid dan memberantas segala jenis syirik, karena ini adalah inti dakwah para Nabi dan Rasul .<br />
Allah berfirman :<br />
“Sungguh kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul untuk menyeru ( kepada umatnya ) beribadahlah hanya kepada Allah ( tauhid ) dan jauhilah sesembahan selain Allah ( syirik )”<br />
( QS. An Nahl : 36 )<br />
<br />
8) Menegakkan Sunnah ( ajaran Rasulullah ) dan memberantas segala jenis kebid’ahan, Rasulullah bersabda :<br />
“Wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku, gigitlah dengan gigi geraham ( pegang erat-erat dan jauhilah perkara-perkara baru yang tidak diajarkan agama, karena hal itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat )”<br />
(HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah dishohihkan syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’ )<br />
<br />
9) Mendidik generasi umat dengan pendidikan yang sesuai dengan pendidikan Rasulullah dan para shahabatnya .<br />
<br />
10) Giat menuntut ilmu syariat. Karena mereka yakin dengan ilmu ini dapat mengetahui dan mencontoh seluruh ajaran Rasulullah secara terperinci.<br />
و الله أعلم بالصواب<br />
<br />
Al Ustadz Abu Ilyas Su’aidi As Sidawi</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107707680289358732.post-9976798737829544812011-03-18T08:15:00.000-07:002011-03-18T08:22:36.039-07:00Tabaruk<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">Tabaruk atau mencari barakah serta waktu dan tempat yang berkaitan dengannya termasuk perkara akidah yang sangat penting. Hal ini dikarenakan sering terjadi perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan) di dalamnya. Perbuatan itu dapat menjerumuskan banyak orang ke dalam perbuatan bid’ah, khurafat, dan syirik, dulu maupun sekarang. Bukankah orang-orang jahiliyyah terdahulu beribadah kepada berhala-berhala disebabkan mereka mengharap barakah dari berhala-berhala tersebut?<br />
<br />
Kemudian bid’ah tersebut masuk menyelinap ke dalam agama ini melalui orang-orang zindiq (munafiq). Di antara cara yang mereka gunakan untuk merusak agama dari dalam adalah menanamkan sikap ghuluw terhadap para wali dan orang-orang shalih serta bertabaruk dengan kuburan mereka.<br />
<br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan : “Dari sinilah orang-orang munafik memasukkan ke dalam Islam perkara bid’ah tersebut. Sungguh yang pertama kali mengada-adakan agama rafidlah adalah seorang zindiq Yahudi yang pura-pura menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafirannya untuk merusak agama kaum Muslimin, sebagaimana Paulus merusak agama kaum Nashara … . Akhirnya muncullah bid’ah syiah yang merupakan kunci terbukanya pintu kesyirikan. Ketika para zindiq itu merasa kuat, mereka memerintahkan membangun tempat-tempat ibadah di atas kuburan dan menghancurkan masjid-masjid dengan alasan tidak boleh shalat Jum’at dan jamaah kecuali di belakang imam yang ma’shum … .” (Majmu’ Fatawa 27/16)<br />
<br />
Sangat disayangkan betapa banyak kaum Muslimin terjatuh ke dalam perbuatan syirik melalui pintu tabaruk ini sehingga kita perlu mengetahui apa pengertian tabaruk serta mana yang disyariatkan dan mana yang dilarang.<br />
<br />
Makna Dan Hakikat Tabaruk<br />
Al Laits menafsirkan kata tabarakallah (ﺗﺒﺎﺮﻚﺍﷲ) adalah pemuliaan dan pengagungan. Az Zajaj mengatakan tentang firman Allah :<br />
<br />
“Inilah kitab yang Kami turunkan yang diberkahi.”<br />
<br />
Kata Al Mubarak (yang diberkahi) maknanya adalah apa-apa yang mendatangkan kebaikan yang banyak.<br />
<br />
Ar Raghib berkata : “Barakah berarti tetapnya kebaikan Allah terhadap sesuatu.”<br />
<br />
Ibnul Qayim berkata : “Barakah berarti kenikmatan dan tambahan. Sedangkan hakikat barakah adalah kebaikan yang banyak dan terus menerus yang tidak berhak memiliki sifat tersebut kecuali Allah tabaraka wa ta’ala.”<br />
<br />
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata : “Barakah berarti kebaikan yang banyak dan tetap. Diambil dari kata al birkah (ﺍﻠﺑﺮﻜﺔ) yang berarti tempat terkumpulnya air (kolam). Dan tabaruk berarti mencari barakah.”<br />
<br />
Untuk lebih jelas maka perlu diketahui beberapa perkara sebagai berikut :<br />
<br />
1. Bahwasanya barakah itu semuanya datang dari Allah, baik dalam hal rezki, pertolongan, kesembuhan, dan lain-lain. Maka tidak boleh meminta barakah kecuali kepada Allah karena Dia-lah Pemberi Barakah. Di antara dalil tentang hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya dari Ibnu Mas’ud radliyallahu 'anhu, ia berkata :<br />
<br />
Kami bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan. Ketika itu persediaan air sedikit. Maka beliau bersabda : “Carilah sisa air!” Para shahabat pun membawa bejana yang berisi sedikit air. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memasukkan tangan beliau ke dalam bejana tersebut seraya bersabda : “Kemarilah kalian menuju air yang diberkahi dan berkah itu dari Allah.” Sungguh aku (Ibnu Mas’ud) melihat air terpancar di antara jari-jemari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. (HR. Bukhari dengan Fathul Bari 6/433)<br />
<br />
Kalau sudah jelas bahwa barakah itu dari Allah, maka memintanya kepada selain Allah adalah perbuatan syirik seperti meminta rezki, mendatangkan manfaat serta menolak mudlarat kepada selain Allah. Tidak diragukan lagi bahwa barakah itu termasuk kebaikan, sedang kebaikan itu semuanya dari Allah seperti sabda Rasululah shallallahu 'alaihi wa sallam :<br />
<br />
“Dan kebaikan itu semuanya di tangan-Mu.” (HR. Muslim dengan syarah An Nawawi 6/57)<br />
<br />
2. Sesuatu yang digunakan untuk bertabaruk seperti benda-benda, ucapan, ataupun perbuatan yang telah jelas ketetapannya dalam syariat, kedudukannya hanya sebagai sebab bukan yang mendatangkan barakah. Sebagaimana halnya dengan obat-obatan hanya sebagai sebab bagi kesembuhan, bukan yang menyembuhkan. Yang menyembuhkan adalah Allah. Oleh karena itu kita hanya mengharapkan kesembuhan kepada Allah. Dan terkadang obat tersebut tidak bermanfaat dengan ijin Allah. Maka yang disebutkan dalam syariat bahwa padanya terdapat barakah hanya digunakan sebagai sebab yang kadang-kadang tidak ada pengaruhnya karena tidak terpenuhi syaratnya atau karena ada penghalang. Penyandaran barakah kepadanya termasuk penyandaran sesuatu kepada sebabnya. Sebagaimana ucapan Aisyah radliyallahu 'anha tentang Juwairiah bintul Harits radliyallahu 'anha :<br />
<br />
“Aku tidak mengetahui seorang perempuan yang lebih banyak barakahnya daripada dia di kalangan kaumnya.” (HR. Ahmad, Musnad 6/277)<br />
<br />
Artinya dialah sebagai sebab datangnya barakah dan bukan dia pemberi barakah.<br />
<br />
3. Mencari barakah harus melalui sebab-sebab yang diperintahkan oleh syariat. Yang menentukan ada atau tidaknya barakah pada sesuatu hanyalah dalil syar’i. Karena perkara agama itu dibangun di atas dalil, berbeda dengan perkara dunia yang dapat diketahui dengan akal melalui pengalaman dan bukti.<br />
<br />
4. Bertabaruk dapat dilakukan dengan perkara yang dapat dicapai dengan panca indera seperti ilmu, doa, dan lain-lain. Seseorang mendapatkan kebaikan yang banyak dengan barakah ilmunya yang dia amalkan dan dia ajarkan.<br />
<br />
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bertabaruk adalah mencari barakah dalam hal tambahan kebaikan dan pahala serta semua yang dibutuhkan seorang hamba dalam urusan agama dan dunianya melalui sebab-sebab dan cara yang telah ditetapkan dalam syariat.<br />
<br />
Tabaruk Yang Disyariatkan<br />
A. Bertabaruk Dengan Ucapan Dan Perbuatan<br />
Banyak ucapan, perbuatan, serta keadaan yang diberkahi jika seorang hamba yang Muslim melakukannya untuk mencari kebaikan dan barakah melalui sebab tersebut dengan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia akan mendapatkan kebaikan dan barakah itu sesuai dengan niat dan kesungguhannya, jika tidak ada penghalang syar’i yang menghalanginya.<br />
<br />
Di antara ucapan-ucapan yang mengandung barakah adalah dzikir kepada Allah dan membaca Al Qur’an. Tidak tersamar lagi bagi seorang Muslim bahwa dengan dzikir dan membaca Al Qur’an seorang hamba dapat memperoleh kebaikan serta barakah yang banyak. Hal ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :<br />
<br />
Sesungguhnya Allah memiliki para Malaikat yang biasa berkeliling di jalan mencari orang-orang yang berdzikir. Jika mereka mendapatkan suatu kaum yang berdzikir kepada Allah, mereka pun saling memanggil : “Kemarilah pada apa yang kalian cari (hajat kalian).” Maka para Malaikat pun menaungi mereka dengan sayap mereka sampai ke langit dunia. Lalu Allah ‘azza wa jalla bertanya kepada para Malaikat itu sedangkan Allah Maha Tahu : “Apa yang diucapkan para hamba-Ku?” Para Malaikat menjawab : “Mereka bertasbih, bertakbir, bertahmid, dan memuji Engkau.” Allah bertanya : “Apakah mereka melihat Aku?” Para Malaikat tersebut menjawab : “Tidak, demi Allah, mereka tidak melihat Engkau.” Allah bertanya lagi : “Bagaimana sekiranya jika mereka melihat Aku?” Para Malaikat menjawab : “Sekiranya mereka melihat Engkau, niscaya mereka tambah bersemangat beribadah kepada-Mu dan lebih banyak memuji serta bertasbih kepada-Mu.” Allah bertanya : “Apa yang mereka minta?” Para Malaikat menjawab : “Mereka minta Surga kepada-Mu.” Allah bertanya : “Apakah mereka pernah melihat Surga?” Para Malaikat menjawab : “Sekiranya mereka pernah melihatnya, niscaya mereka lebih sangat ingin untuk mendapatkannya dan lebih bersungguh-sungguh memintanya serta sangat besar keinginan padanya.” Allah bertanya : “Dari apa mereka minta perlindungan?” Para Malaikat menjawab : “Dari neraka.” Allah bertanya : “Apakah mereka pernah melihatnya?” Para Malaikat menjawab : “Tidak, demi Allah, mereka belum pernah melihatnya.” Allah bertanya : “Bagaimana kalau mereka melihatnya?” Para Malaikat menjawab : “Seandainya mereka melihatnya, niscaya mereka tambah menjauh dan takut darinya.” Allah berfirman : “Aku persaksikan kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.” Seorang di antara Malaikat berkata : “Di antara mereka ada si Fulan yang tidak termasuk dari mereka (orang-orang yang berdzikir), dia hanya datang karena ada keperluan.” Allah berfirman : “Tidak akan celaka orang yang duduk bermajelis dengan mereka (majelis dzikir).” (HR. Bukhari)<br />
<br />
Dari hadits ini diketahui betapa agung barakah dzikir tersebut, ia mengandung pengampunan dosa-dosa dan jaminan masuk Surga. Bukan hanya bagi orang-orang yang berdzikir saja, tetapi juga mencakup orang yang duduk bersama mereka. Sedangkan membaca Al Qur’an termasuk jenis dzikir yang paling agung. Di dalamnya terdapat barakah dunia dan akhirat yang tidak ada yang mampu menghitungnya kecuali Allah ‘azza wa jalla. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :<br />
<br />
“Bacalah Al Qur’an karena sesungguhnya dia akan datang di akhirat nanti memberi syafaat kepada orang-orang yang membacanya.” (HR. Muslim)<br />
<br />
Di samping ucapan-ucapan ada pula perbuatan yang mengandung barakah jika seorang Muslim ber-iltizam dengannya dalam rangka ber-ittiba’ (mengikuti) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dia akan mendapat barakah yang agung dengan ijin Allah. Termasuk di antaranya Thalabul ‘Ilmi (menuntut ilmu) serta mengajarkannya dan juga shalat berjamaah. Demikian pula maju ke medan tempur untuk meraih keutamaan mati syahid di jalan Allah. Hal ini merupakan amal yang mengandung barakah yang tidak ada yang lebih agung daripadanya kecuali barakah iman dan barakah kenabian dan kerasulan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :<br />
<br />
“Orang yang mati syahid memiliki enam keutamaan di sisi Allah yaitu : Dia diampuni pada awal penyerangannya, diperlihatkan tempat duduknya di Surga, dilindungi dari adzab kubur, merasa aman dari ketakutan yang dahsyat, diletakkan di atas kepalanya mahkota kehormatan yang permatanya lebih baik daripada dunia beserta isinya, dinikahkan dengan tujuh puluh dua bidadari dan (diberi ijin) memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari keluarganya.” (HR. Tirmidzi dari Miqdam bin Ma’dikarib, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi 2/132)<br />
<br />
Di samping ucapan dan perbuatan, keadaan-keadaan yang diberkahi antara lain : Makan bersama dan dimulai dari pinggir, serta menjilat jari (setelah makan), dan makan secukupnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :<br />
<br />
“Berkumpullah kalian menikmati makanan dan sebutlah nama Allah, kalian akan diberkahi padanya.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud)<br />
<br />
Juga beliau bersabda :<br />
<br />
“Barakah itu akan turun di tengah-tengah makanan, maka makanlah dari pinggir dan jangan dari tengah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abu Dawud)<br />
<br />
Beliau juga memerintahkan untuk menjilat jari karena seseorang tidak tahu mana di antara makanan itu yang mengandung barakah.<br />
<br />
Beliau juga bersabda :<br />
<br />
“Takarlah makanan itu, kalian akan diberkahi padanya.” (HR. Bukhari)<br />
<br />
Semua ucapan atau perbuatan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, kemudian dilakukan seorang hamba dengan ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti Sunnah) niscaya akan menjadi penyebab turunnya barakah.<br />
<br />
B. Bertabaruk Dengan Tempat<br />
Allah menjadikan barakah pada beberapa tempat di muka bumi. Barangsiapa mencari barakah pada tempat tersebut, niscaya dia akan mendapatkannya dengan ijin Allah, jika dia beramal dengan ikhlas dan mutaba’ah. Tempat-tempat tersebut antara lain :<br />
<br />
1. Masjid-masjid<br />
<br />
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :<br />
<br />
“Tempat yang paling dicintai Allah di suatu negeri adalah masjid-masjidnya dan tempat yang paling dibenci Allah dalam suatu negeri adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim)<br />
<br />
Bertabaruk dengan masjid bukan dengan mengusap tanah atau temboknya. Karena tabaruk adalah perkara ibadah maka harus sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Mencari barakah melalui masjid-masjid adalah dengan i’tikaf di dalamnya, menunggu shalat lima waktu, shalat berjamaah, menghadiri majelis-majelis dzikir di sana, dan perkara-perkara yang disyariatkan lainnya. Adapun perkara ibadah yang tidak disyariatkan tidak akan mendatangkan barakah, bahkan termasuk perbuatan bid’ah.<br />
<br />
Di antara masjid yang memiliki keistimewaan tambahan dalam hal barakah adalah : Masjidil Haram, Masjid Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Masjidil Aqsa, dan Masjid Quba’. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :<br />
<br />
“Shalat di masjidku ini lebih baik seribu kali daripada shalat di masjid yang lain kecuali Masjidil Haram.” (HR. Bukhari dan Muslim)<br />
<br />
Dalam riwayat lain ada tambahan :<br />
<br />
“Dan shalat di Masjidil Haram lebih afdlal seratus kali daripada shalat di masjidku ini.” (HR. Bukhari dan Muslim)<br />
<br />
Sabda beliau pula :<br />
<br />
“Tidak boleh dilakukan perjalanan (jauh) kecuali kepada tiga masjid, yaitu masjidku ini, masjidil haram, dan masjidil aqsa.” (HR. Bukhari dan Muslim)<br />
<br />
Beliau bersabda tentang masjid Quba’ :<br />
<br />
“Barangsiapa bersuci di rumahnya lalu datang ke masjid Quba’ dan shalat padanya dengan satu shalat maka baginya seperti pahala umrah.” (HR. Ahmad, Hakim, An Nasa’i, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah)<br />
<br />
2. Kota Makkah, Madinah, dan Syam<br />
<br />
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang Makkah :<br />
<br />
“Demi Allah, engkau (Makkah) adalah bumi Allah yang paling baik dan paling dicintai-Nya. Sekiranya aku tidak diusir darimu, tidaklah aku akan keluar.” (HR. Ahmad, Hakim, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah)<br />
<br />
Demikian pula Madinah dan Syam, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan :<br />
<br />
“Barangsiapa menginginkan kejelekan terhadap penduduknya (Madinah), Allah akan menghancurkannya sebagaimana melelehnya garam dalam air.” (HR. Muslim)<br />
<br />
“Berbahagialah penduduk Syam.” Kami bertanya : “Kenapa?” Beliau menjawab : “Sesungguhnya para Malaikat Allah Yang Maha Rahman membentangkan sayap mereka di atasnya.” (HR. Ahmad, Hakim, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ Ash Shaghir)<br />
Sehingga orang yang bermukim di Makkah, Madinah, atau Syam dengan mengharap barakah Allah ‘azza wa jalla pada tempat tersebut, baik dalam hal tambahan rezki atau dihindarkan dari fitnah, berarti dia telah diberi taufiq untuk mendapatkan kebaikan yang banyak. Adapun kalau seorang hamba bertabaruk dengan mengusap tanah, batu-batuan, tembok dan pepohonannya, atau dengan mengambil tanahnya untuk dicampur dengan air dan dijadikan obat atau yang semisal itu, maka dia justru mendapatkan dosa karena mengamalkan bid’ah. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah bertabaruk dengan cara seperti itu.<br />
<br />
3. Arafah, Muzdalifah, dan Mina<br />
<br />
Ketiga tempat tersebut juga termasuk diberkahi karena banyak kebaikan yang turun kepada manusia di tempat-tempat tersebut berupa pengampunan dosa dan pembebasan dari neraka serta pahala yang besar sebagai barakah ber-ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian pula wuquf (menetap) di tempat tersebut pada waktu yang disyariatkan.<br />
<br />
C. Bertabaruk Dengan Waktu<br />
Allah subhanallahu wa ta'ala mengkhususkan beberapa waktu dalam hal keutamaan dan barakah. Barangsiapa memilih waktu-waktu tersebut untuk melakukan kebaikan padanya serta bertabaruk dengan menjalankan amal-amal yang disyariatkan pada waktu tersebut, niscaya dia akan memperoleh barakah yang agung. Seperti bulan Ramadlan, Lailatul Qadar, sepertiga malam terakhir, hari Jum’at, Senin, Kamis, bulan-bulan Haram, dan 10 hari bulan Dzulhijah. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :<br />
<br />
“Sungguh telah datang kepada kalian bulan Ramadlan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu Surga dibuka dan pintu-pintu neraka Jahim ditutup serta setan dibelenggu pada bulan tersebut. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Siapa yang terhalang (mendapatkan kebaikannya) maka sungguh ia terhalang (dari kebaikan yang banyak).” (HR. Ahmad dan dijayidkan oleh Al Albani karena syawahidnya dalam Misykah Al Mashabih)<br />
<br />
Adapun barakah yang Allah jadikan pada bulan Ramadlan antara lain berupa berupa pengampunan dosa, tambahan rezki bagi seorang Mukmin, pendidikan (jiwa), serta pahala yang besar di sisi Allah.<br />
<br />
Adapun Lailatul Qadar, keadaannya sangat agung sebagaimana firman Allah :<br />
<br />
“Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (Al Qadr : 3)<br />
<br />
Karena agungnya barakah pada malam tersebut sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan :<br />
<br />
“Berjaga-jagalah (untuk mendapatkan) Lailatul Qadr pada bilangan ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan.” (HR. Bukhari)<br />
<br />
Termasuk waktu yang diberkahi pula adalah 10 hari bulan Dzulhijah sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :<br />
<br />
“Tidak ada amal pada hari-hari (lain) yang lebih afdlal daripada 10 hari bulan Dzulhijah ini.” Mereka para shahabat pun bertanya : “Tidak pula jihad?” Beliau bersabda : “Tidak pula jihad, kecuali seseorang yang keluar menyabung nyawa dan hartanya dan tidak kembali sedikitpun.” (HR. Bukhari)<br />
<br />
Keutamaan hari ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijah) bagi orang yang berhaji telah dimaklumi. Allah membanggakan orang-orang yang wuquf di ‘Arafah kepada para Malaikat-Nya selama mereka datang semata-mata untuk mencari ampunan. Sedangkan berpuasa bagi yang tidak haji akan mendapatkan barakah yaitu diampuninya dosa-dosanya setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :<br />
<br />
“ … dan puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah untuk mengampuni setahun yang lalu dan setahun sesudahnya.” (HR. Muslim)<br />
<br />
Adapun hari Jum’at, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :<br />
<br />
“Sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan, dimasukkan ke dalam Surga dan dikeluarkan dari Surga. Tidak akan terjadi hari kiamat kecuali pada hari Jum’at.” (HR. Muslim)<br />
<br />
Adapun sepertiga malam terakhir, ketika Allah turun ke langit dunia, turun pula barakah yang agung bagi orang yang berdoa dan minta ampun pada waktu tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :<br />
<br />
Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun pada setiap malam ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Allah berfirman : “Siapa yang berdoa kepada-Ku, Aku akan mengabulkannya. Siapa yang minta kepada-Ku, Aku akan memberinya, dan siapa yang meminta ampun kepada-Ku, Aku akan mengampuninya.” (HR. Bukhari)<br />
<br />
Mencari barakah pada waktu-waktu tersebut harus dengan cara yang telah disyariatkan oleh Allah dan sesuai dengan bimbingan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Kalau seorang hamba mencari barakah pada waktu-waktu tersebut dengan amal yang tidak disyariatkan niscaya dia tidak akan diberi taufiq untuk mendapatkan barakah tersebut.<br />
<br />
Demikian pula barakah terdapat pada beberapa jenis makanan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seperti minyak zaitun, susu, al habbatus sauda’ (jinten hitam), madu, air zam-zam, dan kurma.<br />
<br />
Wallahu A’lam.</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107707680289358732.post-59628189325121023792011-03-18T08:14:00.000-07:002011-03-18T08:22:36.040-07:00Kedudukan Akal Dalam Islam<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">Akal adalah nikmat besar yang Allah titipkan dalam jasmani manusia. Nikmat yang bisa disebut hadiah ini menunjukkan akan kekuasaan Allah yang sangat menakjubkan. (Al-’Aql wa Manzilatuhu fil Islam, hal. 5)<br />
<br />
Oleh karenanya, dalam banyak ayat Allah memberi semangat untuk berakal (yakni menggunakan akalnya), di antaranya:</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُوْمُ مُسَخَّرَاتٌ بِأَمْرِهِ إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ<br />
</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya).” (An-Nahl: 12)</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
وَفِي اْلأَرْضِ قِطَعٌ مُتَجَاوِرَاتٌ وَجَنَّاتٌ مِنْ أَعْنَابٍ وَزَرْعٌ وَنَخِيْلٌ صِنْوَانٌ وَغَيْرُ صِنْوَانٍ يُسْقَى بِمَاءٍ وَاحِدٍ وَنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ فِي اْلأُكُلِ إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ<br />
</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ra’d: 4)</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
Sebaliknya Allah mencela orang yang tidak berakal seperti dalam ayat-Nya:</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
وَقَالُوْا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِيْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ<br />
</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">“Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (Al-Mulk: 10)</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “(Maknanya yaitu) tidak berakal dan tidak punya tamyiz (daya pemilah)… Bagaimanapun (hal itu) tidak terpuji dari sisi itu, sehingga tidaklah terdapat dalam kitab Allah serta dalam Sunnah Rasulullah pujian dan sanjungan bagi yang tidak berakal serta tidak punya tamyiz dan ilmu. Bahkan Allah telah memuji amal, akal dan pemahaman bukan hanya dalam satu tempat, serta mencela keadaan yang sebaliknya di beberapa tempat…” (Al-Istiqamah, 2/157)<br />
Kitapun dapat melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan beberapa bentuk kemuliaan terhadap akal, seperti:</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
1. Allah menjadikan akal sebagai tempat bergantungnya hukum sehingga orang yang tidak berakal tidak dibebani hukum. Nabi bersabda:</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الْمَجْنُوْنِ الْمَغْلُوْبِ عَلىَ عَقْلِهِ حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقَظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمُ </span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
“Pena diangkat dari tiga golongan: orang yang gila yang akalnya tertutup sampai sembuh, orang yang tidur sehingga bangun, dan anak kecil sehingga baligh.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Ad-Daruquthni dari shahabat ‘Ali dan Ibnu ‘Umar, Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: “Shahih” dalam Shahih Jami’, no. 3512)</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
2. Islam menjadikan akal sebagai salah satu dari lima perkara yang harus dilindungi yaitu: agama, akal, harta, jiwa dan kehormatan. (Al-Islam Dinun Kamil hal. 34-35)</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
3. Allah mengharamkan khamr untuk menjaga akal. Allah berfirman:</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al-Maidah: 90) <br />
Nabi bersabda:</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٍ <br />
</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">“Setiap yang memabukkan itu haram.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Musa Al-Asy‘ari)<br />
Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan: “Dalam rangka menjaga akal maka wajib ditegakkan had bagi peminum khamr.” (Al-Islam Dinun Kamil, hal. 34-35)</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
4. Tegaknya dakwah kepada keimanan berdasarkan kepuasan (kemantapan) akal. </span><br />
<br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"> Artinya, keimanan tidak berarti mematikan akal, bahkan Islam menyuruh akal untuk beramal pada bidangnya sehingga mendukung kekuatan iman dan tidak ada ajaran manapun yang memuliakan akal sebagaimana Islam memuliakannya, tidak menyepelekan dan tidak pula berlebihan. Sedangkan yang dilakukan para pengkultus akal yang mereka beritikad memuliakan akal, pada hakikatnya mereka justru menghinakan akal serta menyiksanya karena mambebani akal dengan sesuatu yang tidak mampu.<br />
Walaupun akal dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akal adalah sesuatu yang berada dalam jasmani makhluk. Maka ia sebagaimana makhluk yang lain, memiliki sifat lemah dan keterbatasan. </span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
As-Safarini rahimahullah berkata: “Allah menciptakan akal dan memberinya kekuatan adalah untuk berpikir dan Allah menjadikan padanya batas yang ia harus berhenti padanya dari sisi berfikirnya bukan dari sisi ia menerima karunia Ilahi. Jika akal menggunakan daya pikirnya pada lingkup dan batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya, ia akan tepat (menentukan) dengan ijin Allah. Tetapi jika ia menggunakan akalnya di luar lingkup dan batasnya yang Allah telah tetapkan maka ia akan membabi buta…” (Lawami’ul Anwar Al-Bahiyyah, hal. 1105)</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
Untuk itu kita perlu mengetahui di mana sesungguhnya bidangnya akal. Intinya bahwa akal tidak mampu menjangkau perkara-perkara ghaib di balik alam nyata yang kita saksikan ini, seperti pengetahuan tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, arwah, surga dan neraka yang semua itu hanya dapat diketahui melalui wahyu.</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
Nabi bersabda:</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
تَفَكَّرُوْا فِيْ أَلاَءِ اللهِ وَلاَ تَفَكَّرُوْا فِيْ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ<br />
</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">“Berpikirlah pada makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir pada Dzat Allah.” (HR. Ath-Thabrani, Al-Lalikai dan Al-Baihaqi dari Ibnu ‘Umar, lihat Ash-Shahihah no. 1788 dan Asy-Syaikh Al-Albani menghasankannya)</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوْتِيْتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيْلاً<br />
</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” (Al-Isra: 85)</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
Oleh karenanya, akal diperintahkan untuk pasrah dan mengamalkan perintah syariat meskipun ia tidak mengetahui hikmah di balik perintah itu. Karena, tidak semua hikmah dan sebab di balik hukum syariat bisa manusia ketahui. Yang terjadi, justru terlalu banyak hal yang tidak manusia ketahui sehingga akal wajib tunduk kepada syariat. <br />
Diumpamakan oleh para ulama bahwa kedudukan antara akal dengan syariat bagaikan kedudukan seorang awam dengan seorang mujtahid. Ketika ada seseorang yang ingin meminta fatwa dan tidak tahu mujtahid yang berfatwa (tidak tahu harus ke mana minta fatwa), maka orang awam itu pun menunjukkannya kepada mujtahid. Setelah mendapat fatwa, terjadi perbedaan pendapat antara mujtahid yang berfatwa dengan orang awam yang tadi menunjuki orang tersebut. Tentunya bagi yang meminta fatwa harus mengambil pendapat sang mujtahid yang berfatwa dan tidak mengambil pendapat orang awam tersebut karena orang awam itu telah mengakui keilmuan sang mujtahid dan bahwa dia (mujtahid) lebih tahu (lebih berilmu). (Lihat Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201) </span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
Al-Imam Az-Zuhri t mengatakan: “Risalah datang dari Allah, kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita menerima.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201)</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
Orang yang menggunakan akal tidak pada tempatnya, berarti ia telah menyalahgunakan dan melakukan kezaliman terhadap akalnya. Sesungguhnya madzhab filasafat dan ahli kalam yang ingin memuliakan akal dan mengangkatnya –demikian perkataan mereka– belum dan sama sekali tidak akan mencapai sepersepuluh dari sepersepuluh apa yang telah dicapai Islam dalam memuliakan akal -ini jika kita tidak mengatakan mereka telah berbuat jahat dengan sejahat-jahatnya terhadap akal. Di mana ia memaksakan akal masuk ke tempat yang tidak mungkin mendapatkan jalan ke sana. (Minhajul Istidlal, dinukil dari Al-’Aqlaniyyun hal. 21)</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
Akal yang terpuji dan akal yang tercela<br />
Menengok penjelasan yang telah lalu, dapat disimpulkan bahwa penggunaan akal terkadang terpuji, yaitu ketika pada tempatnya. Dan terkadang tercela yaitu ketika bukan pada tempatnya. Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. Sedang akal yang tercela adalah sebagaimana disimpulkan Ibnul Qayyim yang menyebutkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
1. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
2. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash, memahaminya serta mengambil hukum darinya.</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
3. Pendapat akal yang berakibat menolak asma (nama-nama) Allah , sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas (analogi) yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
4. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya As Sunnah.</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
5. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik (dari dirinya) dan prasangka. (Lihat I’lam Muwaqqi’in, 1/104-106, Al-Intishar, hal. 21, 24, Al-’Aql wa Manzilatuhu)<br />
Jadi, manakala kita mengambil sebuah kesimpulan dengan akal kita, kemudian ternyata hasilnya adalah salah satu dari lima yang tersebut di atas maka yakinlah bahwa itu pendapat yang tercela dan salah. Ia harus ditinggalkan dan menundukkan akal di hadapan kepada syariat.<br />
<br />
Akal yang sehat tidak akan menyelisihi syariat<br />
Disebutkan dalam kaidah ahlul kalam –ringkasnya– bahwa tatkala bertentangan antara akal dan wahyu maka mesti dikedepankan akal. (Asasuttaqdis, hal. 172-173)<br />
Dengan prinsip ini, mereka menolak sekian banyak nash yang shahih dulu maupun sekarang. Tentu kita tahu bahwa pendapat mereka adalah salah dan sangat berbahaya. Untuk mengetahui bathilnya pendapat mereka dengan singkat dan mudah cukup dengan kita merujuk kepada lima hal yang disebutkan Ibnul Qayyim t di atas.<br />
Lebih rinci para ulama seperti Ibnu Taimiyyah t menjelaskan: Sesuatu yang diketahui dengan jelas oleh akal, sulit dibayangkan akan bartentangan dengan syariat sama sekali. Bahkan dalil naqli yang shahih tidak akan bertentangan dengan akal yang lurus, sama sekali. Saya telah memperhatikan hal itu pada kebanyakan hal yang diperselisihkan oleh manusia. Saya dapati, sesuatu yang menyelisihi nash yang shahih dan jelas adalah syubhat yang rusak dan diketahui kebatilannya dengan akal. Bahkan diketahui dengan akal kebenaran kebalikan dari hal tersebut yang sesuai dengan syariat. Kita tahu bahwa para Rasul tidak memberikan kabar dengan sesuatu yang mustahil menurut akal tapi (terkadang) mengabarkan sesuatu yang membuat akal terkesima. Para Rasul itu tidak mengabarkan sesuatu yang diketahui oleh akal sebagai sesuatu yang tidak benar namun (terkadang) akal tidak mampu untuk menjangkaunya.</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
Karena itu wajib bagi orang-orang Mu’tazilah yang menjadikan akal mereka sebagai hakim terhadap nash-nash wahyu, demikian pula bagi mereka yang berjalan di atas jalan mereka serta meniti jejak mereka agar mengetahui bahwa tidak terdapat satu haditspun di muka bumi yang bertentangan dengan akal kecuali hadits itu lemah atau palsu. Wajib bagi mereka untuk menyelisishi kaidah kelompok Mu’tazilah, kapan terjadi pertentangan antara akal dan syariat menurut mereka maka wajib untuk mengedepankan syariat. Karena akal telah membenarkan syariat dalam segala apa yang ia kabarkan sedang syariat tidak membenarkan segala apa yang dikabarkan oleh akal. Demikian pula kebenaran syariat tidak tergantung dengan semua yang dikabarkan oleh akal.” (Dar’u Ta’arrudhil ‘Aql wan Naql, 1/155, 138)<br />
<br />
Ketika dalil bertentangan dengan akal<br />
Sesungguhnya pertentangan akal dengan syariat takkan terjadi manakala dalilnya shahih dan akalnya sehat. Namun terkadang muncul ketidakcocokan akal dengan dalil walaupun dalilnya shahih. Kalau terjadi hal demikian maka jangan salahkan dalil, namun curigailah akal. Di mana bisa jadi akal tidak memahami maksud dari dalil tersebut atau akal itu tidak mampu memahami masalah yang sedang dibahas dengan benar. Sedangkan dalil, maka pasti benarnya. </span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
Hal ini berangkat dari ajaran Al Qur’an dan As Sunnah yang mengharuskan kita untuk selalu kembali kepada dalil. Demikian pula anjuran para shahabat yang berpengalaman dengan Nabi dan mengalami kejadian turunnya wahyu. Seperti dikatakan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab: “Wahai manusia, curigailah akal kalian terhadap agama ini.” (Riwayat Ath-Thabrani, lihat Marwiyyat Ghazwah Al-Hudaibiyyah, hal. 177, 301)<br />
Beliau mengatakan demikian karena pernah membantah keputusan Nabi dengan pendapatnya, walaupun pada akhirnya tunduk. Beliau pada akhirnya melihat ternyata maslahat dari keputusan Nabi begitu besar dan tidak terjangkau oleh pikirannya. <br />
Oleh karenanya, Ibnul Qayyim mengatakan: “Jika dalil naqli bertentangan dengan akal, maka yang diambil adalah dalil naqli yang shahih dan akal itu dibuang dan ditaruh di bawah kaki, tempatkan di mana Allah meletakkannya dan menempatkan para pemiliknya.” (Mukhtashar As-Shawa’iq, hal. 82-83 dinukil dari Mauqif Al-Madrasah Al-‘Aqliyyah, 1/61-63)<br />
Abul Muzhaffar As-Sam’ani t ketika menerangkan Aqidah Ahlus Sunnah berkata: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka dan mencari agama dari keduanya. Apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya, mereka terima dan bersyukur kepada Allah di mana Allah perlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik-Nya. Tapi jika tidak sesuai dengan keduanya, maka mereka meninggalkannya dan mengambil Al Kitab dan As Sunnah kemudian menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya (Al Kitab dan As Sunnah) tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang hak sedang pendapat manusia kadang benar kadang salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits hal. 99)<br />
<br />
Bila akal didahulukan <br />
Jika akal didahulukan maka akan tergelincir pada sekian banyak bahaya:</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
1. Menyerupai Iblis –semoga Allah melaknatinya– ketika diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam , kemudian ia membangkang dan menentang dengan akalnya.</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلاَّ تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍْ<br />
</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">“Allah berfirman: ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?’ Iblis menjawab: ‘Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah’.” (Al-A’raf: 12)</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
2. Menyerupai orang kafir yang menolak keputusan Allah dengan akal mereka, seperti penentangan mereka terhadap kenabian Nabi Muhammad . Mereka katakan:</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
وَقَالُوْا لَوْلاَ نُزِّلَ هَذَا الْقُرْآنُ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيْمٍ<br />
</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">“Dan mereka berkata: ‘Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?’.” (Az-Zukhruf: 31)</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
3. Tidak mengambil faidah dari Rasul sedikitpun karena mereka tidak merujuk kepadanya pada perkara-perkara ketuhanan. Sehingga adanya Rasul menurut mereka seperti tidak ada. Keadaan mereka bahkan lebih jelek karena mereka tidak mengambil manfaat sedikitpun justru butuh untuk menolaknya.</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
4. Mengikuti hawa nafsu dan keinginan jiwa. Allah berfirman:</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ<br />
</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Qashash: 50) </span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
5. Menyebabkan kerusakan di muka bumi, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim.</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
6. Berkata dengan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya tanpa ilmu.</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ<br />
</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">“Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya.” (Al-Hajj: 8) <br />
Ini termasuk larangan terbesar.</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوْا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ<br />
</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui’.” (Al-A’raf: 33)</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
7. Menyebabkan perbedaan dan perpecahan pendapat.</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
8. Terjatuh dalam keraguan dan bimbang. [Al-Mauqih, 1/81-92]</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
Pantaslah kalau Al-Imam Adz-Dzahabi mengatakan tentang orang-orang yang tetap mengedepankan akalnya: “Jika kamu melihat ahlul kalam ahli bid’ah mengatakan: ‘Tinggalkan kami dari Al Qur’an dan hadits ahad dan tampilkan akal,’ maka ketahuilah bahwa ia adalah Abu Jahal.” (Siyar A’lamin Nubala, 4/472)</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107707680289358732.post-15823817976740396902011-03-18T08:07:00.001-07:002011-03-18T08:22:36.040-07:00MENGENAL SEJARAH DAN PEMAHAMAN AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">Sebelum kita berbicara tentang topik dan judul pembahasan ini, sebaiknya kita mengenal beberapa pengertian istilah yang akan dipakai dalam pembahasan ini.<br />
<br />
<br />
A. Beberapa Pengertian<br />
<br />
1. As-Sunnah<br />
<br />
As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh atau cara pelaksanaan suatu amalan baik itu dalam perkara kebaikan maupun perkara kejelekan.<br />
<br />
Maka As-Sunnah yang dimaksud dalam istilah Ahlus Sunnah ialah jalan yang ditempuh dan dilaksanakan oleh Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam serta para shahabat beliau, dan pengertian Ahlus Sunnah ialah orang-orang yang berupaya memahami dan mengamalkan As-Sunnah An-Nabawiyyah serta menyebarkan dan membelanya.<br />
<br />
2. Al-Jama'ah<br />
<br />
Menurut bahasa Arab pengertiannya ialah dari kata Al-Jamu' dengan arti mengumpulkan yang tercerai berai. Adapun dalam pengertian Asyari'ah, Al-Jama'ah ialah orang-orang yang telah sepakat berpegang dengan kebenaran yang pasti sebagaimana tertera dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits dan mereka itu ialah para shahabat, tabi'in (yakni orang-orang yang belajar dari shahabat dalam pemahaman dan pengambilan Islam) walaupun jumlah mereka sedikit, sebagaimana pernyataan Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu : "Al-Jama'ah itu ialah apa saja yang mencocoki kebenaran, walaupun engkau sendirian (dalam mencocoki kebenaran itu). Maka kamu seorang adalah Al-Jama'ah."<br />
<br />
3. Al-Bid'ah<br />
<br />
Segala sesuatu yang baru dan belum pernah ada asal muasalnya dan tidak biasa dikenali. Istilah ini sangat dikenal dkialangan shahabat Nabi Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam karena beliau selalu menyebutnya sebagai ancaman terhadap kemurnian agama Allah, dan diulang-ulang penyebutannya pada setiap hendak membuka khutbah. Jadi secara bahasa Arab, bid'ah itu bisa jadi sesuatu yang baik atau bisa juga sesuatu yang jelek. Sedangkan dalam pengertian syari'ah, bid'ah itu semuanya jelek dan sesat serta tidak ada yang baik. Maka pengertian bid'ah dalam syariah ialah cara pengenalan agama yang baru dibuat dengan menyerupai syariah dan dimaksudkan dengan bid'ah tersebut agar bisa beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala lebih baik lagi dari apa yang ditetapkan oleh syari'ah-Nya. Keyakinan demikian ditegakkan tidak di atas dalil yang shahih, tetapi hanya berdasar atas perasaan, anggapan atau dugaan. Bid'ah semacam ini terjadi dalam perkara aqidah, pemahaman maupun amalan.<br />
<br />
4. As-Salaf<br />
<br />
Arti salaf secara bahasa adalah pendahulu bagi suatu generasi. Sedangkan dalam istilah syariah Islamiyah as-salaf itu ialah orang-orang pertama yang memahami, mengimami, memperjuangkan serta mengajarkan Islam yang diambil langsung dari shahabat Nabi salallahu 'alaihi wa sallam, para tabi'in (kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari para shahabat) dan para tabi'it tabi'in (kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari tabi'in). istilah yang lebih lengkap bagi mereka ini ialah as-salafus shalih. Selanjutnya pemahaman as-salafus shalih terhadap Al-Qur'an dan Al-Hadits dinamakan as-salafiyah. Sedangkan orang Islam yang ikut pemahaman ini dinamakan salafi. Demikian pula dakwah kepada pemahaman ini dinamakan dakwah salafiyyah.<br />
<br />
5. Al-Khalaf<br />
<br />
Suatu golongan dari ummat Islam yang mengambil fislafat sebagai patokan amalan agama dan mereka ini meninggalkan jalannya as-salaf dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits. Awal mula timbulnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak diketahui secara pasti kapan dan dimana munculnya karena sesungguhnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah mulai depopulerkan oleh para ulama salaf ketika semakin mewabahnya berbagai bid'ah dikalangan ummat Islam.<br />
<br />
Yang jelas wabah bid'ah itu mulai berjangkit pada jamannya tabi'in dan jaman tabi'in ini yang bersuasana demikian dimulai di jaman khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya juz 1 hal.84, Syarah Imam Nawawi bab Bayan Amal Isnad Minad Din dengan sanadnya yang shahih bahwa Muhammad bin Sirrin menyatakan, "Dulu para shahabat tidak pernah menanyakan tentang isnad (urut-urutan sumber riwayat) ketika membawakan hadits Nabi salallahu 'alaihi wa sallam. Maka ketika terjadi fitnah yakni bid'ah mereka menanyakan, 'sebutkan para periwayat yang menyampaikan kepadamu hadits tersebut.' Dengan cara demikian mereka dapat memeriksa masing-masing para periwayat tersebut, apakah mereka itu dari ahlus sunnah atau ahlul bid'ah. Bila dari ahlus sunnah diambil dan bila ahlul bid'ah ditolak."<br />
<br />
Riwayat yang sama juga dibawakan oleh Khalid Al-Baghdadi dengan sanadnya dalam kitab beliau. Riwayat ini memberitahukan kepada kita bahwa pada jaman Muhammad bin Sirrin sudah ada istilah ahlus sunnah dan ahlul bid'ah. Muhammad bin Sirrin lahir pada tahun 33 H dan meniggal pada tahun 110 H. kemudian istilah ini juga muncul pada jaman Imam Ahmad bin Hambal (lahir 164 dan meninggal 241 H) khususnya ketika terjadi fitnah pemahaman sesat yang menyatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk, bertentangan dengan ahlus sunnah yang menyatakan bahwa Al-Qur'an itu Kalamullah.<br />
<br />
Fitnah terjadi di jaman pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun Al-Abbasi. Imam Ahmad pada masa fitnah ini adalah termasuk tokoh yang paling berat mendapat sasaran permusuhan dan kekejaman para tokoh ahlul bid'ah melalui Khalifah tersebut. Mulai saat itulah istilah ahlus sunnah wal jama'ah menjadi sangat populer hingga kini. Jadi, istilah ahlu sunnah timbul dan menjadi populer ketika mulai serunya pergulatan antara as-salaf dan al-khalaf, akibat adanya infiltrasi berbagai filsafat asing ke dalam masyarakat Islam. Ahlus Sunnah wal Jama'ah kemudian menjadi simbol sikap istiqamahnya (tegarnya) para ulama ahlul hadits dalam berpegang dengan as-salafiyah ketika para tokoh ahlul bid'ah meninggalkannya dan ketika berbagai pemahaman dan amalan bid'ah mendominasi masyarakat Islam.<br />
<br />
B. Dalil-Dalil Ahlus Sunnah wal Jama'ah<br />
<br />
Mengapa ahlu sunnah demikian bersikeras merujuk pada pemahaman para shahabat Nabi salallahu 'alaihi wa sallam dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits? Ini adalah pertanyaan yang tentunya membutuhkan dalil-dalil Al-Qur'an dan Al-Hadits untuk menjawabnya. Ahlus Sunnah merujuk kepada para shahabat dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits dikarenakan Allah dan Rasul-Nya banyak sekali memberitahukan kemuliaan mereka, bahkan memujinya. Faktor ini membuat para shahabat menjadi acuan terpercaya dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai landasan utama bagi Syari'ah Islamiyah.<br />
<br />
Dalil dari Al-Qur'an dan Al-Hadits shahih yang menjadi pegangan ahlus sunnah dalam merujuk kepada pemahaman shahabat sangat banyak sehingga tidak mungkin semuanya dimuat dalam tulisan yang singkat ini. Sebagian diantaranya perlu saya tulis disini sebagai gambaran singkat bagi pembaca tentang betapa kokohnya landasan pemahaman ahlus sunnah terhadap syariah ini.<br />
<br />
1. Para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam adalah kecintaan Allah dan mereka pun sangat cinta kepada Allah :<br />
<br />
"Sesungguhnya Allah telah ridha kepada orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Hai Muhammad) di bawah pohon (yakni Baitur Ridwan) maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan keterangan atas mereka dan memberi balasan atas mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).(Al-Fath:18)<br />
<br />
Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah ridha kepada para shahabat yang turut membaiat Rasulullah salallahu alaihi wa sallam di Hudhaibiyyah sebagai tanda bahwa mereka telah siap taat kepada beliau dalam memerangi kufar (kaum kafir) Quraisy dan tidak lari dari medan perang.<br />
<br />
Diriwayatkan bahwa yang ikut ba'iah tersebut seribu empat ratus orang. Dalam ayat lain, Allah Sunahanahu wa Ta'ala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, siapa di antara kalian yang murtad dari agama-Nya (yakni keluar dari Islam) niscaya Allah akan datangkan suatu kaum yang Ia mencintai mereka dan mereka mencintai Allah, bersikap lemah lembut terhadap kaum mukminin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Alah dan tidak takut cercaan si pencerca. Yang demikian itu adalah keutamaan dari Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki dan Allah itu Maha Mendengar dan Maha Mengetahui."(Al-Maidah:54)<br />
<br />
Ath-Thabari membawakan beberapa riwayat tentang tafsir ayat ini antara lain yang beliau nukilkan dari beberapa riwayat dengan jalannya masin-masing, bahwa Al-Hasan Al-Basri, Adh-Dhahadh, Qatadah, Ibnu Juraij, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah Abu Bakar Ash-Shidiq dan segenap shahabat Nabi setelah wafatnya Rasulullah salallahu alaihi wa sallam dalam memerangi orang yang murtad.<br />
<br />
2. Para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam adalah umat yang adil yang dibimbing oleh Rasulullah salallahu alaihi wa sallam.<br />
<br />
"Dan demikianlah Kami jadikan kalian adalah umat yang adil agar kalian menjadi saksi atas sekalian manusia dan Rasul menjadi saksi atas kalian."(Al-Baqarah:143)<br />
<br />
Yang diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di ayat ini ialah para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam. Mereka adalah kaum mukminin generasi pertama yang terbaik yang ikut menyaksikan turunnya ayat ini dan generasi pertama yang disebutkan dalam ayat Al-Qur'an. Ibnu Jarir Ath-Thabari menerangkan: "Dan aku berpandangan bahwasanya Allah Ta'ala menyebut mereka sebagai "orang yang ditengah" karena mereka bersikap tengah-tengah dalam perkara agama, sehingga mereka itu tidaklah sebagai orang-orang yang ghulu (ekstrim, melampaui batas) dalam beragama sebagaimana ghulunya orang-orang Nashara dalam masalah peribadatan dan pernyataan mereka tentang Isa bin Maryam alaihi salam. Dan tidak pula umat ini mengurangi kemuliaan Nabiyullah Isa alaihi salam, sebagaimana tindakan orang-orang Yahudi yang merubah ayat-ayat Allah dalam kitab-Nya dan membunuh para nabi-nabi mereka dan berdusta atas nama Allah dan mengkufurinya. Akan tetapi ummat ini adalah orang-orang yang adil dan bersikap adil sehingga Allah mensikapi mereka dengan keadilan, dimana perkara yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling adil.<br />
<br />
3. Para shahabat adalah teladan utama setelah Nabi dalam beriman<br />
<br />
Ditegaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br />
<br />
"Kalau mereka itu beriman seperti imannya kalian (yaitu kaum mukminin) terhadapnya, maka sungguh mereka itu mendapatkan perunjuk dan kalau mereka berpaling mereka itu dalam perpecahan. Maka cukuplah Allah bagimu (hai Muhammad) terhadap mereka dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui."(Al-Baqarah:137)<br />
<br />
Ayat ini menegaskan bahwa imannya kaum mukminin itu adalah patokan bagi suatu kaum untuk mendapat petunjuk Allah. Kaum mukminin yang dimaksud yang paling mencocoki kebenaran sebagaimana yang dibawa oleh Nabi salallahu alaihi wa sallam tidak lain ialah para shahabat Nabi yang paling utama dan generasi sesudahnya yang mengikuti mereka.<br />
<br />
Juga ditegaskan pula hal ini oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Surat Al-Fath 29 :<br />
<br />
"Muhammad itu adalah Rasulullah, dan orang-orang yang besertanya keras terhadap orang-orang kafir, berkasih sayang sesama mereka. Engkau lihat mereka ruku dan sujud mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya. Terlihat pada wajah-wajah mereka bekas sujud. Demikianlah permisalan mereka di Taurat, dan demikian pula permisalan mereka di Injil. Sebagaimana tanaman yang bersemi kemudian menguat dan kemudian menjadi sangat kuat sehingga tegaklah ia diatas pokoknya, yang mengagumkan orang yang menanamnya, agar Allah membikin orang-orang kafir marah pada mereka. Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman dari kalangan mereka itu ampunan dan pahala yang besar."<br />
<br />
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur'an yang menjadi dalil bagi Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam merujuk kepada para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits. Tentunya dalil-dalil dari Al-Qur'an tersebut berdampingan pula dengan puluhan bahkan ratusan hadists shahih yang menerangkan keutamaan shahabat secara keseluruhan ataupun secara individu.<br />
<br />
Dari hadits-hadits berikut dapat disimpulkan bahwa :<br />
<br />
1. Kebaikan para shahabat tidak mungkin disamai :<br />
<br />
"Jangan kalian mencerca para shahabatku, seandainya salah seorang dari kalian berinfaq sebesar gunung Uhud, tidaklah ia mencapai ganjarannya satu mud(ukuran gandum sebanyak dua telapak tangan diraparkan satu dengan lainnya) makanan yang dishodaqahkan oleh salah seorang dari mereka dan bahkan tidak pula mencapai setengah mudnya."(HR. Bukhari dan Muslim)<br />
<br />
2. Para shahabat adalah sebaik-baik generasi dan melahirkan sebaik-baik generasi penerus pula :<br />
<br />
"Dari Imran bin Hushain radhiallahu anhu bahwa Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda: 'Sebaik-baik ummatku adalah yang semasa denganku kemudian generasi sesudahnya (yakni tabi'in), kemudian generasi yang sesudahnya lagi (yakni tabi'it tabi'in). Imran mengatakan: 'Aku tidak tahu apakah Rasulullah menyebutkan sesudah masa beliau itu dua generasi atau tiga.' Kemudian Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda: 'Kemudian sesungguhnya setelah kalian akan datang suatu kaum yang memberi persaksian padahal ia tidak diminta persaksiannya, dan ia suka berkhianat dan tidak bisa dipercaya, dan mereka suka bernadzar dan tidak memenuhi nadzarnya, dan mereka berbadan gemuk yakni gambaran orang-orang yang serakah kepadanya'."(HR Bukhari)<br />
<br />
3. Para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang pilihan yang diciptakan Allah untuk mendampingi Nabi-Nya :<br />
<br />
"Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda: 'Sesungguhnya Allah telah memilih aku dan juga telah memilih bagiku para shahabatku, maka Ia menjadikan bagiku dari mereka itu para pembantu tugasku, dan para pembelaku, dan para menantu dan mertuaku. Maka barang siapa mencerca mereka, maka atasnyalah kutukan Allah dan para malaikat-Nya an segenap manusia. Allah tidak akan menerima di hari Kiamat para pembela mereka yang bisa memalingkan mereka dari adzab Allah."(HR Al-Laalikai dan Hakim, SHAHIH)<br />
<br />
Dan masih banyak lagi hadits-hadits shahih yang menunjukkan betapa tingginya kedudukan para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam di dalam pandangan Nabi.<br />
<br />
Maka kalau Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits telah memuliakan para shahabat dan menyuruh kita memuliakannya, sudah semestinya kalau Ahlus Sunnah wal Jama'ah menjadikan pemahaman, perkataan, dan pengamalan para shahabat terhadap Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai patokan utama dalam menilai kebenaran pemahamannya. Ahlus sunnah juga sangat senang dan mantap dalam merujuk kepada para shahabat Nabi dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits.</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107707680289358732.post-59175357577564631082011-03-18T08:06:00.001-07:002011-03-18T08:22:36.040-07:00KEBERANIAN SEJATI<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">“Tidak semua orang memiliki keberanian sejati. Tahukah anda apakah keberanian sejati itu? Keberanian sejati adalah sikap bersedia dikoreksi bila salah dan siap menerima kebenaran meskipun dari orang yang memiliki kedudukan lebih rendah.” <br />
<br />
Berkata memang mudah. Namun untuk mempraktekkan apa yang diucapkan butuh pengorbanan yang besar. Bahkan terkadang harus dengan taruhan nyawa. Orang yang berbicara dengan kata yang diolah demikian rupa dan disusun rapi dan indah sehingga mampu membuat orang terkesima, biasanya mudah diacungi jempol dan dianggap sebagai orang “hebat”. Walaupun dalam kesempatan lain dia melanggar dan menelan perkataannya sendiri.<br />
<br />
Bila penilaian untuk menjadikan seseorang sebagai murabbi (pembimbing) cukup dengan perkataan yang membuat umat terkesima, maka sadarilah bahwa Allah subhanahu wa ta'ala telah mengingatkan kepada Rasul-Nya agar berhati-hati dari orang demikian (artinya):<br />
<br />
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah subhanahu wa ta'ala. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta.” (Al An’am: 116)<br />
<br />
“Maka berpalinglah (wahai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan kami, dan tidak menginginkan melainkan kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka.” (An Najm: 29-30)<br />
<br />
Engkau jangan merasa aman dan terlalu percaya diri, terlebih angkuh dan sombong. Telah berlalu suri tauladan yang buruk yang bisa kita jadikan pelajaran. Sebuah kejadian yang menimpa orang-orang yang memiliki ilmu bagaikan gunung menjulang setinggi langit, ibadah yang kuat, zuhud, qana’ah, dan sifat-sifat mulia yag lain yang menghiasi bajunya. Namun dia harus menanggalkan kemuliaannya itu di hadapan seorang wanita yang kurang dan lemah akalnya. Dialah ‘Imran bin Haththan (salah seorang tokoh Sunni, namun setelah menikah dengan puteri pamannya, seorang wanita Khawarij, justru dia menjadi tokoh Khawarij. Bahkan dia memuji Ibnu Muljim pembunuh Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu). <br />
Oleh karena itu dengarlah bimbingan Allah subhanahu wa ta'ala kepada Rasul-Nya (artinya):<br />
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan senja hari dengan mengharap wajah-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al Kahfi: 28)<br />
<br />
Semoga dengan peringatan ayat-ayat ini engkau terbangun dari tidur lalu bergegas menuju orang-orang yang menginginkan keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Duduk bersama mereka adalah bimbingan dan keselamatan. Dan keselamatan diri dan agama tidak bisa ditukar oleh apapun juga.<br />
Setan Bersama Orang Yang Menyendiri<br />
<br />
Serigala akan berani menerkam apabila seekor kambing melepaskan diri dari kelompoknya dan berjalan penuh percaya diri tanpa peduli. Ingatlah, di hadapanmu ada yang lebih tinggi dari dirimu.<br />
<br />
Ingatkah engkau ketika iblis dengan penuh kesabaran merayu bapak dan ibu kita Adam dan Hawa yang pada akhirnya keduanya harus menelan kepahitan hidup di atas ujian yang tadinya di atas kehidupan yang diliputi rahmat dan nikmat Allah subhanahu wa ta'ala. Engkau tidak akan bisa menyamai Nabi Adam Alaihissalam. Oleh karena itu, kembalilah kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan berjalan bersama orang-orang yang mengejar ridha Allah subhanahu wa ta'ala dan mencari keselamatan dari-Nya.<br />
<br />
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan bahayanya menyendiri dalam bermalam dan berjalan ketika safar.<br />
<br />
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk menyendiri ketika bermalam dan menyendiri ketika safar.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani di dalam Ash Shahihah)<br />
<br />
“Pengendara seorang diri (adalah) pelaku maksiat, dua pengendara (adalah) dua pelaku maksiat, dan tiga pengendara itulah pengendara yang benar.” (HR. Malik, Abu Dawud, At Tirmidzi, dan lain-lain dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash).<br />
<br />
Al Imam Ath Thabari mengatakan: “Peringatan ini merupakan adab dan bimbingan dikarenakan kengerian yang akan dialami ketika sendirian dan bukan haram hukumnya. Seseorang yang berjalan di padang sahara seorang diri atau orang yang bermalam seorang diri tidak akan aman dari kengerian, terlebih kalau dia memiliki pemikiran yang jelek atau memiliki hati yang lemah. Yang benar adalah, manusia dalam permasalahan ini berbeda-beda keadaannya. Adanya larangan dan peringatan tersebut untuk menutup kemungkinan-kemungkinan di atas. Oleh karena itu, dibenci (makruh) melakukan safar seorang diri dengan tujuan menutup pintu-pintu (kejahatan tersebut). Dan dibencinya dua orang lebih ringan dibanding dengan menyendiri. (Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, 1/132)<br />
Demikian hakikat perjalanan di dunia bila menyendiri, akan dihantui marabahaya yang tidak kecil bahkan akan mengancam keselamatan. Bagaimana lagi kalau melakukan perjalanan menuju Allah ta'ala, sebagai persinggahan akhir dan terakhir. Haruskah kita melepaskan diri dari jalan orang yang beriman (para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam)? Berjalan seorang diri dengan penuh keberanian menantang dan melanggar pagar yang telah dibuat Allah Azza wa Jalla? Bukankah marabahaya yang mengancam (di akhirat) akan lebih besar dan dahsyat dibandingkan dengan bahaya yang mengancam di dunia? Bukankah kobaran api yang menyala dengan bahan bakar manusia dan batu itu lebih mengerikan?<br />
<br />
Keberanian Menerima Kebenaran Adalah Keberanian Yang Sejati<br />
<br />
Guru teladan adalah guru yang siap menerima nasihat apabila salah dan siap kembali kepada kebenaran apabila tersesat tanpa menggugat kebenaran itu dan tanpa meremehkan siapa yang membawanya. Kebenaran adalah modal keselamatan, dan kebenaran itu lebih berharga daripada kita. Kebenaranlah yang menjadi akhir dari setiap usahanya. Dari itu ia menjunjung tinggi amanat Allah Azza wa Jalla ketika Dia mengatakan (artinya):<br />
“Demi masa, seusungguhnya manusia dalam keadaan merugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran.” (Al ‘Ashr: 1-3)<br />
<br />
Mengangkat nasehat dalam kebenaran menjadi tujuan yang meliputi lubuk hatinya. Kapan saja dia mendengar kebenaran dan dimana menemukannya, dia segera mengambil dan berpegang dengannya.<br />
<br />
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ ؟ قَالَ : ﷲ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِم<br />
“Agama ini adalah nasihat.” Kami mengatakan: “bagi siapa?” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Bagi Allah Subhanahu wa ta'ala, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan orang awam mereka.” (HR. Muslim)<br />
<br />
Dalam buku Qawa’id wa Fawaid (hal. 95) disebutkan: “Cukup bagi seseorang berada dalam kemuliaan ketika dia melaksanakan apa yang telah dipukul oleh makhluk Allah ta'ala yang mulia dari kalangan para nabi dan rasul. Nasehat merupakan sebab yang membuat tinggi derajat para nabi. Maka barangsiapa yang menginginkan ketinggian dalam penilaian Rabb langit dan bumi, hendaklah dia melaksanakan tugas yang mulia ini.”<br />
<br />
Pembimbing teladan adalah orang yang berusaha menjauhkan diri dari sifat:<br />
“Menolak kebenaran dan mengentengkan orang lain.” (HR. Muslim)<br />
Keberanian dan sikap tegas dalam menerima kebenaran adalah keberanian yang terpuji dan sejati. Allah ta'ala mensifati kaum yang beriman dengan firman-Nya (artinya):<br />
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dengan keputusan yang kamu berikan dan mereka menerima sepenuhnya.” (An Nisa: 65)<br />
“Sesungguhnya jawaban orang-orang yang beriman bila mereka dipanggil kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya agar Rasul menghukumi (mengadili) diantara mereka ialah ucapan: “Kami mendengar dan kami patuh.” Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An Nur: 51)<br />
“Dan tetaplah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz Dzariyat: 55)<br />
<br />
Ibnu Katsir mengatakan: “Sesungguhnya peringatan (nasihat) itu akan bermanfaat bagi hati yang beriman.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/238)<br />
<br />
Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di mengatakan: “Allah subhanahu wa ta'ala memberitakan bahwa peringatan tersebut akan bermanfaat bagi orang yang beriman karena pada diri mereka ada keimanan, rasa takut, taubat dan mengikuti ridha Allah subhanahu wa ta'ala, yang semua itu mengharuskan peringatan tersebut bermanfaat baginya, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta'ala (artinya):<br />
“Oleh sebab itu berilah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat. Orang-orang yang takut kepada Allah subhanahu wa ta'ala akan mendapat pelajaran, orang-orang yang kafir dan celaka akan menjauhinya.” (Al A’la: 9-11)<br />
<br />
Adapun yang tidak memiliki iman dan tidak ada kesiapan untuk menerima peringatan, maka peringatan kepadanya tidak akan bermanfaat bagaikan tanah tandus yang hujan pun tidak akan bermanfaat baginya sedikitpun. Golongan ini apabila datang kepada mereka ayat Allah subhanahu wa ta'ala mereka tidak beriman dengannya sampai mereka melihat adzab yang pedih.” (Taisirul Karimirrahman, hal. 755)<br />
Wallahu a’lam bishshowab.</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107707680289358732.post-10251088637961262882011-03-18T08:05:00.000-07:002011-03-18T08:22:36.040-07:00Kemiskinan yang Kalian Takutkan?<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">Kebanyakan manusia takut terjatuh ke dalam kemiskinan. Mereka berusaha dengan berbagai cara untuk menghindarinya. Mereka begitu sedih dan berduka cita ketika mengalami kekurangan harta. Bahkan sampai-sampai di antara mereka ada yang menukar agamanya hanya untuk mendapatkan sebagian harta benda duniawi. Seperti datang ke dukun, paranormal dan yang sejenisnya untuk meminta jimat, jampi-jampi dan sejenisnya kepada mereka. Atau memelihara/meminta bantuan makhluk halus (baca:jin) dalam rangka mendapat kekayaan. Dengan ini mereka telah menjual aqidah dan agamanya dengan kesenangan duniawi yang rendah dan sesaat. Nas`alullaahas salaamah wal 'aafiyah.<br />
Benarkah kemiskinan yang perlu kita takutkan? Benarkah kemiskinan yang dikhawatirkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam atas ummatnya?<br />
<br />
عَنْ عَمْرو بْنِ عَوْفٍ الأَنْصَارِيِّ، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ بَعَثَ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ إِلَى الْبَحْرَيْنِ يَأْتِي بِجِزْيَتِهَا، فَقَدِمَ بِمَالٍ مِنَ الْبَحْرَيْنِ، فَسَمِعَتِ الأَنْصَارُ بِقُدُوْمِ أَبِي عُبَيْدَةَ، فَوَافَوْا صَلاَةَ الْفَجْرِ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ، فَلَمَّا صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ، اِنْصَرَفَ، فَتَعَرَّضُوْا لَهُ، فَتَبَسَّمَ رَسُوْلُ اللهِ حِيْنَ رَآهُمْ، ثُمَّ قَالَ: ((أَظُنُّكُمْ سَمِعْتُمْ أَنَّ أَبَا عُبَيْدَةَ قَدِمَ بِشَيْءٍ مِنَ الْبَحْرَيْنِ)) فَقَالُوْا: أَجَل يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَقَالَ: ((أَبْشِرُوْا وَأَمِّلُوْا مَا يَسُرُّكُمْ، فَوَاللهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوْهَا كَمَا تَنَافَسُوْهَا، فَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ))<br />
Dari 'Amr bin 'Auf Al-Anshariy radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus Abu 'Ubaidah Ibnul Jarrah radhiyallahu 'anhu ke negeri Bahrain untuk mengambil upeti dari penduduknya (karena kebanyakan mereka adalah Majusi �pent). Lalu dia kembali dari Bahrain dengan membawa harta. Maka orang-orang Anshar mendengar kedatangan Abu 'Ubaidah. Lalu mereka bersegera menuju masjid untuk melaksanakan shalat shubuh bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selesai shalat beliau pun berpaling (menghadap ke arah mereka). Lalu mereka menampakkan keinginannya terhadap apa yang dibawa Abu 'Ubaidah dalam keadaan mereka butuh kepadanya. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun tersenyum ketika melihat mereka.<br />
Kemudian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Aku menduga kalian telah mendengar bahwa Abu 'Ubaidah telah datang dengan membawa sesuatu (harta) dari Bahrain." Maka mereka menjawab, "Tentu Ya Rasulullah." Lalu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Bergembiralah dan harapkanlah apa-apa yang akan menyenangkan kalian. Maka demi Allah! Bukan kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian. Akan tetapi aku khawatir akan dibentangkan dunia atas kalian sebagaimana telah dibentangkan atas orang-orang sebelum kalian. Lalu kalian pun berlomba-lomba padanya sebagaimana mereka berlomba-lomba padanya. Kemudian dunia itu akan menghancurkan kalian sebagaimana telah menghancurkan mereka." (HR. Al-Bukhariy no.3158 dan Muslim no.2961)<br />
<br />
Jangan Takut dengan Kemiskinan!<br />
Ketika Abu 'Ubaidah kembali dengan membawa harta dari negeri Bahrain, terdengarlah hal ini oleh orang-orang Anshar. Lalu mereka pun bersegera mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melaksanakan shalat shubuh. Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selesai shalat, mereka menampakkan keinginannya terhadap apa yang dibawa Abu 'Ubaidah dalam keadaan mereka butuh kepadanya. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun tersenyum yakni tertawa tanpa mengeluarkan suara. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tersenyum karena mereka datang dalam keadaan mengharapkan harta.<br />
Lalu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Aku menduga kalian telah mendengar bahwa Abu 'Ubaidah telah datang dengan membawa sesuatu (harta) dari Bahrain." Maka mereka menjawab, "Tentu Ya Rasulullah." Yakni kami telah mendengarnya dan kami sengaja datang untuk mendapatkan bagian kami.<br />
Kemudian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Bergembiralah dan harapkanlah apa-apa yang akan menyenangkan kalian. Maka demi Allah! Bukan kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian."<br />
Berarti kemiskinan bukanlah yang dikhawatirkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam atas kita.<br />
Bahkan kadang-kadang kemiskinan bisa menjadi kebaikan bagi seseorang ketika dia bersabar dan tetap taat kepada Allah ? dalam kemiskinannya tersebut.<br />
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Bukan kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian." Yakni aku tidak mengkhawatirkan kemiskinan atas kalian.<br />
Karena sesungguhnya orang yang miskin secara umum lebih dekat kepada kebenaran daripada orang yang kaya.<br />
Perhatikanlah oleh kalian keadaan para rasul! Siapakah yang mendustakan mereka? Yang mendustakan mereka adalah para pembesar kaumnya, orang-orang yang paling jeleknya dan orang-orang kaya. Dan sebaliknya, kebanyakan yang mengikuti mereka adalah orang-orang miskin. Sampai pun Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, kebanyakan yang mengikuti beliau adalah orang-orang miskin.<br />
Maka kemiskinan bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Jangan sampai kita takut miskin atau tidak bisa makan. Jangan sampai selalu terbetik dalam hati kita, "Besok kita makan apa?" Jangan khawatir! Yang penting kita berusaha mencari rizki dengan cara yang halal, berdo'a dan bertawakkal kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah telah menjamin rizki seluruh makhluk-Nya.<br />
<br />
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا<br />
"Dan tidak ada suatu yang melata pun (yakni manusia dan hewan) di muka bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya." (Huud:6)<br />
Bahkan sesuatu yang harus kita khawatirkan adalah ketika dibentangkan dunia kepada kita. Yakni ketika kita diuji dengan banyaknya harta benda. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Akan tetapi aku khawatir akan dibentangkan dunia atas kalian sebagaimana telah dibentangkan atas orang-orang sebelum kalian. Lalu kalian pun berlomba-lomba padanya sebagaimana mereka berlomba-lomba padanya. Kemudian dunia itu akan menghancurkan kalian sebagaimana telah menghancurkan mereka."<br />
Menghancurkan kalian artinya menghilangkan agama kalian yakni dikarenakan dunia, kalian menjadi lalai dan meninggalkan ketaatan kepada Allah.<br />
<br />
Bahayanya Dunia bagi Seorang Muslim<br />
Dunia sangat berbahaya bagi seorang muslim. Inilah kenyataannya. Lihatlah keadaan orang-orang di sekitar kita. Ketika mereka lebih dekat kepada kemiskinan (yakni dalam keadaan miskin), mereka lebih bertakwa kepada Allah dan lebih khusyu'. Rajin shalat berjama'ah di masjid, menghadiri majelis 'ilmu dan lain-lain. Namun, ketika banyak hartanya, mereka semakin lalai dan semakin berpaling dari jalan Allah. Dan muncullah sikap melampaui batas dari mereka.<br />
Akhirnya, sekarang manusia menjadi orang-orang yang selalu merindukan keindahan dunia dan perhiasannya: mobil, rumah, tempat tidur, pakaian dan lain-lainnya. Dengan ini semuanya, mereka saling membanggakan diri antara satu dengan lainnya. Dan mereka berpaling dari amalan-amalan yang akan memberikan manfaat kepadanya di akhirat.<br />
Jadilah majalah-majalah, koran-koran dan media lainnya tidaklah membicarakan kecuali tentang kemegahan dunia dan apa-apa yang berkaitan dengannya. Dan mereka berpaling dari akhirat, sehingga rusaklah manusia kecuali orang-orang yang Allah kehendaki.<br />
Maka kesimpulannya, bahwasanya dunia ketika dibukakan �kita memohon kepada Allah agar menyelamatkan kami dan kalian dari kejelekannya- maka dunia itu akan membawa kejelekan dan akan menjadikan manusia melampaui batas.<br />
<br />
كَلاَّ إِنَّ الإِنْسَانَ لَيَطْغَى. أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى<br />
"Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup." (Al-'Alaq:6-7)<br />
Dan sungguh Fir'aun telah berkata kepada kaumnya,<br />
<br />
يَاقَوْمِ أَلَيْسَ لِي مُلْكُ مِصْرَ وَهَذِهِ الأَنْهَارُ تَجْرِي مِنْ تَحْتِي أَفَلاَ تُبْصِرُونَ<br />
"Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah kalian tidak melihat(nya)?" (Az-Zukhruf:51)<br />
Fir'aun berbangga dengan dunia. Oleh karena itulah, maka dunia adalah sesuatu yang sangat berbahaya.<br />
Hadits di atas mirip dengan hadits berikut:<br />
<br />
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: جَلَسَ رَسُوْلُ اللهِ عَلَى الْمِنْبَرِ، وَجَلَسْنَا حَوْلَهُ، فَقَالَ: ((إِنَّ مِمَّا أَخَافُ عَلَيْكُمْ مِنْ بَعْدِي مَا يُفْتَحُ عَلَيْكُمْ مِنْ زَهْرَةِ الدُّنْيَا وَزِيْنَتِهَا))<br />
Dari Abu Sa'id Al-Khudriy radhiyallahu 'anhu dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam duduk di atas mimbar dan kami pun duduk di sekitar beliau. Lalu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya di antara yang paling aku takutkan atas kalian sepeninggalku adalah ketika dibukakan atas kalian keindahan dunia dan perhiasannya." (HR. Al-Bukhariy no.1465 dan Muslim no.1052)<br />
<br />
Dunia Itu Manis dan Hijau<br />
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan tentang keadaan dunia sekaligus memperingatkan ummatnya dari fitnahnya.<br />
<br />
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: ((إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللهَ تَعَالَى مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا، فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ))<br />
Dari Abu Sa'id Al-Khudriy radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau. Dan sesungguhnya Allah subhanahu wa ta'ala menjadikan kalian pemimpin padanya. Lalu Dia akan melihat bagaimana amalan kalian. Maka takutlah kalian dari fitnahnya dunia dan takutlah kalian dari fitnahnya wanita." (HR. Muslim no.2742)<br />
Sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, "Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau." Yakni manis rasanya dan hijau pemandangannya, memikat dan menggoda. Karena sesuatu itu apabila keadaannya manis dan sedap dipandang mata, maka dia akan menggoda manusia. Demikian juga dunia, dia manis dan hijau sehingga akan menggoda manusia.<br />
Akan tetapi beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga menyatakan, "Dan sesungguhnya Allah subhanahu wa ta'ala menjadikan kalian pemimpin padanya." Yakni Dia menjadikan kalian pemimpin-pemimpin padanya, sebagian kalian menggantikan sebagian yang lainnya dan sebagian kalian mewarisi sebagian yang lainnya.<br />
"Lalu Dia akan melihat bagaimana amalan kalian." Apakah kalian mengutamakan dunia atau akhirat? Karena inilah beliau shallallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan, "Maka takutlah kalian dari fitnahnya dunia dan takutlah kalian dari fitnahnya wanita."<br />
<br />
Harta dan Kekayaan yang Bermanfaat<br />
Akan tetapi apabila Allah memberikan kekayaan kepada seseorang, lalu kekayaannya tersebut membantunya untuk taat kepada Allah, dia infakkan hartanya di jalan kebenaran dan di jalan Allah, maka jadilah dunia itu sebagai kebaikan.<br />
Kita semua tidak bisa lepas dari dunia secara keseluruhan. Kita butuh tempat tinggal/rumah, kendaraan, pakaian dan lain sebagainya. Bahkan kalau benda-benda tadi kita gunakan untuk membantu ketaatan kepada Allah niscaya kita mendapatkan pahala. Sebagai contohnya adalah kendaraan. Kita gunakan untuk menghadiri majelis 'ilmu atau kegiatan lainnya yang bermanfaat. Bahkan kita pun bisa mengajak teman-teman ikut bersama kita. Dengan menggunakan kendaraan sendiri kita bisa menghindari kemaksiatan seperti ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram) dan lainnya.<br />
Akan tetapi jangan sampai kendaraan ataupun harta benda duniawi menjadikan kita bangga, sombong sehingga akhirnya merendahkan dan meremehkan orang lain. Jadikan harta tersebut sebagai alat bantu untuk taat kepada Allah yang dengannya kita bisa menjadi orang yang bersyukur.<br />
Bahkan sebagian 'ulama mewajibkan untuk memiliki kendaraan pribadi. Dengan kendaraan tersebut seorang muslim akan terhindar dari ikhtilath dan kemaksiatan lainnya. Sedangkan menghindari maksiat adalah wajib. Sementara di dalam kaidah ushul fiqh disebutkan, "Suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu adalah wajib."<br />
Akan tetapi tentunya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Jangan sampai karena ingin mendapatkan kendaraan, dia mati-matian mencari harta siang dan malam. Yang terbenak dalam otaknya adalah uang, uang dan uang. Sehingga lupa berdzikir kepada Allah, mempelajari agamanya, menghadiri majelis ilmu, shalat berjama'ah dan ketaatan lainnya.<br />
Ingatlah selalu firman Allah subhanahu wa ta'ala,<br />
<br />
فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ<br />
"Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian." (At-Taghaabun:16)<br />
<br />
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا<br />
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (Al-Baqarah:286)<br />
Oleh karena itulah, keadaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah dan pada keridhaan-Nya seperti kedudukan orang 'alim yang telah Allah berikan hikmah dan ilmu kepadanya, yang mengajarkan ilmunya kepada manusia.<br />
Maka di sana ada perbedaan antara orang yang rakus/ambisi terhadap dunia dan berpaling dari akhirat dengan orang yang Allah berikan kekayaan yang digunakannya untuk mendapatkan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat dan dia infakkan di jalan Allah.<br />
<br />
رَبَّنَا ءَاتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ<br />
"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka." (Al-Baqarah:201)<br />
Semoga Allah subhanahu wa ta'ala selalu membimbing kita untuk mengamalkan apa-apa yang dicintai dan diridhai-Nya serta memperbaiki urusan-urusan kita. Aamiin. Wallaahu A'lam.<br />
<br />
Maraaji': Syarh Riyaadhish Shaalihiin 2/186-189, Maktabah Ash-Shafaa; dan Bahjatun Naazhiriin 1/528, Daar Ibnil Jauziy.</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107707680289358732.post-74380906741049472122011-03-18T08:03:00.000-07:002011-03-18T08:22:36.041-07:00Malaikat, Manusia dan Jin Tidak Dapat Mengetahui yang Ghaib<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">Mempercayai hal-hal yang ghaib merupakan salah satu syarat dari benarnya keimanan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br />
<br />
الم. ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ. الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ. وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِاْلآخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَ. أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ<br />
<br />
“Alif laam miim. Kitab (Al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur`an) yang diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu. Serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Al-Baqarah: 1-5)<br />
Ghaib adalah segala sesuatu yang tersembunyi dan tidak terlihat oleh manusia, seperti surga, neraka dan apa yang ada di dalamnya, alam malaikat, hari akhir, alam langit dan yang lainnya yang tidak bisa diketahui manusia kecuali bila ada pemberitaan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. (Lihat Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim, 1/53)<br />
Alam jin dan wujud jin dalam bentuk asli seperti yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala ciptakan adalah ghaib bagi kita. Namun golongan jin dapat berubah-ubah bentuk –dengan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala– dan amat mungkin bagi mereka melakukan penampakan, sehingga kita dapat melihatnya dalam wujud yang bukan aslinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br />
<br />
إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ<br />
<br />
“Sesungguhnya ia (setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (Al-A’raf: 27)<br />
Dari Abu As-Sa`ib, maula Hisyam bin Zuhrah, beliau bercerita bahwa dirinya pernah berkunjung ke rumah Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu, katanya: “Aku mendapatinya tengah mengerjakan shalat, akupun duduk menunggunya hingga beliau selesai. Tiba-tiba aku mendengar adanya gerakan pada bejana tempat minum yang ada di pojok rumah. Aku menoleh ke arahnya dan ternyata ada seekor ular. Aku segera meloncat untuk membunuhnya, namun Abu Sa’id memberi isyarat kepadaku agar aku duduk. Ketika ia selesai dari shalatnya, ia menunjuk ke sebuah rumah yang ada di kampung itu sambil berkata: ‘Apakah engkau lihat rumah itu?’ ‘Ya,’ jawabku. Ia kemudian menuturkan, ‘Dahulu yang tinggal di rumah itu adalah seorang pemuda yang baru saja menjadi pengantin. Kala itu kami berangkat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ke Khandaq dan pemuda itupun ikut bersama kami. Saat tengah hari, pemuda itu meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk pulang menemui istrinya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengizinkannya sambil berpesan: ‘Bawalah senjatamu karena aku khawatir engkau bertemu dengan orang-orang dari Bani Quraidhah.’ Pemuda itu mengambil senjatanya, kemudian pulang menemui istrinya. Setibanya di rumah, ternyata istrinya sedang berdiri di antara dua daun pintu. Ia mengarahkan tombaknya kepada istrinya untuk melukainya karena merasa cemburu karena istrinya berada di luar rumah. Istrinya berkata kepadanya: “Tahan dulu tombakmu, dan masuklah ke dalam rumah sehingga engkau akan tahu apa yang menyebabkan aku sampai keluar rumah!”<br />
Pemuda itu masuk, dan ternyata terdapat seekor ular besar yang melingkar di atas tempat tidur. Pemuda itu lantas menghunuskan tombaknya dan menusukkannya pada ular tersebut. Setelah itu, ia keluar dan menancapkan tombaknya di dinding rumah. Ular itu (yang belum mati, red.) menyerangnya dan terjadilah pergumulan dengan ular tersebut. Tidak diketahui secara pasti mana di antara keduanya yang lebih dahulu mati, ular atau pemuda itu.’<br />
Abu Sa’id radhiallahu 'anhu melanjutkan ceritanya: ‘Kami menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan melaporkan kejadian itu kepadanya dan kami sampaikan kepada beliau: ‘Mohonlah kepada Allah agar menghidupkannya demi kebahagiaan kami.’ Beliau menjawab: ‘Mohonlah ampun untuk shahabat kalian itu!’<br />
Selanjutnya beliau bersabda: ‘Sesungguhnya di Madinah terdapat golongan jin yang telah masuk Islam, maka jika kalian melihat sebagian mereka –dalam wujud ular– berilah peringatan tiga hari. Dan apabila masih terlihat olehmu setelah itu, bunuhlah ia, karena sebenarnya dia adalah setan.” (HR. Muslim no. 2236 dan 139 dari Abu Sa`ib, maula Hisyam bin Zuhrah)1<br />
<br />
Para Rasul Tidak Mengetahui yang Ghaib<br />
Telah disebutkan sebelumnya bahwa sekumpulan jin datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian mendengarkan bacaan Al-Qur`an. Ketika itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahui kehadiran mereka kecuali setelah sebuah pohon memberitahunya –dan Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha Kuasa untuk menjadikan pohon dapat berbicara– seperti yang disebutkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu. Ini menunjukkan bahwa beliau tidak mengetahui perkara ghaib kecuali yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala kabarkan. (Nashihati li Ahlis Sunnah Minal Jin)<br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br />
<br />
قُلْ لاَ أَقُوْلُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللهِ وَلاَ أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلاَ أَقُوْلُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوْحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي اْلأَعْمَى وَالْبَصِيْرُ أَفَلاَ تَتَفَكَّرُوْنَ<br />
<br />
<br />
“Katakanlah: ‘Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak pula aku mengetahui yang ghaib dan tidak pula aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengetahui kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.’ Katakanlah: ‘Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?’ Maka apakah kamu tidak memikirkannya?” (Al-An’am: 50)<br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:<br />
<br />
قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ اللهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوْءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيْرٌ وَبَشِيْرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُوْنَ<br />
<br />
“Katakanlah: ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman’.” (Al-A’raf: 188)<br />
<br />
Para Malaikat Tidak Mengetahui yang Ghaib<br />
Kendatipun para malaikat adalah mahluk yang dekat di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, namun untuk urusan ghaib ternyata mereka pun tidak mengetahuinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman saat pertama kali hendak menciptakan manusia:<br />
<br />
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ. وَعَلَّمَ آدَمَ اْلأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُوْنِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاَءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ. قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ<br />
<br />
“Dan ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.’ Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!’ Mereka menjawab: ‘Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana’.” (Al-Baqarah: 30-32)<br />
<br />
Kaum Jin Tidak Mengetahui yang Ghaib<br />
Banyak sekali orang yang tertipu dan keliru kemudian mengira jika bangsa jin mengetahui yang ghaib, terutama bagi mereka yang terjun dalam kancah sihir dan perdukunan. Akibatnya, kepercayaan dan ketergantungan mereka terhadap jin sangatlah besar sehingga menggiring mereka kepada kekufuran.<br />
Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan tegas telah mementahkan anggapan ini dalam firman-Nya:<br />
<br />
فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلاَّ دَابَّةُ اْلأَرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُوْنَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِيْنِ<br />
<br />
“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan.” (Saba`: 14)<br />
<br />
Manusia Tidak Dapat Mengetahui Alam Ghaib<br />
Jika para rasul yang merupakan utusan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam menyampaikan syariat-Nya kepada manusia tidak mengetahui hal yang ghaib sedikitpun, maka sudah tentu manusia secara umum tidak ada yang dapat mengetahui alam ghaib atau menjangkau batasan-batasannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala hanya memerintahkan agar mengimani perkara yang ghaib dengan keimanan yang benar.<br />
Keyakinan seperti ini agaknya sudah mulai membias. Apalagi saat ini banyak sekali orang yang menampilkan dirinya sebagai narasumber untuk urusan-urusan yang ghaib, mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan masa depan seseorang, dari mulai jodoh, karir, bisnis, atau yang lainnya.<br />
Kata ‘dukun’ barangkali sekarang ini jarang didengar dan bahkan serta merta mereka akan menolak bila dikatakan dukun. Dalihnya, apalagi kalau bukan seputar “Kami tidak meminta syarat-syarat apapun kepada anda”, “Kami tidak menyuruh memotong ayam putih”, dan sebagainya. Padahal praktek seperti itu adalah praktek dukun juga. Bedanya, dukun sekarang ini berpendidikan sehingga bahasa yang digunakannya pun bahasa-bahasa ilmiah, sehingga mereka jelas enggan disebut dukun.<br />
Tak ada seorang pun yang dapat melihat dan mengetahui perkara ghaib, menentukan ini dan itu terhadap sesuatu yang belum dan akan terjadi di masa datang. Jika toh bisa, itu semata-mata bantuan dan tipuan dari setan, sehingga dusta bila itu dihasilkan dari latihan dan olah jiwa.<br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br />
<br />
وَلَقَدْ صَدَّقَ عَلَيْهِمْ إِبْلِيسُ ظَنَّهُ فَاتَّبَعُوْهُ إِلاَّ فَرِيْقًا مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ. وَمَا كَانَ لَهُ عَلَيْهِمْ مِنْ سُلْطَانٍ إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَنْ يُؤْمِنُ بِاْلآخِرَةِ مِمَّنْ هُوَ مِنْهَا فِي شَكٍّ وَرَبُّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَفِيْظٌ<br />
<br />
“Dan sesungguhnya Iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka lalu mereka mengikutinya, kecuali sebahagian orang-orang yang beriman. Dan tidak adalah kekuasaan Iblis terhadap mereka, melainkan hanyalah agar Kami dapat membedakan siapa yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat dari siapa yang ragu-ragu tentang hal itu. Dan Rabbmu Maha Memelihara segala sesuatu.” (Saba`: 20-21)<br />
Ada pula sebagian manusia yang memiliki aqidah rusak, di mana mereka meyakini adanya sebagian orang yang keberadaannya ghaib dari pandangan manusia, dan biasanya identik dengan orang-orang yang dianggap telah suci jiwanya. Mereka mengistilahkannya dengan roh suci atau rijalul ghaib.<br />
Ketahuilah bahwa tidak ada istilah manusia ghaib. Tidak ada pula istilah rijalul ghaib di tengah-tengah manusia. Rijalul ghaib itu tiada lain adalah jin. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br />
<br />
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ اْلإِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوْهُمْ رَهَقًا<br />
<br />
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (Al-Jin: 6) (Lihat Qa’idah ‘Azhimah, hal. 152)<br />
Alam ghaib tetaplah ghaib, sesuatu yang tidak bisa diketahui dan dilihat manusia kecuali apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala beritakan.<br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br />
<br />
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلاَّ مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُوْلٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا<br />
<br />
“(Dia adalah) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (Al-Jin: 26-27)<br />
<br />
Kunci-kunci Ghaib adalah Milik Allah Subhanahu wa Ta'ala Semata<br />
Sesungguhnya tak ada seorangpun yang mengetahui perkara ghaib dan hal-hal yang berhubungan dengannya, kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah banyak menegaskan hal ini dalam Al-Qur`an. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br />
<br />
قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ وَمَا يَشْعُرُوْنَ أَيَّانَ يُبْعَثُوْنَ<br />
<br />
“Katakanlah: ‘Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah’, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (An-Naml: 65)<br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br />
<br />
إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي اْلأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ<br />
<br />
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat, dan Dialah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)<br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:<br />
<br />
ذَلِكَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيْزُ الرَّحِيْمُ<br />
<br />
“Yang demikian itu ialah Rabb Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (As-Sajdah: 6)<br />
Dalam ayat lainnya:<br />
<br />
قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُوْنَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُوْنَ<br />
<br />
“Allah berfirman: ‘Bukankah sudah Aku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?’.” (Al-Baqarah: 33)<br />
Banyak sekali dalil-dalil yang berhubungan dengan masalah ini. Namun mungkin yang disebutkan di sini, sudah dapat mewakili bahwa Allah-lah yang mengetahui hal ihwal alam ghaib. Sedangkan manusia, tak ada yang bisa mengetahui dan melihatnya kecuali apa-apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala kuasakan.<br />
Mudah-mudahan semua uraian-uraian di atas bermanfaat bagi kita semua. Amin yaa Mujiibas sa`iliin.<br />
Wal ’ilmu ‘indallah.<br />
<br />
1 Terjadi perbedaan pendapat dalam hal membunuh ular yang berada di rumah. Sebagian ulama berpendapat bahwa pemberian peringatan terlebih dahulu itu hanya berlaku di Madinah, adapun di tempat selainnya bisa langsung dibunuh. Ini adalah pendapat Al-Imam Malik, dan yang dikuatkan oleh Al-Maziri. Sebagian yang lain berpendapat bahwa pemberian peringatan terlebih dahulu bersifat umum, bukan hanya di Madinah. Kecuali ular Al-Abtar yakni yang berekor pendek dan Dzu Thufyatain, yang mempunyai dua garis lurus berwarna putih di punggungnya, boleh langsung dibunuh walaupun di rumah. </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107707680289358732.post-55347348308157297772011-03-18T08:00:00.001-07:002011-03-30T01:04:56.765-07:00SESAJEN, ADAKAH DALAM ISLAM ?<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiB2oolbv3FJb90KYVEO25cJVYafEK5zVvRG9es1-AVVEyi1vhOKjkc5g6rjAOAPebzbDvcAf3zulJqsLilRtd-xsbOkL4lhUcCiO1_mMTw-YjkB2SjHVvOxnuleMGMxF32d-SLNgkXajM/s1600/DSCN4118-1.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiB2oolbv3FJb90KYVEO25cJVYafEK5zVvRG9es1-AVVEyi1vhOKjkc5g6rjAOAPebzbDvcAf3zulJqsLilRtd-xsbOkL4lhUcCiO1_mMTw-YjkB2SjHVvOxnuleMGMxF32d-SLNgkXajM/s1600/DSCN4118-1.jpg" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">Sesajen berarti sajian atau hidangan. Sesajen memiliki nilai sakral di sebagaian besar masyarakat kita pada umumnya. Acara sakral ini dilakukan untuk ngalap berkah (mencari berkah) di tempat-tempat tertentu yang diyakini keramat atau di berikan kepada benda-benda yang diyakini memiliki kekuatan ghaib, semacam keris, trisula dan sebagainya untuk tujuan yang bersifat duniawi.<br />
<br />
Sedangkan waktu penyajiannya di tentukan pada hari-hari tertentu. Seperti malam jum'at kliwon, selasa legi dan sebagainya. Adapun bentuk sesajiannya bervariasi tergantung permintaan atau sesuai "bisikan ghaib" yang di terima oleh orang pintar, paranormal, dukun dan sebagainya.<br />
<br />
Banyak kaum muslimin berkeyakinan bahwa acara tersebut merupakan hal biasa bahkan dianggap sebagai bagian daripada kegiatan keagamaan. Sehingga diyakini pula apabila suatu tempat atau benda keramat yang biasa diberi sesaji lalu pada suatu pada saat tidak diberi sesaji maka orang yang tidak memberikan sesaji akan kualat (celaka, terkena kutukan).<br />
<br />
Anehnya perbuatan yang sebenarnya pengaruh dari ajaran Animisme dan Dinamisme ini masih marak dilakukan oleh orang-orang pada jaman modernisasi yang serba canggih ini. Hal ini membuktikan pada kita bahwa sebenarnya manusianya secara naluri/ fitrah meyakini adanya penguasa yang maha besar, yang pantas dijadikan tempat meminta, mengadu, mengeluh, berlindung, berharap dan lain-lain. Fitrah inilah yang mendorong manusia terus mencari Penguasa yang maha besar ? Pada akhirnya ada yang menemukan batu besar, pohon-pohon rindang, kubur-kubur, benda-benda kuno dan lain-lain, lalu di agungkanlah benda-benda tersebut. Pengagungan itu antara lain diekspresikan<br />
dalam bentuk sesajen yang tak terlepas dari unsur-¬unsur berikut: menghinakan diri, rasa takut, berharap, tawakal, do'a dan lainnya. Unsur-unsur inilah yang biasa disebut dalam islam sebagai ibadah.<br />
<br />
Islam datang membimbing manusia agar tetap berjalan diatas fitrah yang lurus dengan diturunkannya syari'at yang agung ini. AllahTa'ala menerangkan tentang fitrah yang lurus tersebut dalam Al Qur'an<br />
<br />
"Rasul-rasul mereka berkata apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, pencipta langit dan bumi ?" (QS. Ibrahim : 10).<br />
<br />
Allah juga berfirman :<br />
<br />
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah), tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. " (QS. Ar Rum : 30).<br />
<br />
Berkenaan dengan ayat-ayat diatas, nabi pun bersabda :<br />
“Setiap anak dilahirkan diatas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau penyembah api." <br />
(HR Bukhari, Muslim dan Abu Hurairah, Al Irwa' :1220).<br />
<br />
Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Qudsi :<br />
"(Allah berfirman) Aku menciptakan hamba¬-hamba-Ku diatas agama yang lurus (hanif) lalu syetan menyesatkan mereka<br />
(HR. Muslim dan Ahmad dari shahabat 'Iash bin Himar).<br />
<br />
Imam Ibnu Abil Izzi menerangkan, "Bahwa bayi itu terlahir sesuai dengan fitrah.<br />
Artinya bukan dalam keadaan kosong jiwanya, melainkan mengerti tauhid dan syirik." (Syarah Aqidah Thahawiyah : 83).<br />
Fitrah ini akan tetap terjaga dengan cara menghambakan diri kepada Allah sepenuhnya. Inilah yang disebut dengan tauhid ibadah. <br />
Allah Ta'ala berfirman :<br />
"Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar menyembah-Ku. " (QS. Ad Dzariyat : 56).<br />
lbnu Katsir menerangkan ayat ini bahwa, "Al¬lah menciptakan manusia dan jin agar mereka menyembah-Nya ". (Tafsir Ibnu Katsir surat Ad Dzariyat : 56).<br />
<br />
Ibadah yang penting untuk diketahui adalah ibadah hati seperti do'a, takut, berharap, tawakal, cinta dan lain-lain. Semua bentuk ibadah yang agung itu haruslah ditujukan kepada Allah semata, sebagaimana firman-Nya :<br />
"Dan sesungguhnya masjid-masjid itu milik Allah maka janganlah kamu menyeru bersama Allah itu seorangpun !" (QS. Al Jin : 18).<br />
<br />
Allah Ta'ala berfirman :<br />
"Janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar beriman. " (QS. Ali Imran : 175).<br />
<br />
Allah berfirman :<br />
"Barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaknya ia beramal shalih dan jangan melakukan kesyirikan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan seorangpun. " (QS. A1 Kahfi : 110).<br />
Pengharapan yang dibarengi ketundukan dan penghinaan diri haruslah ditujukan kepada Allah semata. Jika seseorang memperuntukkan raja' (harapan) seperti ini kepada selain-Nya, sesungguhnya ia telah berbuat kesyirikan. Syariat Islam tidak melarang ummatnya untuk memiliki sikap raja' akan tetapi raja' yang dipuji dan dianjurkan adalah yang diiringi dengan amal shalih dan taubat dari kemaksiatan (SyarahUshuluts Tsalasah : 53).<br />
<br />
Allah juga berfirman :<br />
"Dan hanya kepada Allah hendaklah kamu bertawakal jika benar-benar kamu orang-orang beriman." (QS. Al Maidah : 23)<br />
Tawakal berarti menyandarkan segala urusan kepada-Nya semata baik itu urusan yang mendatangkan keuntungan maupun yang mengakibatkan kerugian atau madharat.<br />
<br />
Keterangan-keterangan diatas menunjukkan bahwa acara ritualis sesajen bertentangan dengan syariat Islam yang murni. Sebab didalamnya mengandung pengagungan,penghambaan,pengharapan, takut yang semestinya hanya diperuntukkan kepada Allah semata. Mudah-mudahanAllah jauhkan kita dari segala bentuk kesyirikan. Allahu Ta'ala A'lam<br />
<br />
Sumber : Risalah Dakwah Al Atsari</span>Unknownnoreply@blogger.com0