Jumat, 18 Maret 2011

Prinsip-Prinsip Mengkaji Agama

Menuntut ilmu agama tidak cukup bermodal semangat saja. Harus tahu pula rambu-rambu yang telah digariskan syariat. Tujuannya agar tidak bingung menghadapi seruan dari banyak kelompok dakwah. Dan yang paling penting, tidak terjatuh kepada pemahaman yang menyimpang!

Dewasa ini banyak sekali ‘jalan’ yang ditawarkan untuk mempelajari dienul Islam. Masing-masing pihak sudah pasti mengklaim jalannya sebagai yang terbaik dan benar. Melalui berbagai cara mereka berusaha meraih pengikut sebanyak-banyaknya. Lihatlah sekeliling kita. Ada yang menawarkan jalan dengan memenej qalbunya, ada yang mengajak untuk ikut hura-huranya politik, ada yang menyeru umat untuk segera mendirikan Khilafah Islamiyah, ada pula yang berkelana dari daerah satu ke daerah lain mengajak manusia ramai-ramai ke masjid.

Namun lihat pula sekeliling kita. Kondisi umat Islam masih begini-begini saja. Kebodohan dan ketidakberdayaan masih menyelimuti. Bahkan sepertinya makin bertambah parah.
Adakah yang salah dari tindakan mereka? Ya, bila melihat kondisi umat yang semakin jatuh dalam kegelapan, sudah pasti ada yang salah. Mengapa mereka tidak mengajak umat untuk kembali mempelajari agamanya saja? Mengapa mereka justru menyibukkan umat dengan sesuatu yang berujung kesia-siaan?

Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai pewaris Nabi selalu berusaha mengamalkan apa yang diwasiatkan Rasulullah untuk mengajak umat kembali mempelajari agamanya. Dalam berbagai hal, Ahlussunnah tidak akan pernah keluar dari jalan yang telah digariskan oleh Nabi . Lebih-lebih dalam mengambil dan memahami agama di mana hal itu merupakan sesuatu yang sangat asasi pada kehidupan. Inilah yang sebenarnya sangat dibutuhkan umat.

Berikut kami akan menguraikan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah dalam mengkaji agama, namun kami hanya akan menyebutkan hal-hal yang sangat pokok dan mendesak untuk diungkapkan. Tidak mungkin kita menyebut semuanya karena banyaknya sementara ruang yang ada terbatas.

Makna Manhaj

Manhaj dalam bahasa Arab adalah sebuah jalan terang yang ditempuh. Sebagaimana dalam firman Allah:

“Dan kami jadikan untuk masing-masing kalian syariat dan minhaj.” (Al-Maidah: 48)

Kata minhaj , sama dengan kata manhaj . Kata minhaj dalam ayat tersebut diterangkan oleh Imam ahli tafsir Ibnu Abbas, maknanya adalah sunnah. Sedang sunnah artinya jalan yang ditempuh dan sangat terang. Demikian pula Ibnu Katsir menjelaskan (lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/67-68 dan Mu’jamul Wasith).

Yang diinginkan dengan pembahasan ini adalah untuk menjelaskan jalan yang ditempuh Ahlussunnah dalam mendapatkan ilmu agama. Dengan jalan itulah, insya Allah kita akan selamat dari berbagai kesalahan atau kerancuan dalam mendapatkan ilmu agama. Inilah rambu-rambu yang harus dipegang dalam mencari ilmu agama:

1. Mengambil ilmu agama dari sumber aslinya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. Allah  berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan jangan kalian mengikuti para pimpinan selain-Nya. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya.” (Al-A’raf: 3)
Dan Rasulullah  bersabda:
“Ketahuilah bahwasanya aku diberi Al Qur’an dan yang serupa dengannya bersamanya.” (Shahih, HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Miqdam bin Ma’di Karib. Lihat Shahihul Jami’ N0. 2643)

2. Memahami Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih yakni para sahabat dan yang mengikuti mereka dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sebagaimana sabda Nabi :
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian yang setelah mereka kemudian yang setelah mereka.” (Shahih, HR Bukhari dan Muslim)

Kebaikan yang berada pada mereka adalah kebaikan yang mencakup segala hal yang berkaitan dengan agama, baik ilmu, pemahaman, pengamalan dan dakwah.

Ibnul Qayyim berkata: “Nabi mengabarkan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasinya secara mutlak. Itu berarti bahwa merekalah yang paling utama dalam segala pintu-pintu kebaikan. Kalau tidak demikian, yakni mereka baik dalam sebagian sisi saja maka mereka bukan sebaik-baik generasi secara mutlak.” (lihat Bashair Dzawis Syaraf: 62)
Dengan demikian, pemahaman mereka terhadap agama ini sudah dijamin oleh Nabi. Sehingga, kita tidak meragukannya lagi bahwa kebenaran itu pasti bersama mereka dan itu sangat wajar karena mereka adalah orang yang paling tahu setelah Nabi. Mereka menyaksikan di mana dan kapan turunnya wahyu dan mereka tahu di saat apa Nabi  mengucapkan hadits. Keadaan yang semacam ini tentu sangat mendukung terhadap pemahaman agama. Oleh karenanya, para ulama mengatakan bahwa ketika para shahabat bersepakat terhadap sesuatu, kita tidak boleh menyelisihi mereka. Dan tatkala mereka berselisih, maka tidak boleh kita keluar dari perselisihan mereka. Artinya kita harus memilih salah satu dari pendapat mereka dan tidak boleh membuat pendapat baru di luar pendapat mereka.

Imam Syafi’i mengatakan: “Mereka (para shahabat) di atas kita dalam segala ilmu, ijtihad, wara’ (sikap hati-hati), akal dan pada perkara yang mendatangkan ilmu atau diambil darinya ilmu. Pendapat mereka lebih terpuji dan lebih utama buat kita dari pendapat kita sendiri -wallahu a’lam- … Demikian kami katakan. Jika mereka bersepakat, kami mengambil kesepakatan mereka. Jika seorang dari mereka memiliki sebuah pendapat yang tidak diselisihi yang lain maka kita mengambil pendapatnya dan jika mereka berbeda pendapat maka kami mengambil sebagian pendapat mereka. Kami tidak akan keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan.” (Al-Madkhal Ilas Sunan Al-Kubra: 110 dari Intishar li Ahlil Hadits: 78].

Begitu pula Muhammad bin Al Hasan mengatakan: “Ilmu itu empat macam, pertama apa yang terdapat dalam kitab Allah atau yang serupa dengannya, kedua apa yang terdapat dalam Sunnah Rasulullah atau yang semacamnya, ketiga apa yang disepakati oleh para shahabat Nabi atau yang serupa dengannya dan jika mereka berselisih padanya, kita tidak boleh keluar dari perselisihan mereka …, keempat apa yang diangap baik oleh para ahli fikih atau yang serupa dengannya. Ilmu itu tidak keluar dari empat macam ini.” (Intishar li Ahlil Hadits: 31)

Oleh karenanya Ibnu Taimiyyah berkata: “Setiap pendapat yang dikatakan hanya oleh seseorang yang hidup di masa ini dan tidak pernah dikatakan oleh seorangpun yang terdahulu, maka itu salah.” Imam Ahmad mengatakan: “Jangan sampai engkau mengeluarkan sebuah pendapat dalam sebuah masalah yang engkau tidak punya pendahulu padanya.” (Majmu’ Fatawa: 21/291)

Hal itu -wallahu a’lam- karena Nabi bersabda:
“Sesungguhnya Allah melindungi umatku untuk berkumpul di atas kesesatan.” (Hasan, HR Abu Dawud no:4253, Ibnu Majah:395, dan Ibnu Abi Ashim dari Ka’b bin Ashim no:82, 83 dihasankan oleh As Syaikh al Albani dalam Silsilah As- Shahihah:1331]
Jadi tidak mungkin dalam sebuah perkara agama yang diperselisihkan oleh mereka, semua pendapat adalah salah. Karena jika demikian berarti mereka telah berkumpul di atas kesalahan. Karenanya pasti kebenaran itu ada pada salah satu pendapat mereka, sehingga kita tidak boleh keluar dari pendapat mereka. Kalau kita keluar dari pendapat mereka, maka dipastikan salah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah di atas.

3. Tidak melakukan taqlid atau ta’ashshub (fanatik) madzhab. Allah berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya).” (Al-A’raf: 3)

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)

Dengan jelas ayat di atas menganjurkan untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah baik berupa Al Qur’an atau hadits. Maka ucapan siapapun yang tidak sesuai dengan keduanya berarti harus ditinggalkan. Imam Syafi’i mengatakan: “Kaum muslimin bersepakat bahwa siapapun yang telah jelas baginya Sunnah Nabi maka dia tidak boleh berpaling darinya kepada ucapan seseorang, siapapun dia.” (Sifat Shalat Nabi: 50)

Demikian pula kebenaran itu tidak terbatas pada pendapat salah satu dari Imam madzhab yang empat. Selain mereka, masih banyak ulama yang lain, baik yang sezaman atau yang lebih dulu dari mereka. Ibnu Taimiyah mengatakan: “Sesungguhnya tidak seorangpun dari ahlussunnah mengatakan bahwa kesepakatan empat Imam itu adalah hujjah yang tidak mungkin salah. Dan tidak seorangpun dari mereka mengatakan bahwa kebenaran itu terbatas padanya dan bahwa yang keluar darinya berarti batil. Bahkan jika seorang yang bukan dari pengikut Imam-imam itu seperti Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’i, Al Laits bin Sa’ad dan yang sebelum mereka atau Ahlul Ijtihadyang setelah mereka mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi pendapat Imam-imam itu, maka perselisihan mereka dikembalikan kepada Allah  dan Rasul-Nya, dan pendapat yang paling kuat adalah yang berada di atas dalil.” (Minhajus Sunnah: 3/412 dari Al Iqna’: 95).

Sebaliknya, ta’ashshub (fanatik) pada madzhab akan menghalangi seseorang untuk sampai kepada kebenaran. Tak heran kalau sampai ada dari kalangan ulama madzhab mengatakan: “Setiap hadits yang menyelisihi madzhab kami maka itu mansukh (terhapus hukumnya) atau harus ditakwilkan (yakni diarahkan kepada makna yang lain).”

Akhirnya madzhablah yang menjadi ukuran kebenaran bukan ayat atau hadits. Bahkan ta’ashub semacam itu membuat kesan jelek terhadap agama Islam sehingga menghalangi masuk Islamnya seseorang sebagaimana terjadi di Tokyo ketika beberapa orang ingin masuk Islam dan ditunjukkan kepada orang-orang India maka mereka menyarankan untuk memilih madzhab Hanafi. Ketika datang kepada orang-orang Jawa atau Indonesia mereka menyarankan untuk memilih madzhab Syafi’i. Mendengar jawaban-jawaban itu mereka sangat keheranan dan bingung sehingga sempat menghambat dari jalan Islam [Lihat Muqaddimah Sifat Shalat Nabi hal: 68 edisi bahasa Arab)

4. Waspada dari para da’i jahat. Jahat yang dimaksud bukan dari sisi kriminal tapi lebih khusus adalah dari tinjauan keagamaan. Artinya mereka yang membawa ajaran-ajaran yang menyimpang dari aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, sedikit atau banyak. Di antara ciri-ciri mereka adalah yang suka berdalil dengan ayat-ayat yang belum begitu jelas maknanya untuk bisa mereka tafsirkan semau mereka. Dengan itu mereka maksudkan menebar fitnah yakni menyesatkan para pengikutnya. Allah berfirman:
“Adapun yang dalam hatinya terdapat penyelewengan (dari kebenaran) maka mereka mengikuti apa yang belum jelas dari ayat-ayat itu, (mereka) inginkan dengannya fitnah dan ingin mentakwilkannya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah.” (Ali-Imran: 7)

Ibnu Katsir mengatakan: “Menginginkan fitnah artinya ingin menyesatkan para pengikutnya dengan mengesankan bahwa mereka berhujjah dengan Al Qur’an untuk (membela) bid’ah mereka padahal Al Qur’an itu sendiri menyelisihinya. Ingin mentakwilkannya artinya menyelewengkan maknanya sesuai dengan apa yang mereka inginkan.” (Tafsir Ibnu Katsir: 1/353]

5. Memilih guru yang dikenal berpegang teguh kepada Sunnah Nabi dalam berakidah, beribadah, berakhlak dan mu’amalah. Hal itu karena urusan ilmu adalah urusan agama sehingga tidak bisa seseorang sembarangan atau asal comot dalam mengambilnya tanpa peduli dari siapa dia dapatkan karena ini akan berakibat fatal sampai di akhirat kelak. Maka ia harus tahu siapa yang akan ia ambil ilmu agamanya.

Jangan sampai dia ambil agamanya dari orang yang memusuhi Sunnah atau memusuhi Ahlussunnah atau tidak pernah diketahui belajar akidah yang benar karena selama ini yang dipelajari adalah akidah-akidah yang salah atau mendapat ilmu hanya sekedar hasil bacaan tanpa bimbingan para ulama Ahlussunnah. Sangat dikhawatirkan, ia memiliki pemahaman-pemahaman yang salah karena hal tersebut.

Seorang tabi’in bernama Muhammad bin Sirin mengatakan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” Beliau juga berkata: “Dahulu orang-orang tidak bertanya tentang sanad (rangkaian para rawi yang meriwayatkan) hadits, maka tatkala terjadi fitnah mereka mengatakan: sebutkan kepada kami sanad kalian, sehingga mereka melihat kepada Ahlussunnah lalu mereka menerima haditsnya dan melihat kepada ahlul bid’ah lalu menolak haditsnya.” (Riwayat Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya)

Nabi bersabda:
“Keberkahan itu berada pada orang-orang besar kalian.” (Shahih, HR. Ibnu Hibban, Al Hakim, Ibnu Abdil Bar dari Ibnu Abbas, dalam kitab Jami’ Bayanul Ilm hal:614 dengan tahqiq Abul Asybal, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’:2887 dan As Shahihah:1778)

Dalam ucapan Abdullah bin Mas’ud:
“Manusia tetap akan baik selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang besar mereka, jika mereka mengambilnya dari orang-orang kecil dan jahat di antara mereka, maka mereka akan binasa.” Diriwayatkan pula yang semakna dengannya dari shahabat Umar bin Khattab. (Riwayat Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayanul Ilm hal: 615 dan 616, tahqiq Abul Asybal dan dishahihkan olehnya)

Ibnu Abdil Bar menukilkan dari sebagian ahlul ilmi (ulama) maksud dari hadits di atas: “Bahwa yang dimaksud dengan orang-orang kecil dalam hadits Umar dan hadits-hadits yang semakna dengannya adalah orang yang dimintai fatwa padahal tidak punya ilmu. Dan orang yang besar artinya yang berilmu tentang segala hal. Atau yang mengambil ilmu dari para shahabat.” (Lihat Jami’ Bayanil Ilm: 617).

6. Tidak mengambil ilmu dari sisi akal atau rasio, karena agama ini adalah wahyu dan bukan hasil penemuan akal. Allah berkata kepada Nabi-Nya:
“Katakanlah (Ya, Muhammad): ‘sesungguhnya aku memberi peringataan kepada kalian dengan wahyu.’.” (Al-Anbiya: 45)
“Dan tidaklah yang diucapkan itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)

Sungguh berbeda antara wahyu yang bersumber dari Allah Dzat yang Maha Sempurna yang sudah pasti wahyu tersebut memiliki kesempurnaan, dibanding akal yang berasal dari manusia yang bersifat lemah dan yang dihasilkannya pun lemah.

Jadi tidak boleh bagi siapapun meninggalkan dalil yang jelas dari Al Qur’an ataupun hadits yang shahih karena tidak sesuai dengan akalnya. Seseorang harus menundukkan akalnya di hadapan keduanya.

Ali bin Abi Thalib berkata: “Seandainya agama ini dengan akal maka tentunya bagian bawah khuf (semacam kaos kaki yang terbuat dari kulit) lebih utama untuk diusap (pada saat berwudhu-red) daripada bagian atasnya. Dan sungguh aku melihat Rasulullah mengusap bagian atas khuf-nya.” (shahih, HR Abu Dawud dishahihkan As-Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no:162).
Pada ucapan beliau ada keterangan bahwa dibolehkan seseorang mengusap bagian atas khuf-nya atau kaos kaki atau sepatunya ketika berwudhu dan tidak perlu mencopotnya jika terpenuhi syaratnya sebagaimana tersebut dalam buku-buku fikih. Yang jadi bahasan kita disini adalah ternyata yang diusap justru bagian atasnya, bukan bagian bawahnya. Padahal secara akal yang lebih berhak diusap adalah bagian bawahnya karena itulah yang kotor.

Ini menunjukkan bahwa agama ini murni dari wahyu dan kita yakin tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat dan fitrah yang selamat. Masalahnya, terkadang akal tidak memahami hikmahnya, seperti dalam masalah ini. Bisa jadi syariat melihat dari pertimbangan lain yang belum kita mengerti.

Jangan sampai ketidakmengertian kita menjadikan kita menolak hadits yang shahih atau ayat Al Qur’an yang datang dari Allah yang pasti membawa kebaikan pada makhluk-Nya. Hendaknya kita mencontoh sikap Ali bin Abi Thalib di atas.

Abul Mudhaffar As Sam’ani menerangkan Akidah Ahlussunnah, katanya: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka, mencari agama dari keduanya. Adapun apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya mereka terima dan bersyukur kepada Allah yang telah memperlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik. Tapi kalau mereka dapati tidak sesuai dengan keduanya mereka meninggalkannya dan mengambil Kitab dan Sunnah lalu menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang haq (kebenaran), sedangkan pendapat manusia kadang benar kadang salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits: 99)

Ibnul Qoyyim menyimpulkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:
a. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.
b. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash, serta memahami dan mengambil hukum darinya.
c. Pendapat akal yang berakibat menolak asma’ (nama) Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.
d. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya Sunnah.
e. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik dan prasangka.
Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. (lihat, I’lam Muwaqqi’in: 1/104-106, Al- Intishar: 21,24, dan Al Aql wa Manzilatuhu)

7. Menghindari perdebatan dalam agama. Nabi bersabda:
“Tidaklah sebuah kaum sesat setelah mereka berada di atas petunjuk kecuali mereka akan diberi sifat jadal (berdebat). Lalu beliau membaca ayat, artinya: ‘Bahkan mereka adalah kaum yang suka berbantah-bantahan’.” (Hasan, HR Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahili, dihasankan oleh As Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no: 5633)

Ibnu Rajab mengatakan: “Di antara sesuatu yang diingkari para Imam salafus shalih adalah perdebatan, berbantah-bantahan dalam masalah halal dan haram. Itu bukan jalannya para Imam agama ini.” (Fadl Ilm Salaf 57 dari Al-Intishar: 94).

Ibnu Abil Izz menerangkan makna mira’ (berbantah-bantahan) dalam agama Allah adalah membantah ahlul haq (pemegang kebenaran) dengan menyebutkan syubhat-syubhat ahlul bathil, dengan tujuan membuat keraguan padanya dan menyimpangkannya. Karena perbuatan yang demikian ini mengandung ajakan kepada kebatilan dan menyamarkan yang hak serta merusak agama Islam. (Syarh Aqidah Thahawiyah: 313)

Oleh karenanya Allah memerintahkan berdebat dengan yang paling baik. Firman-Nya:
“Ajaklah kepada jalan Rabb-Mu dengan hikmah, mau’idhah (nasihat) yang baik dan berdebatlah dengan yang paling baik.” (An-Nahl: 125).

Para ulama menerangkan bahwa perdebatan yang paling baik bisa terwujud jika niat masing-masing dari dua belah pihak baik. Masalah yang diperdebatkan juga baik dan mungkin dicapai kebenarannya dengan diskusi. Masing-masing beradab dengan adab yang baik, dan memang punya kemampuan ilmu serta siap menerima yang haq jika kebenaran itu muncul dari hasil perdebatan mereka. Juga bersikap adil serta menerima kembalinya orang yang kembali kepada kebenaran. (lihat rinciannya dalam Mauqif Ahlussunnah 2/587-611 dan Ar-Rad ‘Alal Mukhalif hal:56-62).

Perdebatan para shahabat dalam sebuah masalah adalah perdebatan musyawarah dan nasehat. Bisa jadi mereka berselisih dalam sebuah masalah ilmiah atau amaliah dengan tetap bersatu dan berukhuwwah. (Majmu’ Fatawa 24/172)

Inilah beberapa rambu-rambu dalam mengambil ilmu agama sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an maupun hadits yang shahih serta keterangan para ulama. Kiranya itu bisa menjadi titik perhatian kita dalam kehidupan beragama ini, sehingga kita berharap bisa beragama sesuai yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Sihir Melenyapkan Aqidah

Di dalam kitab-kitab aqidah, para ulama telah banyak membahas tentang bahaya sihir terhadap aqidah. Mereka menyebutkan, sihir bahkan bisa membatalkan keislaman seseorang sehingga menjadikan dia tidak beraqidah Islam lagi. Kalau hal ini sampai terjadi maka tidak ada lagi harapan bahagia bagi dirinya. Allah menjelaskan di dalam firman-Nya:
وَلاَ يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى
“Dan tidak akan beruntung tukang sihir dari manapun dia datang.” (Thaha: 69)


Menurut Asy-Syinqithi dalam kitab Adhwa Al-Bayan (4/442), makna ayat ini adalah meniadakan seluruh jenis keberuntungan bagi tukang sihir, dan Allah menguatkan hal yang demikian itu dengan firman-Nya: “Dari manapun dia datang.”
Al-Imam Al-Qurthubi mengatakan dalam Tafsir-nya (4/444): “Tidak akan beruntung dan selamat darimana pun dia datang di muka bumi ini.”
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam Tafsir beliau (hal. 458) mengatakan: “Tipu daya mereka tidak mendatangkan hasil sedikitpun bagi mereka dan mereka tidak akan menang.”
Kalau demikian kedudukan tukang sihir, yang ditiadakan pada dirinya segala bentuk kebahagiaan dunia dan akhirat sekaligus diliputi ancaman dan murka Allah, maka jelas sihir ini memiliki kaitan dengan agama. Kerusakan agama seseorang bisa demikian parah akibat perbuatan sihir tersebut. Maka pantas bila Allah  melarang dengan keras agar manusia tidak mengerjakan perbuatan sihir ini. Allah tidak akan melarang suatu perkara atau memurkainya melainkan hal tersebut akan membahayakan, baik bagi diri sendiri, agama maupun bagi orang lain.

Sihir dan Aqidah
Sedikit dari kaum muslimin yang mengetahui bahwa mengerjakan sihir hukumnya adalah haram, termasuk bagian dari perbuatan syirik. Karena persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan mempelajari sihir merupakan perbuatan kufur dan syirik kepada Allah . Dan persyaratan-persyaratan itupun sayangnya tidak diketahui oleh kaum muslimin sebagai sesuatu yang haram dan sebagai wujud kesyirikan kepada Allah.
Asy-Syaikh Shalih Fauzan dalam kitab At-Tauhid (hal. 27) mengatakan: “Dinamakan sihir karena terjadi dengan perkara-perkara yang tersembunyi yang tidak bisa dijangkau oleh penglihatan. Sihir itu berbentuk jimat-jimat, jampi-jampi, mantra-mantra, obat-obat atau kepulan asap-asap. Sihir itu hakiki, di antara hakikatnya adalah pengaruhnya terhadap hati dan badan yang menyebabkan sakit, terbunuh, atau memisahkan antara seorang istri dan suaminya. Pengaruh ini terjadi dengan ketentuan Allah .
Sihir itu adalah perbuatan setan. Kebanyakan dari sihir tersebut tidak bisa dicapai oleh seseorang kecuali ia harus melakukan kesyirikan dan mendekatkan diri kepada ruh-ruh jahat yang persyaratannya adalah syirik kepada Allah. Oleh karena itu Allah  menggandengkan sihir dengan kesyirikan sebagaimana sabda Rasulullah :
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ. قَالُوْا: وَمَا هِيَ؟ قَالَ: الإِشْرَاكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ.
“Jauhilah tujuh penghancur! (Para shahabat) berkata: “Apakah itu wahai Rasulullah?” Rasulullah  bersabda: “Syirik kepada Allah dan sihir...” (HR. Al-Bukhari, 5/294, Muslim no. 89 dari shahabat Abu Hurairah z).
Sihir termasuk dalam kesyirikan dipandang dari dua sisi:
Pertama, sihir mempergunakan setan, menggantungkan diri kepadanya, mendekatkan diri dengan segala apa yang mereka inginkan dalam rangka berkhidmat kepada tukang sihir. Sihir termasuk pengajaran setan sebagaimana firman Allah :
“Akan tetapi setan-setan itu yang kafir yang mengajarkan manusia sihir.” (Al-Baqarah: 102)
Kedua, di dalam sihir terdapat pengakuan mengetahui perkara ghaib sebagai wujud serikat dengan Allah , dan ini termasuk dari kekufuran dan kesesatan. Allah  berfirman:
“Dan sungguh mereka telah mengetahui bahwa bagi orang yang mempelajari (membeli) ilmu sihir tersebut maka dia tidak memiliki bagian di akhirat.” (Al-Baqarah: 102)
Jika demikian kedudukan sihir, sungguh tidak ada keraguan lagi bahwa sihir adalah perbuatan kekafiran dan kesyirikan yang akan membatalkan aqidah, dan wajib membunuh pelakunya sebagaimana para pembesar shahabat telah melakukannya.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitab beliau Masail Al-Jahiliyyah bagian keduapuluh mengatakan: “(Salah satu dari keyakinan jahiliyyah) adalah meyakini bahwa keluarbiasaan yang terjadi melalui tangan tukang sihir dan sejenis mereka sebagai karamah orang-orang shalih, dan (termasuk keyakinan jahiliyyah juga) mengaitkan ilmu sihir itu dengan pengajaran para nabi sebagaimana mereka katakan tentang Nabi Sulaiman .”
Di dalam kitab At-Tauhid, beliau menulis sebuah bab berjudul Perkara-perkara yang Terkait dengan Sihir lalu mengatakan: “Allah  berfirman:
“Dan sungguh mereka telah mengetahui bahwa bagi orang yang mempelajari (membeli) ilmu sihir tersebut maka dia di akhirat tidak memiliki bagian.” (Al-Baqarah: 102)
Dan Allah  berfirman:
يُؤْمِنُوْنَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوْتِ
“Mereka beriman kepada Al-Jibti dan thagut.” (An-Nisa: 51)
‘Umar z berkata: “Al-Jibti adalah sihir dan thagut adalah setan.”
Jabir bin Abdullah berkata: “Thaghut adalah para dukun yang setan turun kepada mereka di suatu daerah.”
Kemudian dalam faidah yang diambil dari bab tersebut, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab mengatakan: “Faidah keenam: tukang sihir adalah kafir. Ketujuh: dia dibunuh tanpa dimintai taubat. Kedelapan: kalaulah di masa ‘Umar terjadi hal yang demikian maka apalagi setelahnya.”
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di di dalam kitab Al-Qaul As-Sadid (hal. 93) mengatakan: “Sisi dimasukkannya sihir dalam bab tauhid adalah karena kebanyakan dari pembagian (macam-macam) sihir tidak akan bisa terjadi melainkan dengan kesyirikan, dengan perantara ruh-ruh setan kepada tujuan-tujuan tukang sihir tersebut. Maka tidak sempurna tauhid seseorang hamba sehingga dia meninggalkan sihir secara menyeluruh.”

Macam-macam Sihir
Kalau kita coba menggali bentuk-bentuk sihir atau lebih cocok dikatakan macam dan jenisnya maka jumlahnya terlalu banyak, terlebih kalau kita melihat prakteknya di masyarakat Islam. Ilmu sihir adalah ilmu yang sangat digandrungi dan dicari oleh banyak orang kecuali mereka yang dirahmati Allah .
Asy-Syinqithi dalam kitab Adhwa Al-Bayan (4/452) mengatakan: “Para ahli ilmu telah membagi jenis-jenis sihir, namun pembagian tersebut semuanya bermuara pada delapan macam (yang telah disebutkan oleh Fakhrurrazi dalam tafsirnya).” Di halaman lain (4/457), beliau mengatakan: “Ilmu-ilmu kejahatan itu banyak sekali, dan kita menyebutkan (macam-macam sihir) bertujuan untuk mengingatkan tentang jelek dan jahatnya (sihir) menurut pandangan syariat. Karena di antara jenisnya ada yang jelas-jelas kufur, dan di antaranya ada yang akan mengantar menuju kekufuran dan yang paling ringan hukumnya adalah haram (dengan keharaman) yang keras.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t dalam kitab beliau Al-Qaul Al-Mufid mengatakan: “Macam-macam sihir secara global dibagi menjadi dua, di antaranya ada yang merupakan wujud kekufuran dan ada pula yang merupakan wujud kefasikan.”
1. Al-‘Iyafah
Al-‘Iyafah adalah seseorang mengurungkan niat untuk melakukan sesuatu karena ada perilaku tertentu dari burung. Atau seseorang merasa pesimis atau optimis disebabkan oleh (perilaku) burung. Aqidah orang Arab di masa jahiliyyah yang terkait dengan al-‘iyafah ini bermacam-macam: Pertama, membantu mereka untuk berburu yaitu dengan cara mengajari burung sehingga apabila diperintahkan untuk terbang, dia terbang. Hal ini tidak termasuk sihir. Kedua, menghalau seekor burung sehingga apabila terbang ke arah sebelah kiri maka dia pesimis (lalu tidak jadi melakukan pekerjaan itu –red) dan apabila terbang ke sebelah kanan maka dia optimis (sehingga dia lanjutkan niatnya untuk mengerjakan perbuatan itu –red). Dan bila sang burung terbang ke arah depan, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengatakan: “Saya tidak mengetahui apakah dia berhenti atau mengulangi menghalau burung lagi.” Maka hal yang seperti ini termasuk dari bentuk sihir. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam kitabnya Fathul Majid (hal. 346) mengatakan: “Al-’Iyafah adalah rasa pesimis dan optimis (yang muncul dalam diri seseorang –red) karena seekor burung, baik dengan nama burung tersebut, atau suaranya, atau arah terbangnya. Hal ini merupakan kebiasaan orang Arab, bahkan banyak (penyebutan tentang hal ini –red) di dalam syair-syair mereka.”
2. Ath-Tharqu
‘Auf menafsirkan ath-tharqu sebagai suatu garis yang dibuat di tanah. Abu As-Sa’adat mengatakan: “Menggaris dengan kerikil yang dilakukan oleh kaum wanita.” (An-Nihayah, 2/121). Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengatakan: “Garis yang dimaksud adalah sesuatu yang sudah masyhur di sisi orang Arab, yang digaris dengan kerikil untuk menyihir dan melakukan praktek perdukunan (atau ramalan -red), dan hal ini banyak dilakukan oleh kaum wanita.” Hal ini termasuk perbuatan sihir.
3. Ash-Sharf dan Al-‘Athaf
Ash-Sharf yaitu sihir yang dipergunakan untuk memisahkan antara dua orang yang saling mencintai supaya salah satu dari keduanya atau kedua-duanya menjadi benci kepada yang lain (lihat Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 156). Di Indonesia sihir jenis ini terkenal dengan istilah ilmu pelet. Hal ini adalah perbuatan haram dan syirik kepada Allah .
Al-‘Athaf adalah jenis sihir untuk menjadikan seseorang cinta kepada yang lain, yang sering terjadi antara suami istri. Hukumnya sama dengan ash-sharfu.
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab memasukkan sihir sebagai salah satu pembatal keislaman. Dan masih banyak lagi jenis-jenis sihir yang sekarang berkembang di tengah-tengah kaum muslim baik di negeri Arab atau selainnya, seperti memakan api, masuk ke dalam api, ilmu kebal, jimat-jimat, memakan beling, menggambarkan sesuatu yang bukan aslinya dan selainnya. (Lihat pembahasan macam-macam sihir dalam Adhwa Al-Bayan, 4/444-455, Tath-hir Al-I’tiqad karya Al-Imam Ash-Shan’ani, Fathul Majid hal. 345 dan seterusnya, Al-Qaul Al-Mufid karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/36-57, Al-Qaul Al-Mufid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab Al-Wushshabi, hal. 137-148, dan Al-Qaul As-Sadid, hal. 93-95)

Ilmu Nujum Termasuk Ilmu Sihir
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitab At-Tauhid mengatakan: “Ilmu nujum termasuk dari ilmu sihir.” Hal ini berdasar sabda Rasulullah :
“Barang siapa yang mencari (mempelajari) sebagian ilmu nujum maka dia telah mencari bagian dari sihir.” (HR. Ahmad, 1/227, 311, Abu Dawud, 2/226, Ibnu Majah, 2/1228, Ath-Thabrani, no. 11278, Al-Baihaqi, 8/138, dari hadits Ibnu ‘Abbas c)
Ilmu nujum yang merupakan bagian dari sihir adalah ilmu yang dipakai untuk mengetahui kejadian-kejadian yang ada di bumi dengan bantuan benda-benda langit seperti bintang. Contohnya, bila muncul bintang ini dan itu maka akan terjadi begini dan begitu. Atau bila muncul bintang ini dan itu, maka akan lahir seseorang yang bahagia di dalam hidupnya atau lahir anak yang akan celaka. Tentang hal ini Ibnu ‘Abbas c berkata, Rasulullah  telah bersabda:
مَنِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ النُّجُوْمِ فَقَدِ اقْتَبَسَ مِنَ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ
“Barang siapa mencari sebagian ilmu nujum maka dia telah mencari sebagian ilmu sihir, bertambah dengan bertambahnya.” (Hadits ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Abi Dawud, 2/739 no. 3305 dan di dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, 2/305 no. 3002 dan di dalam Ash-Shahihah no. 793)
Ilmu nujum dengan makna ini adalah jelas-jelas bertentangan dengan aqidah yang dibawa oleh seluruh para nabi dan rasul Allah , juga bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Seorang shahabat, Zaid bin Khalid z, berkata:
صَلىَّ بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَّةِ فِيْ إِثْرِ سَمَاءٍ كَانَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلىَ النَّاسِ فَقَالَ: هَلْ تَدْرُوْنَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوْا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: قَالَ: أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِيْ مُؤْمِنٌ بِيْ وَكَافِرٌ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْناَ بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِيْ كَافِرٌ بِالْكَوَاكِبِ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِيْ مُؤْمِنٌ بِالْكَوَاكِبِ
Kami shalat subuh bersama Rasulullah  setelah selesai hujan di suatu malam. Setelah selesai shalat, beliau menghadap manusia dan berkata: “Tahukah kalian apa yang difirmankan oleh Rabb kalian?” Mereka berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah bersabda: “Allah berfirman: ‘Di pagi hari di antara hambaku ada yang beriman dan kafir kepada-Ku. Barangsiapa yang mengatakan bahwa kami diberikan hujan dengan fadhilah (keutamaan) dan rahmat Allah maka dia beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang. Adapun orang yang mengatakan bahwa kita diberikan hujan karena waktu (nau’) ini dan itu, maka dia telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.’” (HR. Al-Bukhari, 2/433-434 dan Muslim, no. 71)
Al-Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm mengatakan: “Barangsiapa mengatakan kita diberi hujan oleh waktu (nau’1) ini dan itu sebagaimana yang telah dilakukan oleh sebagian musyrikin dengan menyandarkan hujan kepada nau’ (waktu), maka hal yang demikian itu adalah kafir sebagaimana sabda Rasulullah . Aqidah yang benar adalah bahwa terjadinya hujan karena ijin Allah I dan taqdir-Nya yang telah ditulis limapuluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi, dan (bahwa hujan) merupakan rahmat dari Allah kepada suatu kaum. Turunnya hujan tidak dipengaruhi munculnya bintang ini dan itu.”

Hukum Mempelajari Ilmu Nujum
Ilmu nujum oleh para ulama dibagi menjadi dua:
Pertama, apa yang telah disebutkan di atas yaitu ilmu yang dipergunakan untuk menentukan kejadian-kejadian di bumi karena munculnya bintang ini dan itu. Mempelajari ilmu ini adalah haram. Berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas c di atas.
Kedua, mengetahui peredaran bintang untuk menentukan arah kiblat atau waktu. Hal ini diperbolehkan bahkan terkadang hukumnya wajib. Ulama fiqih mengatakan bahwa apabila masuk waktu shalat maka wajib setiap orang untuk mengetahui arah kiblat, baik dengan bintang-bintang, matahari maupun bulan. Allah  berfirman:

“Dan dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu dan dia menciptakan sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk. Dia menciptakan tanda-tanda penunjuk jalan dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapatkan petunjuk...” (An-Nahl: 15-16) [Lihat Al-Qaulul-Mufid, 2/45]

Tanya Jawab
Tanya: Bila belajar ilmu sihir itu adalah haram, bagaimana dengan hadits Rasulullah :
تَعَلَّمُوا السِّحْرَ وَلاَ تَعْمَلُوْا بِهِ
“Belajarlah kalian ilmu sihir dan jangan kalian mengamalkannya.”
Jawab: Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia) mengatakan: “Kita tidak mengenali hadits ini shahih atau lemah, bahkan hadits ini adalah maudhu’ (palsu).” (1/367-368 no. 6289 dan 6970)
Tanya: Apabila tukang sihir itu hukumnya harus dibunuh, bolehkah individu yang melakukan hal demikian?
Jawab: Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia (ed)). mengatakan: “Yang memiliki hak dan tanggung jawab untuk menetapkan bahwa ini adalah sihir, serta hukuman bagi pelakunya adalah pemerintah yang mengurusi urusan kaum muslimin. Hal ini untuk menutup pintu-pintu meluasnya kerusakan dan agar tidak terjadi kekacauan dan huru-hara.” (1/369 no. 4804).
Tanya: Apa yang dimaksud oleh sabda Rasulullah :
إِنَّ مِنَ الْبَيَانِ لَسِحْرًا
“Sesungguhnya sebagian dari al-bayan (kefasihan) itu adalah sihir.” (HR. Al-Bukhari dari hadits Ibnu ‘Umar c dan Muslim dari shahabat ‘Ammar bin Yasir c)
Jawab: Al-Bayan dari sisi tinjauan bahasa memiliki dua makna:
Pertama, menjelaskan sesuatu yang harus dijelaskan, maka hal ini boleh dilakukan oleh setiap orang. Kedua, kefasihan dalam berbicara sehingga menakjubkan akal bahkan mengubahnya. Makna yang kedua inilah yang dimaksud Rasulullah  dengan kefasihan pembicaraan, yang menyebabkan kebenaran dalam pandangan pendengarnya menjadi sesuatu yang bathil dan kebathilan menjadi sesuatu yang benar.” (Al-Qaulul Mufid, 2/54)
Tanya: Bolehkah menghilangkan sihir dari orang yang terkena sihir?
Jawab: Menghilangkan sihir dari orang yang terkena sihir disebut dengan an-nusyrah. Apabila menghilangkan sihir tersebut dengan sihir yang lain maka ini adalah perbuatan setan dan hukumnya haram. Dan apabila menghilangkannya dengan bacaan-bacaan yang disyariatkan, doa, ayat-ayat Al Qur’an maka hal yang demikian disyariatkan. Allah berfirman:
وَتَعَاوَنُوْا عَلىَ الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلىَ اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan janganlah kalian tolong-menolong di dalam dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2)
Rasulullah  bersabda:
مَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ
“Barang siapa yang mampu memberikan manfaat kepada saudaranya maka lakukanlah.” (Lihat A’lam As-Sunnah Al-Mansyurah, hal. 155)
Wallahu a’lam bishshawab.


1 Nau’ adalah tempat singgahnya bulan di setiap malam (lihat Taisir Al-’Azizil Hamid, hal. 454-455, Al-Qaulul Mufid, 2/141-142, ed)

CIRI UTAMA PENGIKUT RASULULLAH DAN PARA SHAHABATNYA

بسم الله الرحمن الرحيم

1) Berpegang teguh dengan Al Quran dan As Sunnah dalam segala perkara khususnya ketika terjadi perbedaan pendapat.
Allah berfirman :
“Maka jika kalian berbeda pendapat dalam satu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir”
( QS. An Nisa : 59 )

2) Memahami Al Quran dan As Sunnah dengan pemahaman para shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dan tidak dipahami sesuai dengan hawa nafsu maupun tokoh tertentu.
Allah berfirman :
“Generasi pertama shahabat muhajirin dan anshor serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah meridloi mereka dan merekapun ridlo kepada Allah dan Allah siapkan untuk mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai mereka kekal di dalamnya itulah keberuntungan yang besar”
( QS. At Taubah : 100 )

3) Tetap istiqomah di atas kebenaran Al Quran dan As Sunnah walaupun dihina dan dijauhi oleh masyarakatnya, Rasulullah bersabda :
“Akan senantiasa ada sekelompok orang dari umatku yang terang-terangan di atas kebenaran, tidaklah membahayakan mereka orang-orang yang menghina mereka sampai datang perintah Allah (angin dingin yang mencabut nyawa setiap orang yang memiliki keimanan menjelang kiamat)”
( HR. Imam Muslim )

4) Tidak taqlid kepada madzhab atau tokoh tertentu tetapi melihat dalil yang dipakai. Bila sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah, diterima. Bila tidak, maka ditolak siapapun yang mengucapkannya.
Imam Malik, Rahimahullah berkata :
“Setiap orang bisa diambil ucapannya dan bisa ditolak kecuali Nabi ”
( Minhaj Al Firqoh An Najiyah : 10 )

5) Tidak pilih-pilih syariat, semua perintah Allah dan Rasul-Nya dilaksanakan semampunya dan semua larangan ditinggalkan tanpa terkecuali.

Allah berfirman :
“Apa saja yang dibawa oleh Rasul untuk kalian maka ambillah dan apa saja yang dilarang maka tinggalkanlah”
( QS. Al Hasyr : 7 )

6) Hanya menggunakan hadits - hadits shahih dan tidak menggunakan hadits - hadits dloif ( lemah ) dan maudlu’ ( palsu ), karena yang dloif ( lemah ) dan maudlu’ ( palsu ) itu merupakan bentuk berdusta atas nama Rasulullah . Beliau bersabda :
“Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah menempati tempat duduknya di neraka”
( HR. Imam Muslim dan lainnya )

7) Menegakkan seluruh jenis tauhid dan memberantas segala jenis syirik, karena ini adalah inti dakwah para Nabi dan Rasul .
Allah berfirman :
“Sungguh kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul untuk menyeru ( kepada umatnya ) beribadahlah hanya kepada Allah ( tauhid ) dan jauhilah sesembahan selain Allah ( syirik )”
( QS. An Nahl : 36 )

8) Menegakkan Sunnah ( ajaran Rasulullah ) dan memberantas segala jenis kebid’ahan, Rasulullah bersabda :
“Wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku, gigitlah dengan gigi geraham ( pegang erat-erat dan jauhilah perkara-perkara baru yang tidak diajarkan agama, karena hal itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat )”
(HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah dishohihkan syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’ )

9) Mendidik generasi umat dengan pendidikan yang sesuai dengan pendidikan Rasulullah dan para shahabatnya .

10) Giat menuntut ilmu syariat. Karena mereka yakin dengan ilmu ini dapat mengetahui dan mencontoh seluruh ajaran Rasulullah secara terperinci.
و الله أعلم بالصواب

Al Ustadz Abu Ilyas Su’aidi As Sidawi

Tabaruk

Tabaruk atau mencari barakah serta waktu dan tempat yang berkaitan dengannya termasuk perkara akidah yang sangat penting. Hal ini dikarenakan sering terjadi perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan) di dalamnya. Perbuatan itu dapat menjerumuskan banyak orang ke dalam perbuatan bid’ah, khurafat, dan syirik, dulu maupun sekarang. Bukankah orang-orang jahiliyyah terdahulu beribadah kepada berhala-berhala disebabkan mereka mengharap barakah dari berhala-berhala tersebut?

Kemudian bid’ah tersebut masuk menyelinap ke dalam agama ini melalui orang-orang zindiq (munafiq). Di antara cara yang mereka gunakan untuk merusak agama dari dalam adalah menanamkan sikap ghuluw terhadap para wali dan orang-orang shalih serta bertabaruk dengan kuburan mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan : “Dari sinilah orang-orang munafik memasukkan ke dalam Islam perkara bid’ah tersebut. Sungguh yang pertama kali mengada-adakan agama rafidlah adalah seorang zindiq Yahudi yang pura-pura menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafirannya untuk merusak agama kaum Muslimin, sebagaimana Paulus merusak agama kaum Nashara … . Akhirnya muncullah bid’ah syiah yang merupakan kunci terbukanya pintu kesyirikan. Ketika para zindiq itu merasa kuat, mereka memerintahkan membangun tempat-tempat ibadah di atas kuburan dan menghancurkan masjid-masjid dengan alasan tidak boleh shalat Jum’at dan jamaah kecuali di belakang imam yang ma’shum … .” (Majmu’ Fatawa 27/16)

Sangat disayangkan betapa banyak kaum Muslimin terjatuh ke dalam perbuatan syirik melalui pintu tabaruk ini sehingga kita perlu mengetahui apa pengertian tabaruk serta mana yang disyariatkan dan mana yang dilarang.

Makna Dan Hakikat Tabaruk
Al Laits menafsirkan kata tabarakallah (ﺗﺒﺎﺮﻚﺍﷲ) adalah pemuliaan dan pengagungan. Az Zajaj mengatakan tentang firman Allah :

“Inilah kitab yang Kami turunkan yang diberkahi.”

Kata Al Mubarak (yang diberkahi) maknanya adalah apa-apa yang mendatangkan kebaikan yang banyak.

Ar Raghib berkata : “Barakah berarti tetapnya kebaikan Allah terhadap sesuatu.”

Ibnul Qayim berkata : “Barakah berarti kenikmatan dan tambahan. Sedangkan hakikat barakah adalah kebaikan yang banyak dan terus menerus yang tidak berhak memiliki sifat tersebut kecuali Allah tabaraka wa ta’ala.”

Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata : “Barakah berarti kebaikan yang banyak dan tetap. Diambil dari kata al birkah (ﺍﻠﺑﺮﻜﺔ) yang berarti tempat terkumpulnya air (kolam). Dan tabaruk berarti mencari barakah.”

Untuk lebih jelas maka perlu diketahui beberapa perkara sebagai berikut :

1. Bahwasanya barakah itu semuanya datang dari Allah, baik dalam hal rezki, pertolongan, kesembuhan, dan lain-lain. Maka tidak boleh meminta barakah kecuali kepada Allah karena Dia-lah Pemberi Barakah. Di antara dalil tentang hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya dari Ibnu Mas’ud radliyallahu 'anhu, ia berkata :

Kami bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan. Ketika itu persediaan air sedikit. Maka beliau bersabda : “Carilah sisa air!” Para shahabat pun membawa bejana yang berisi sedikit air. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memasukkan tangan beliau ke dalam bejana tersebut seraya bersabda : “Kemarilah kalian menuju air yang diberkahi dan berkah itu dari Allah.” Sungguh aku (Ibnu Mas’ud) melihat air terpancar di antara jari-jemari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. (HR. Bukhari dengan Fathul Bari 6/433)

Kalau sudah jelas bahwa barakah itu dari Allah, maka memintanya kepada selain Allah adalah perbuatan syirik seperti meminta rezki, mendatangkan manfaat serta menolak mudlarat kepada selain Allah. Tidak diragukan lagi bahwa barakah itu termasuk kebaikan, sedang kebaikan itu semuanya dari Allah seperti sabda Rasululah shallallahu 'alaihi wa sallam :

“Dan kebaikan itu semuanya di tangan-Mu.” (HR. Muslim dengan syarah An Nawawi 6/57)

2. Sesuatu yang digunakan untuk bertabaruk seperti benda-benda, ucapan, ataupun perbuatan yang telah jelas ketetapannya dalam syariat, kedudukannya hanya sebagai sebab bukan yang mendatangkan barakah. Sebagaimana halnya dengan obat-obatan hanya sebagai sebab bagi kesembuhan, bukan yang menyembuhkan. Yang menyembuhkan adalah Allah. Oleh karena itu kita hanya mengharapkan kesembuhan kepada Allah. Dan terkadang obat tersebut tidak bermanfaat dengan ijin Allah. Maka yang disebutkan dalam syariat bahwa padanya terdapat barakah hanya digunakan sebagai sebab yang kadang-kadang tidak ada pengaruhnya karena tidak terpenuhi syaratnya atau karena ada penghalang. Penyandaran barakah kepadanya termasuk penyandaran sesuatu kepada sebabnya. Sebagaimana ucapan Aisyah radliyallahu 'anha tentang Juwairiah bintul Harits radliyallahu 'anha :

“Aku tidak mengetahui seorang perempuan yang lebih banyak barakahnya daripada dia di kalangan kaumnya.” (HR. Ahmad, Musnad 6/277)

Artinya dialah sebagai sebab datangnya barakah dan bukan dia pemberi barakah.

3. Mencari barakah harus melalui sebab-sebab yang diperintahkan oleh syariat. Yang menentukan ada atau tidaknya barakah pada sesuatu hanyalah dalil syar’i. Karena perkara agama itu dibangun di atas dalil, berbeda dengan perkara dunia yang dapat diketahui dengan akal melalui pengalaman dan bukti.

4. Bertabaruk dapat dilakukan dengan perkara yang dapat dicapai dengan panca indera seperti ilmu, doa, dan lain-lain. Seseorang mendapatkan kebaikan yang banyak dengan barakah ilmunya yang dia amalkan dan dia ajarkan.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bertabaruk adalah mencari barakah dalam hal tambahan kebaikan dan pahala serta semua yang dibutuhkan seorang hamba dalam urusan agama dan dunianya melalui sebab-sebab dan cara yang telah ditetapkan dalam syariat.

Tabaruk Yang Disyariatkan
A. Bertabaruk Dengan Ucapan Dan Perbuatan
Banyak ucapan, perbuatan, serta keadaan yang diberkahi jika seorang hamba yang Muslim melakukannya untuk mencari kebaikan dan barakah melalui sebab tersebut dengan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia akan mendapatkan kebaikan dan barakah itu sesuai dengan niat dan kesungguhannya, jika tidak ada penghalang syar’i yang menghalanginya.

Di antara ucapan-ucapan yang mengandung barakah adalah dzikir kepada Allah dan membaca Al Qur’an. Tidak tersamar lagi bagi seorang Muslim bahwa dengan dzikir dan membaca Al Qur’an seorang hamba dapat memperoleh kebaikan serta barakah yang banyak. Hal ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

Sesungguhnya Allah memiliki para Malaikat yang biasa berkeliling di jalan mencari orang-orang yang berdzikir. Jika mereka mendapatkan suatu kaum yang berdzikir kepada Allah, mereka pun saling memanggil : “Kemarilah pada apa yang kalian cari (hajat kalian).” Maka para Malaikat pun menaungi mereka dengan sayap mereka sampai ke langit dunia. Lalu Allah ‘azza wa jalla bertanya kepada para Malaikat itu sedangkan Allah Maha Tahu : “Apa yang diucapkan para hamba-Ku?” Para Malaikat menjawab : “Mereka bertasbih, bertakbir, bertahmid, dan memuji Engkau.” Allah bertanya : “Apakah mereka melihat Aku?” Para Malaikat tersebut menjawab : “Tidak, demi Allah, mereka tidak melihat Engkau.” Allah bertanya lagi : “Bagaimana sekiranya jika mereka melihat Aku?” Para Malaikat menjawab : “Sekiranya mereka melihat Engkau, niscaya mereka tambah bersemangat beribadah kepada-Mu dan lebih banyak memuji serta bertasbih kepada-Mu.” Allah bertanya : “Apa yang mereka minta?” Para Malaikat menjawab : “Mereka minta Surga kepada-Mu.” Allah bertanya : “Apakah mereka pernah melihat Surga?” Para Malaikat menjawab : “Sekiranya mereka pernah melihatnya, niscaya mereka lebih sangat ingin untuk mendapatkannya dan lebih bersungguh-sungguh memintanya serta sangat besar keinginan padanya.” Allah bertanya : “Dari apa mereka minta perlindungan?” Para Malaikat menjawab : “Dari neraka.” Allah bertanya : “Apakah mereka pernah melihatnya?” Para Malaikat menjawab : “Tidak, demi Allah, mereka belum pernah melihatnya.” Allah bertanya : “Bagaimana kalau mereka melihatnya?” Para Malaikat menjawab : “Seandainya mereka melihatnya, niscaya mereka tambah menjauh dan takut darinya.” Allah berfirman : “Aku persaksikan kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.” Seorang di antara Malaikat berkata : “Di antara mereka ada si Fulan yang tidak termasuk dari mereka (orang-orang yang berdzikir), dia hanya datang karena ada keperluan.” Allah berfirman : “Tidak akan celaka orang yang duduk bermajelis dengan mereka (majelis dzikir).” (HR. Bukhari)

Dari hadits ini diketahui betapa agung barakah dzikir tersebut, ia mengandung pengampunan dosa-dosa dan jaminan masuk Surga. Bukan hanya bagi orang-orang yang berdzikir saja, tetapi juga mencakup orang yang duduk bersama mereka. Sedangkan membaca Al Qur’an termasuk jenis dzikir yang paling agung. Di dalamnya terdapat barakah dunia dan akhirat yang tidak ada yang mampu menghitungnya kecuali Allah ‘azza wa jalla. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

“Bacalah Al Qur’an karena sesungguhnya dia akan datang di akhirat nanti memberi syafaat kepada orang-orang yang membacanya.” (HR. Muslim)

Di samping ucapan-ucapan ada pula perbuatan yang mengandung barakah jika seorang Muslim ber-iltizam dengannya dalam rangka ber-ittiba’ (mengikuti) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dia akan mendapat barakah yang agung dengan ijin Allah. Termasuk di antaranya Thalabul ‘Ilmi (menuntut ilmu) serta mengajarkannya dan juga shalat berjamaah. Demikian pula maju ke medan tempur untuk meraih keutamaan mati syahid di jalan Allah. Hal ini merupakan amal yang mengandung barakah yang tidak ada yang lebih agung daripadanya kecuali barakah iman dan barakah kenabian dan kerasulan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

“Orang yang mati syahid memiliki enam keutamaan di sisi Allah yaitu : Dia diampuni pada awal penyerangannya, diperlihatkan tempat duduknya di Surga, dilindungi dari adzab kubur, merasa aman dari ketakutan yang dahsyat, diletakkan di atas kepalanya mahkota kehormatan yang permatanya lebih baik daripada dunia beserta isinya, dinikahkan dengan tujuh puluh dua bidadari dan (diberi ijin) memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari keluarganya.” (HR. Tirmidzi dari Miqdam bin Ma’dikarib, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi 2/132)

Di samping ucapan dan perbuatan, keadaan-keadaan yang diberkahi antara lain : Makan bersama dan dimulai dari pinggir, serta menjilat jari (setelah makan), dan makan secukupnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

“Berkumpullah kalian menikmati makanan dan sebutlah nama Allah, kalian akan diberkahi padanya.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud)

Juga beliau bersabda :

“Barakah itu akan turun di tengah-tengah makanan, maka makanlah dari pinggir dan jangan dari tengah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abu Dawud)

Beliau juga memerintahkan untuk menjilat jari karena seseorang tidak tahu mana di antara makanan itu yang mengandung barakah.

Beliau juga bersabda :

“Takarlah makanan itu, kalian akan diberkahi padanya.” (HR. Bukhari)

Semua ucapan atau perbuatan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, kemudian dilakukan seorang hamba dengan ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti Sunnah) niscaya akan menjadi penyebab turunnya barakah.

B. Bertabaruk Dengan Tempat
Allah menjadikan barakah pada beberapa tempat di muka bumi. Barangsiapa mencari barakah pada tempat tersebut, niscaya dia akan mendapatkannya dengan ijin Allah, jika dia beramal dengan ikhlas dan mutaba’ah. Tempat-tempat tersebut antara lain :

1. Masjid-masjid

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

“Tempat yang paling dicintai Allah di suatu negeri adalah masjid-masjidnya dan tempat yang paling dibenci Allah dalam suatu negeri adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim)

Bertabaruk dengan masjid bukan dengan mengusap tanah atau temboknya. Karena tabaruk adalah perkara ibadah maka harus sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Mencari barakah melalui masjid-masjid adalah dengan i’tikaf di dalamnya, menunggu shalat lima waktu, shalat berjamaah, menghadiri majelis-majelis dzikir di sana, dan perkara-perkara yang disyariatkan lainnya. Adapun perkara ibadah yang tidak disyariatkan tidak akan mendatangkan barakah, bahkan termasuk perbuatan bid’ah.

Di antara masjid yang memiliki keistimewaan tambahan dalam hal barakah adalah : Masjidil Haram, Masjid Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Masjidil Aqsa, dan Masjid Quba’. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

“Shalat di masjidku ini lebih baik seribu kali daripada shalat di masjid yang lain kecuali Masjidil Haram.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain ada tambahan :

“Dan shalat di Masjidil Haram lebih afdlal seratus kali daripada shalat di masjidku ini.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sabda beliau pula :

“Tidak boleh dilakukan perjalanan (jauh) kecuali kepada tiga masjid, yaitu masjidku ini, masjidil haram, dan masjidil aqsa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Beliau bersabda tentang masjid Quba’ :

“Barangsiapa bersuci di rumahnya lalu datang ke masjid Quba’ dan shalat padanya dengan satu shalat maka baginya seperti pahala umrah.” (HR. Ahmad, Hakim, An Nasa’i, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah)

2. Kota Makkah, Madinah, dan Syam

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang Makkah :

“Demi Allah, engkau (Makkah) adalah bumi Allah yang paling baik dan paling dicintai-Nya. Sekiranya aku tidak diusir darimu, tidaklah aku akan keluar.” (HR. Ahmad, Hakim, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah)

Demikian pula Madinah dan Syam, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan :

“Barangsiapa menginginkan kejelekan terhadap penduduknya (Madinah), Allah akan menghancurkannya sebagaimana melelehnya garam dalam air.” (HR. Muslim)

“Berbahagialah penduduk Syam.” Kami bertanya : “Kenapa?” Beliau menjawab : “Sesungguhnya para Malaikat Allah Yang Maha Rahman membentangkan sayap mereka di atasnya.” (HR. Ahmad, Hakim, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ Ash Shaghir)
Sehingga orang yang bermukim di Makkah, Madinah, atau Syam dengan mengharap barakah Allah ‘azza wa jalla pada tempat tersebut, baik dalam hal tambahan rezki atau dihindarkan dari fitnah, berarti dia telah diberi taufiq untuk mendapatkan kebaikan yang banyak. Adapun kalau seorang hamba bertabaruk dengan mengusap tanah, batu-batuan, tembok dan pepohonannya, atau dengan mengambil tanahnya untuk dicampur dengan air dan dijadikan obat atau yang semisal itu, maka dia justru mendapatkan dosa karena mengamalkan bid’ah. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah bertabaruk dengan cara seperti itu.

3. Arafah, Muzdalifah, dan Mina

Ketiga tempat tersebut juga termasuk diberkahi karena banyak kebaikan yang turun kepada manusia di tempat-tempat tersebut berupa pengampunan dosa dan pembebasan dari neraka serta pahala yang besar sebagai barakah ber-ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian pula wuquf (menetap) di tempat tersebut pada waktu yang disyariatkan.

C. Bertabaruk Dengan Waktu
Allah subhanallahu wa ta'ala mengkhususkan beberapa waktu dalam hal keutamaan dan barakah. Barangsiapa memilih waktu-waktu tersebut untuk melakukan kebaikan padanya serta bertabaruk dengan menjalankan amal-amal yang disyariatkan pada waktu tersebut, niscaya dia akan memperoleh barakah yang agung. Seperti bulan Ramadlan, Lailatul Qadar, sepertiga malam terakhir, hari Jum’at, Senin, Kamis, bulan-bulan Haram, dan 10 hari bulan Dzulhijah. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :

“Sungguh telah datang kepada kalian bulan Ramadlan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu Surga dibuka dan pintu-pintu neraka Jahim ditutup serta setan dibelenggu pada bulan tersebut. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Siapa yang terhalang (mendapatkan kebaikannya) maka sungguh ia terhalang (dari kebaikan yang banyak).” (HR. Ahmad dan dijayidkan oleh Al Albani karena syawahidnya dalam Misykah Al Mashabih)

Adapun barakah yang Allah jadikan pada bulan Ramadlan antara lain berupa berupa pengampunan dosa, tambahan rezki bagi seorang Mukmin, pendidikan (jiwa), serta pahala yang besar di sisi Allah.

Adapun Lailatul Qadar, keadaannya sangat agung sebagaimana firman Allah :

“Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (Al Qadr : 3)

Karena agungnya barakah pada malam tersebut sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan :

“Berjaga-jagalah (untuk mendapatkan) Lailatul Qadr pada bilangan ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan.” (HR. Bukhari)

Termasuk waktu yang diberkahi pula adalah 10 hari bulan Dzulhijah sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :

“Tidak ada amal pada hari-hari (lain) yang lebih afdlal daripada 10 hari bulan Dzulhijah ini.” Mereka para shahabat pun bertanya : “Tidak pula jihad?” Beliau bersabda : “Tidak pula jihad, kecuali seseorang yang keluar menyabung nyawa dan hartanya dan tidak kembali sedikitpun.” (HR. Bukhari)

Keutamaan hari ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijah) bagi orang yang berhaji telah dimaklumi. Allah membanggakan orang-orang yang wuquf di ‘Arafah kepada para Malaikat-Nya selama mereka datang semata-mata untuk mencari ampunan. Sedangkan berpuasa bagi yang tidak haji akan mendapatkan barakah yaitu diampuninya dosa-dosanya setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

“ … dan puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah untuk mengampuni setahun yang lalu dan setahun sesudahnya.” (HR. Muslim)

Adapun hari Jum’at, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

“Sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan, dimasukkan ke dalam Surga dan dikeluarkan dari Surga. Tidak akan terjadi hari kiamat kecuali pada hari Jum’at.” (HR. Muslim)

Adapun sepertiga malam terakhir, ketika Allah turun ke langit dunia, turun pula barakah yang agung bagi orang yang berdoa dan minta ampun pada waktu tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :

Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun pada setiap malam ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Allah berfirman : “Siapa yang berdoa kepada-Ku, Aku akan mengabulkannya. Siapa yang minta kepada-Ku, Aku akan memberinya, dan siapa yang meminta ampun kepada-Ku, Aku akan mengampuninya.” (HR. Bukhari)

Mencari barakah pada waktu-waktu tersebut harus dengan cara yang telah disyariatkan oleh Allah dan sesuai dengan bimbingan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Kalau seorang hamba mencari barakah pada waktu-waktu tersebut dengan amal yang tidak disyariatkan niscaya dia tidak akan diberi taufiq untuk mendapatkan barakah tersebut.

Demikian pula barakah terdapat pada beberapa jenis makanan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seperti minyak zaitun, susu, al habbatus sauda’ (jinten hitam), madu, air zam-zam, dan kurma.

Wallahu A’lam.

Kedudukan Akal Dalam Islam

Akal adalah nikmat besar yang Allah titipkan dalam jasmani manusia. Nikmat yang bisa disebut hadiah ini menunjukkan akan kekuasaan Allah yang sangat menakjubkan. (Al-’Aql wa Manzilatuhu fil Islam, hal. 5)

Oleh karenanya, dalam banyak ayat Allah memberi semangat untuk berakal (yakni menggunakan akalnya), di antaranya:


وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُوْمُ مُسَخَّرَاتٌ بِأَمْرِهِ إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ
 

“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya).” (An-Nahl: 12)

وَفِي اْلأَرْضِ قِطَعٌ مُتَجَاوِرَاتٌ وَجَنَّاتٌ مِنْ أَعْنَابٍ وَزَرْعٌ وَنَخِيْلٌ صِنْوَانٌ وَغَيْرُ صِنْوَانٍ يُسْقَى بِمَاءٍ وَاحِدٍ وَنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ فِي اْلأُكُلِ إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ
 

“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ra’d: 4)

Sebaliknya Allah mencela orang yang tidak berakal seperti dalam ayat-Nya:


وَقَالُوْا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِيْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ
 

“Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (Al-Mulk: 10)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “(Maknanya yaitu) tidak berakal dan tidak punya tamyiz (daya pemilah)… Bagaimanapun (hal itu) tidak terpuji dari sisi itu, sehingga tidaklah terdapat dalam kitab Allah  serta dalam Sunnah Rasulullah  pujian dan sanjungan bagi yang tidak berakal serta tidak punya tamyiz dan ilmu. Bahkan Allah  telah memuji amal, akal dan pemahaman bukan hanya dalam satu tempat, serta mencela keadaan yang sebaliknya di beberapa tempat…” (Al-Istiqamah, 2/157)
Kitapun dapat melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan beberapa bentuk kemuliaan terhadap akal, seperti:


1. Allah  menjadikan akal sebagai tempat bergantungnya hukum sehingga orang yang tidak berakal tidak dibebani hukum. Nabi bersabda:


رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الْمَجْنُوْنِ الْمَغْلُوْبِ عَلىَ عَقْلِهِ حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقَظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمُ 


“Pena diangkat dari tiga golongan: orang yang gila yang akalnya tertutup sampai sembuh, orang yang tidur sehingga bangun, dan anak kecil sehingga baligh.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Ad-Daruquthni dari shahabat ‘Ali dan Ibnu ‘Umar, Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: “Shahih” dalam Shahih Jami’, no. 3512)


2. Islam menjadikan akal sebagai salah satu dari lima perkara yang harus dilindungi yaitu: agama, akal, harta, jiwa dan kehormatan. (Al-Islam Dinun Kamil hal. 34-35)


3. Allah  mengharamkan khamr untuk menjaga akal. Allah  berfirman:


يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ


“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al-Maidah: 90)
Nabi  bersabda:


كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٍ
 

“Setiap yang memabukkan itu haram.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Musa Al-Asy‘ari)
Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan: “Dalam rangka menjaga akal maka wajib ditegakkan had bagi peminum khamr.” (Al-Islam Dinun Kamil, hal. 34-35)


4. Tegaknya dakwah kepada keimanan berdasarkan kepuasan (kemantapan) akal. 


Artinya, keimanan tidak berarti mematikan akal, bahkan Islam menyuruh akal untuk beramal pada bidangnya sehingga mendukung kekuatan iman dan tidak ada ajaran manapun yang memuliakan akal sebagaimana Islam memuliakannya, tidak menyepelekan dan tidak pula berlebihan. Sedangkan yang dilakukan para pengkultus akal yang mereka beritikad memuliakan akal, pada hakikatnya mereka justru menghinakan akal serta menyiksanya karena mambebani akal dengan sesuatu yang tidak mampu.
Walaupun akal dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akal adalah sesuatu yang berada dalam jasmani makhluk. Maka ia sebagaimana makhluk yang lain, memiliki sifat lemah dan keterbatasan. 


As-Safarini rahimahullah berkata: “Allah  menciptakan akal dan memberinya kekuatan adalah untuk berpikir dan Allah  menjadikan padanya batas yang ia harus berhenti padanya dari sisi berfikirnya bukan dari sisi ia menerima karunia Ilahi. Jika akal menggunakan daya pikirnya pada lingkup dan batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya, ia akan tepat (menentukan) dengan ijin Allah. Tetapi jika ia menggunakan akalnya di luar lingkup dan batasnya yang Allah  telah tetapkan maka ia akan membabi buta…” (Lawami’ul Anwar Al-Bahiyyah, hal. 1105)


Untuk itu kita perlu mengetahui di mana sesungguhnya bidangnya akal. Intinya bahwa akal tidak mampu menjangkau perkara-perkara ghaib di balik alam nyata yang kita saksikan ini, seperti pengetahuan tentang Allah  dan sifat-sifat-Nya, arwah, surga dan neraka yang semua itu hanya dapat diketahui melalui wahyu.


Nabi  bersabda:


تَفَكَّرُوْا فِيْ أَلاَءِ اللهِ وَلاَ تَفَكَّرُوْا فِيْ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
 

“Berpikirlah pada makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir pada Dzat Allah.” (HR. Ath-Thabrani, Al-Lalikai dan Al-Baihaqi dari Ibnu ‘Umar, lihat Ash-Shahihah no. 1788 dan Asy-Syaikh Al-Albani menghasankannya)

وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوْتِيْتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيْلاً
 

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” (Al-Isra: 85)

Oleh karenanya, akal diperintahkan untuk pasrah dan mengamalkan perintah syariat meskipun ia tidak mengetahui hikmah di balik perintah itu. Karena, tidak semua hikmah dan sebab di balik hukum syariat bisa manusia ketahui. Yang terjadi, justru terlalu banyak hal yang tidak manusia ketahui sehingga akal wajib tunduk kepada syariat.
Diumpamakan oleh para ulama bahwa kedudukan antara akal dengan syariat bagaikan kedudukan seorang awam dengan seorang mujtahid. Ketika ada seseorang yang ingin meminta fatwa dan tidak tahu mujtahid yang berfatwa (tidak tahu harus ke mana minta fatwa), maka orang awam itu pun menunjukkannya kepada mujtahid. Setelah mendapat fatwa, terjadi perbedaan pendapat antara mujtahid yang berfatwa dengan orang awam yang tadi menunjuki orang tersebut. Tentunya bagi yang meminta fatwa harus mengambil pendapat sang mujtahid yang berfatwa dan tidak mengambil pendapat orang awam tersebut karena orang awam itu telah mengakui keilmuan sang mujtahid dan bahwa dia (mujtahid) lebih tahu (lebih berilmu). (Lihat Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201) 


Al-Imam Az-Zuhri t mengatakan: “Risalah datang dari Allah, kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita menerima.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201)


Orang yang menggunakan akal tidak pada tempatnya, berarti ia telah menyalahgunakan dan melakukan kezaliman terhadap akalnya. Sesungguhnya madzhab filasafat dan ahli kalam yang ingin memuliakan akal dan mengangkatnya –demikian perkataan mereka– belum dan sama sekali tidak akan mencapai sepersepuluh dari sepersepuluh apa yang telah dicapai Islam dalam memuliakan akal -ini jika kita tidak mengatakan mereka telah berbuat jahat dengan sejahat-jahatnya terhadap akal. Di mana ia memaksakan akal masuk ke tempat yang tidak mungkin mendapatkan jalan ke sana. (Minhajul Istidlal, dinukil dari Al-’Aqlaniyyun hal. 21)


Akal yang terpuji dan akal yang tercela
Menengok penjelasan yang telah lalu, dapat disimpulkan bahwa penggunaan akal terkadang terpuji, yaitu ketika pada tempatnya. Dan terkadang tercela yaitu ketika bukan pada tempatnya. Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. Sedang akal yang tercela adalah sebagaimana disimpulkan Ibnul Qayyim yang menyebutkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:


1. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.


2. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash, memahaminya serta mengambil hukum darinya.


3. Pendapat akal yang berakibat menolak asma (nama-nama) Allah , sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas (analogi) yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.


4. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya As Sunnah.


5. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik (dari dirinya) dan prasangka. (Lihat I’lam Muwaqqi’in, 1/104-106, Al-Intishar, hal. 21, 24, Al-’Aql wa Manzilatuhu)
Jadi, manakala kita mengambil sebuah kesimpulan dengan akal kita, kemudian ternyata hasilnya adalah salah satu dari lima yang tersebut di atas maka yakinlah bahwa itu pendapat yang tercela dan salah. Ia harus ditinggalkan dan menundukkan akal di hadapan kepada syariat.

Akal yang sehat tidak akan menyelisihi syariat
Disebutkan dalam kaidah ahlul kalam –ringkasnya– bahwa tatkala bertentangan antara akal dan wahyu maka mesti dikedepankan akal. (Asasuttaqdis, hal. 172-173)
Dengan prinsip ini, mereka menolak sekian banyak nash yang shahih dulu maupun sekarang. Tentu kita tahu bahwa pendapat mereka adalah salah dan sangat berbahaya. Untuk mengetahui bathilnya pendapat mereka dengan singkat dan mudah cukup dengan kita merujuk kepada lima hal yang disebutkan Ibnul Qayyim t di atas.
Lebih rinci para ulama seperti Ibnu Taimiyyah t menjelaskan: Sesuatu yang diketahui dengan jelas oleh akal, sulit dibayangkan akan bartentangan dengan syariat sama sekali. Bahkan dalil naqli yang shahih tidak akan bertentangan dengan akal yang lurus, sama sekali. Saya telah memperhatikan hal itu pada kebanyakan hal yang diperselisihkan oleh manusia. Saya dapati, sesuatu yang menyelisihi nash yang shahih dan jelas adalah syubhat yang rusak dan diketahui kebatilannya dengan akal. Bahkan diketahui dengan akal kebenaran kebalikan dari hal tersebut yang sesuai dengan syariat. Kita tahu bahwa para Rasul tidak memberikan kabar dengan sesuatu yang mustahil menurut akal tapi (terkadang) mengabarkan sesuatu yang membuat akal terkesima. Para Rasul itu tidak mengabarkan sesuatu yang diketahui oleh akal sebagai sesuatu yang tidak benar namun (terkadang) akal tidak mampu untuk menjangkaunya.


Karena itu wajib bagi orang-orang Mu’tazilah yang menjadikan akal mereka sebagai hakim terhadap nash-nash wahyu, demikian pula bagi mereka yang berjalan di atas jalan mereka serta meniti jejak mereka agar mengetahui bahwa tidak terdapat satu haditspun di muka bumi yang bertentangan dengan akal kecuali hadits itu lemah atau palsu. Wajib bagi mereka untuk menyelisishi kaidah kelompok Mu’tazilah, kapan terjadi pertentangan antara akal dan syariat menurut mereka maka wajib untuk mengedepankan syariat. Karena akal telah membenarkan syariat dalam segala apa yang ia kabarkan sedang syariat tidak membenarkan segala apa yang dikabarkan oleh akal. Demikian pula kebenaran syariat tidak tergantung dengan semua yang dikabarkan oleh akal.” (Dar’u Ta’arrudhil ‘Aql wan Naql, 1/155, 138)

Ketika dalil bertentangan dengan akal
Sesungguhnya pertentangan akal dengan syariat takkan terjadi manakala dalilnya shahih dan akalnya sehat. Namun terkadang muncul ketidakcocokan akal dengan dalil walaupun dalilnya shahih. Kalau terjadi hal demikian maka jangan salahkan dalil, namun curigailah akal. Di mana bisa jadi akal tidak memahami maksud dari dalil tersebut atau akal itu tidak mampu memahami masalah yang sedang dibahas dengan benar. Sedangkan dalil, maka pasti benarnya. 


Hal ini berangkat dari ajaran Al Qur’an dan As Sunnah yang mengharuskan kita untuk selalu kembali kepada dalil. Demikian pula anjuran para shahabat yang berpengalaman dengan Nabi  dan mengalami kejadian turunnya wahyu. Seperti dikatakan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab: “Wahai manusia, curigailah akal kalian terhadap agama ini.” (Riwayat Ath-Thabrani, lihat Marwiyyat Ghazwah Al-Hudaibiyyah, hal. 177, 301)
Beliau mengatakan demikian karena pernah membantah keputusan Nabi  dengan pendapatnya, walaupun pada akhirnya tunduk. Beliau pada akhirnya melihat ternyata maslahat dari keputusan Nabi  begitu besar dan tidak terjangkau oleh pikirannya.
Oleh karenanya, Ibnul Qayyim mengatakan: “Jika dalil naqli bertentangan dengan akal, maka yang diambil adalah dalil naqli yang shahih dan akal itu dibuang dan ditaruh di bawah kaki, tempatkan di mana Allah meletakkannya dan menempatkan para pemiliknya.” (Mukhtashar As-Shawa’iq, hal. 82-83 dinukil dari Mauqif Al-Madrasah Al-‘Aqliyyah, 1/61-63)
Abul Muzhaffar As-Sam’ani t ketika menerangkan Aqidah Ahlus Sunnah berkata: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka dan mencari agama dari keduanya. Apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya, mereka terima dan bersyukur kepada Allah di mana Allah perlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik-Nya. Tapi jika tidak sesuai dengan keduanya, maka mereka meninggalkannya dan mengambil Al Kitab dan As Sunnah kemudian menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya (Al Kitab dan As Sunnah) tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang hak sedang pendapat manusia kadang benar kadang salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits hal. 99)

Bila akal didahulukan
Jika akal didahulukan maka akan tergelincir pada sekian banyak bahaya:


1. Menyerupai Iblis –semoga Allah melaknatinya– ketika diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam , kemudian ia membangkang dan menentang dengan akalnya.


قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلاَّ تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍْ
 

“Allah berfirman: ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?’ Iblis menjawab: ‘Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah’.” (Al-A’raf: 12)

2. Menyerupai orang kafir yang menolak keputusan Allah dengan akal mereka, seperti penentangan mereka terhadap kenabian Nabi Muhammad . Mereka katakan:


وَقَالُوْا لَوْلاَ نُزِّلَ هَذَا الْقُرْآنُ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيْمٍ
 

“Dan mereka berkata: ‘Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?’.” (Az-Zukhruf: 31)

3. Tidak mengambil faidah dari Rasul sedikitpun karena mereka tidak merujuk kepadanya pada perkara-perkara ketuhanan. Sehingga adanya Rasul menurut mereka seperti tidak ada. Keadaan mereka bahkan lebih jelek karena mereka tidak mengambil manfaat sedikitpun justru butuh untuk menolaknya.


4. Mengikuti hawa nafsu dan keinginan jiwa. Allah berfirman:


فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ
 

“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Qashash: 50) 

5. Menyebabkan kerusakan di muka bumi, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim.


6. Berkata dengan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya tanpa ilmu.


فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ
 

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya.” (Al-Hajj: 8)
Ini termasuk larangan terbesar.


قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوْا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
 

“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui’.” (Al-A’raf: 33)

7. Menyebabkan perbedaan dan perpecahan pendapat.


8. Terjatuh dalam keraguan dan bimbang. [Al-Mauqih, 1/81-92]


Pantaslah kalau Al-Imam Adz-Dzahabi mengatakan tentang orang-orang yang tetap mengedepankan akalnya: “Jika kamu melihat ahlul kalam ahli bid’ah mengatakan: ‘Tinggalkan kami dari Al Qur’an dan hadits ahad dan tampilkan akal,’ maka ketahuilah bahwa ia adalah Abu Jahal.” (Siyar A’lamin Nubala, 4/472)

MENGENAL SEJARAH DAN PEMAHAMAN AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH

Sebelum kita berbicara tentang topik dan judul pembahasan ini, sebaiknya kita mengenal beberapa pengertian istilah yang akan dipakai dalam pembahasan ini.


A. Beberapa Pengertian

1. As-Sunnah

As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh atau cara pelaksanaan suatu amalan baik itu dalam perkara kebaikan maupun perkara kejelekan.

Maka As-Sunnah yang dimaksud dalam istilah Ahlus Sunnah ialah jalan yang ditempuh dan dilaksanakan oleh Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam serta para shahabat beliau, dan pengertian Ahlus Sunnah ialah orang-orang yang berupaya memahami dan mengamalkan As-Sunnah An-Nabawiyyah serta menyebarkan dan membelanya.

2. Al-Jama'ah

Menurut bahasa Arab pengertiannya ialah dari kata Al-Jamu' dengan arti mengumpulkan yang tercerai berai. Adapun dalam pengertian Asyari'ah, Al-Jama'ah ialah orang-orang yang telah sepakat berpegang dengan kebenaran yang pasti sebagaimana tertera dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits dan mereka itu ialah para shahabat, tabi'in (yakni orang-orang yang belajar dari shahabat dalam pemahaman dan pengambilan Islam) walaupun jumlah mereka sedikit, sebagaimana pernyataan Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu : "Al-Jama'ah itu ialah apa saja yang mencocoki kebenaran, walaupun engkau sendirian (dalam mencocoki kebenaran itu). Maka kamu seorang adalah Al-Jama'ah."

3. Al-Bid'ah

Segala sesuatu yang baru dan belum pernah ada asal muasalnya dan tidak biasa dikenali. Istilah ini sangat dikenal dkialangan shahabat Nabi Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam karena beliau selalu menyebutnya sebagai ancaman terhadap kemurnian agama Allah, dan diulang-ulang penyebutannya pada setiap hendak membuka khutbah. Jadi secara bahasa Arab, bid'ah itu bisa jadi sesuatu yang baik atau bisa juga sesuatu yang jelek. Sedangkan dalam pengertian syari'ah, bid'ah itu semuanya jelek dan sesat serta tidak ada yang baik. Maka pengertian bid'ah dalam syariah ialah cara pengenalan agama yang baru dibuat dengan menyerupai syariah dan dimaksudkan dengan bid'ah tersebut agar bisa beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala lebih baik lagi dari apa yang ditetapkan oleh syari'ah-Nya. Keyakinan demikian ditegakkan tidak di atas dalil yang shahih, tetapi hanya berdasar atas perasaan, anggapan atau dugaan. Bid'ah semacam ini terjadi dalam perkara aqidah, pemahaman maupun amalan.

4. As-Salaf

Arti salaf secara bahasa adalah pendahulu bagi suatu generasi. Sedangkan dalam istilah syariah Islamiyah as-salaf itu ialah orang-orang pertama yang memahami, mengimami, memperjuangkan serta mengajarkan Islam yang diambil langsung dari shahabat Nabi salallahu 'alaihi wa sallam, para tabi'in (kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari para shahabat) dan para tabi'it tabi'in (kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari tabi'in). istilah yang lebih lengkap bagi mereka ini ialah as-salafus shalih. Selanjutnya pemahaman as-salafus shalih terhadap Al-Qur'an dan Al-Hadits dinamakan as-salafiyah. Sedangkan orang Islam yang ikut pemahaman ini dinamakan salafi. Demikian pula dakwah kepada pemahaman ini dinamakan dakwah salafiyyah.

5. Al-Khalaf

Suatu golongan dari ummat Islam yang mengambil fislafat sebagai patokan amalan agama dan mereka ini meninggalkan jalannya as-salaf dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits. Awal mula timbulnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak diketahui secara pasti kapan dan dimana munculnya karena sesungguhnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah mulai depopulerkan oleh para ulama salaf ketika semakin mewabahnya berbagai bid'ah dikalangan ummat Islam.

Yang jelas wabah bid'ah itu mulai berjangkit pada jamannya tabi'in dan jaman tabi'in ini yang bersuasana demikian dimulai di jaman khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya juz 1 hal.84, Syarah Imam Nawawi bab Bayan Amal Isnad Minad Din dengan sanadnya yang shahih bahwa Muhammad bin Sirrin menyatakan, "Dulu para shahabat tidak pernah menanyakan tentang isnad (urut-urutan sumber riwayat) ketika membawakan hadits Nabi salallahu 'alaihi wa sallam. Maka ketika terjadi fitnah yakni bid'ah mereka menanyakan, 'sebutkan para periwayat yang menyampaikan kepadamu hadits tersebut.' Dengan cara demikian mereka dapat memeriksa masing-masing para periwayat tersebut, apakah mereka itu dari ahlus sunnah atau ahlul bid'ah. Bila dari ahlus sunnah diambil dan bila ahlul bid'ah ditolak."

Riwayat yang sama juga dibawakan oleh Khalid Al-Baghdadi dengan sanadnya dalam kitab beliau. Riwayat ini memberitahukan kepada kita bahwa pada jaman Muhammad bin Sirrin sudah ada istilah ahlus sunnah dan ahlul bid'ah. Muhammad bin Sirrin lahir pada tahun 33 H dan meniggal pada tahun 110 H. kemudian istilah ini juga muncul pada jaman Imam Ahmad bin Hambal (lahir 164 dan meninggal 241 H) khususnya ketika terjadi fitnah pemahaman sesat yang menyatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk, bertentangan dengan ahlus sunnah yang menyatakan bahwa Al-Qur'an itu Kalamullah.

Fitnah terjadi di jaman pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun Al-Abbasi. Imam Ahmad pada masa fitnah ini adalah termasuk tokoh yang paling berat mendapat sasaran permusuhan dan kekejaman para tokoh ahlul bid'ah melalui Khalifah tersebut. Mulai saat itulah istilah ahlus sunnah wal jama'ah menjadi sangat populer hingga kini. Jadi, istilah ahlu sunnah timbul dan menjadi populer ketika mulai serunya pergulatan antara as-salaf dan al-khalaf, akibat adanya infiltrasi berbagai filsafat asing ke dalam masyarakat Islam. Ahlus Sunnah wal Jama'ah kemudian menjadi simbol sikap istiqamahnya (tegarnya) para ulama ahlul hadits dalam berpegang dengan as-salafiyah ketika para tokoh ahlul bid'ah meninggalkannya dan ketika berbagai pemahaman dan amalan bid'ah mendominasi masyarakat Islam.

B. Dalil-Dalil Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Mengapa ahlu sunnah demikian bersikeras merujuk pada pemahaman para shahabat Nabi salallahu 'alaihi wa sallam dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits? Ini adalah pertanyaan yang tentunya membutuhkan dalil-dalil Al-Qur'an dan Al-Hadits untuk menjawabnya. Ahlus Sunnah merujuk kepada para shahabat dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits dikarenakan Allah dan Rasul-Nya banyak sekali memberitahukan kemuliaan mereka, bahkan memujinya. Faktor ini membuat para shahabat menjadi acuan terpercaya dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai landasan utama bagi Syari'ah Islamiyah.

Dalil dari Al-Qur'an dan Al-Hadits shahih yang menjadi pegangan ahlus sunnah dalam merujuk kepada pemahaman shahabat sangat banyak sehingga tidak mungkin semuanya dimuat dalam tulisan yang singkat ini. Sebagian diantaranya perlu saya tulis disini sebagai gambaran singkat bagi pembaca tentang betapa kokohnya landasan pemahaman ahlus sunnah terhadap syariah ini.

1. Para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam adalah kecintaan Allah dan mereka pun sangat cinta kepada Allah :

"Sesungguhnya Allah telah ridha kepada orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Hai Muhammad) di bawah pohon (yakni Baitur Ridwan) maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan keterangan atas mereka dan memberi balasan atas mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).(Al-Fath:18)

Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah ridha kepada para shahabat yang turut membaiat Rasulullah salallahu alaihi wa sallam di Hudhaibiyyah sebagai tanda bahwa mereka telah siap taat kepada beliau dalam memerangi kufar (kaum kafir) Quraisy dan tidak lari dari medan perang.

Diriwayatkan bahwa yang ikut ba'iah tersebut seribu empat ratus orang. Dalam ayat lain, Allah Sunahanahu wa Ta'ala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, siapa di antara kalian yang murtad dari agama-Nya (yakni keluar dari Islam) niscaya Allah akan datangkan suatu kaum yang Ia mencintai mereka dan mereka mencintai Allah, bersikap lemah lembut terhadap kaum mukminin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Alah dan tidak takut cercaan si pencerca. Yang demikian itu adalah keutamaan dari Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki dan Allah itu Maha Mendengar dan Maha Mengetahui."(Al-Maidah:54)

Ath-Thabari membawakan beberapa riwayat tentang tafsir ayat ini antara lain yang beliau nukilkan dari beberapa riwayat dengan jalannya masin-masing, bahwa Al-Hasan Al-Basri, Adh-Dhahadh, Qatadah, Ibnu Juraij, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah Abu Bakar Ash-Shidiq dan segenap shahabat Nabi setelah wafatnya Rasulullah salallahu alaihi wa sallam dalam memerangi orang yang murtad.

2. Para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam adalah umat yang adil yang dibimbing oleh Rasulullah salallahu alaihi wa sallam.

"Dan demikianlah Kami jadikan kalian adalah umat yang adil agar kalian menjadi saksi atas sekalian manusia dan Rasul menjadi saksi atas kalian."(Al-Baqarah:143)

Yang diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di ayat ini ialah para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam. Mereka adalah kaum mukminin generasi pertama yang terbaik yang ikut menyaksikan turunnya ayat ini dan generasi pertama yang disebutkan dalam ayat Al-Qur'an. Ibnu Jarir Ath-Thabari menerangkan: "Dan aku berpandangan bahwasanya Allah Ta'ala menyebut mereka sebagai "orang yang ditengah" karena mereka bersikap tengah-tengah dalam perkara agama, sehingga mereka itu tidaklah sebagai orang-orang yang ghulu (ekstrim, melampaui batas) dalam beragama sebagaimana ghulunya orang-orang Nashara dalam masalah peribadatan dan pernyataan mereka tentang Isa bin Maryam alaihi salam. Dan tidak pula umat ini mengurangi kemuliaan Nabiyullah Isa alaihi salam, sebagaimana tindakan orang-orang Yahudi yang merubah ayat-ayat Allah dalam kitab-Nya dan membunuh para nabi-nabi mereka dan berdusta atas nama Allah dan mengkufurinya. Akan tetapi ummat ini adalah orang-orang yang adil dan bersikap adil sehingga Allah mensikapi mereka dengan keadilan, dimana perkara yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling adil.

3. Para shahabat adalah teladan utama setelah Nabi dalam beriman

Ditegaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Kalau mereka itu beriman seperti imannya kalian (yaitu kaum mukminin) terhadapnya, maka sungguh mereka itu mendapatkan perunjuk dan kalau mereka berpaling mereka itu dalam perpecahan. Maka cukuplah Allah bagimu (hai Muhammad) terhadap mereka dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui."(Al-Baqarah:137)

Ayat ini menegaskan bahwa imannya kaum mukminin itu adalah patokan bagi suatu kaum untuk mendapat petunjuk Allah. Kaum mukminin yang dimaksud yang paling mencocoki kebenaran sebagaimana yang dibawa oleh Nabi salallahu alaihi wa sallam tidak lain ialah para shahabat Nabi yang paling utama dan generasi sesudahnya yang mengikuti mereka.

Juga ditegaskan pula hal ini oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Surat Al-Fath 29 :

"Muhammad itu adalah Rasulullah, dan orang-orang yang besertanya keras terhadap orang-orang kafir, berkasih sayang sesama mereka. Engkau lihat mereka ruku dan sujud mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya. Terlihat pada wajah-wajah mereka bekas sujud. Demikianlah permisalan mereka di Taurat, dan demikian pula permisalan mereka di Injil. Sebagaimana tanaman yang bersemi kemudian menguat dan kemudian menjadi sangat kuat sehingga tegaklah ia diatas pokoknya, yang mengagumkan orang yang menanamnya, agar Allah membikin orang-orang kafir marah pada mereka. Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman dari kalangan mereka itu ampunan dan pahala yang besar."

Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur'an yang menjadi dalil bagi Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam merujuk kepada para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits. Tentunya dalil-dalil dari Al-Qur'an tersebut berdampingan pula dengan puluhan bahkan ratusan hadists shahih yang menerangkan keutamaan shahabat secara keseluruhan ataupun secara individu.

Dari hadits-hadits berikut dapat disimpulkan bahwa :

1. Kebaikan para shahabat tidak mungkin disamai :

"Jangan kalian mencerca para shahabatku, seandainya salah seorang dari kalian berinfaq sebesar gunung Uhud, tidaklah ia mencapai ganjarannya satu mud(ukuran gandum sebanyak dua telapak tangan diraparkan satu dengan lainnya) makanan yang dishodaqahkan oleh salah seorang dari mereka dan bahkan tidak pula mencapai setengah mudnya."(HR. Bukhari dan Muslim)

2. Para shahabat adalah sebaik-baik generasi dan melahirkan sebaik-baik generasi penerus pula :

"Dari Imran bin Hushain radhiallahu anhu bahwa Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda: 'Sebaik-baik ummatku adalah yang semasa denganku kemudian generasi sesudahnya (yakni tabi'in), kemudian generasi yang sesudahnya lagi (yakni tabi'it tabi'in). Imran mengatakan: 'Aku tidak tahu apakah Rasulullah menyebutkan sesudah masa beliau itu dua generasi atau tiga.' Kemudian Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda: 'Kemudian sesungguhnya setelah kalian akan datang suatu kaum yang memberi persaksian padahal ia tidak diminta persaksiannya, dan ia suka berkhianat dan tidak bisa dipercaya, dan mereka suka bernadzar dan tidak memenuhi nadzarnya, dan mereka berbadan gemuk yakni gambaran orang-orang yang serakah kepadanya'."(HR Bukhari)

3. Para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang pilihan yang diciptakan Allah untuk mendampingi Nabi-Nya :

"Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda: 'Sesungguhnya Allah telah memilih aku dan juga telah memilih bagiku para shahabatku, maka Ia menjadikan bagiku dari mereka itu para pembantu tugasku, dan para pembelaku, dan para menantu dan mertuaku. Maka barang siapa mencerca mereka, maka atasnyalah kutukan Allah dan para malaikat-Nya an segenap manusia. Allah tidak akan menerima di hari Kiamat para pembela mereka yang bisa memalingkan mereka dari adzab Allah."(HR Al-Laalikai dan Hakim, SHAHIH)

Dan masih banyak lagi hadits-hadits shahih yang menunjukkan betapa tingginya kedudukan para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam di dalam pandangan Nabi.

Maka kalau Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits telah memuliakan para shahabat dan menyuruh kita memuliakannya, sudah semestinya kalau Ahlus Sunnah wal Jama'ah menjadikan pemahaman, perkataan, dan pengamalan para shahabat terhadap Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai patokan utama dalam menilai kebenaran pemahamannya. Ahlus sunnah juga sangat senang dan mantap dalam merujuk kepada para shahabat Nabi dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits.